Iklan dan Kekuasaan

KOMPAS, 12 Agu 2011. Rainy MP Hutabarat, Cerpenis

Ruang kota kini menjadi medan pertarungan teks-teks iklan luar ruang. Teks-teks iklan tertulis maupun visual itu kerap tak saling mendukung. Termasuk ruang sebagai ”teks” yang menjadi konteks sosial-ekonomi pemajangan iklan luar ruang. Sebuah baliho iklan rumah-kantor 3,5 lantai menggarisbawahi harga murah: ”Hanya Rp 3,7 miliar!” Baliho itu dipajang dekat pangkalan ojek, pedagang kaki lima, dan halte bus yang tiap pagi dijejali warga pengguna angkot, yang mustahil menganggap Rp 3,7 miliar murah.

Di jalan tol Jabotabek sebuah spanduk besar iklan layanan masyarakat melintang pada jembatan penyeberangan. ”Ayo tanam pohon! Banyak pohon, lingkungan segar.” Namun, di sekitar spanduk, pepohonan rebah ditebang dan tanah digali untuk pelebaran jalan tol.

Di kaki lima jalan utama ibukota dipacakkan sebuah tonggak besi yang memanggul anjuran, ”Jagalah kebersihan. Buanglah sampah pada tempatnya!” Namun, ketika diperiksa kiri-kanan sepanjang kaki lima itu, tak tersua tempat sampah. Hal yang sama juga terjadi di toilet di kawasan Puncak. ”Dilarang buang tisu dan pembalut ke WC!” Namun, tak tersedia tempat sampah.

Bahasa dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang sama, demikian Michel Foucault. Kekuasaan di sini tak diartikan sebagai gelar, jabatan, atau posisi sosial seseorang. Kekuasaan adalah strategi-strategi: bisa berupa pengetahuan, aturan, norma, ukuran, logika, atau harga yang dirumuskan melalui bahasa.

Karena itu, pesan berupa anjuran, kampanye, dan iklan yang dipublikasikan secara luas baik verbal, tertulis, maupun visual mengandaikan strategi kekuasaan pembentuk opini publik. Tujuannya mengubah perilaku agar seperti yang ditargetkan.

”Hanya Rp 3,7 miliar” adalah harga murah yang ditentukan sepihak oleh pelaku bisnis untuk rukan 3,5 lantai. Ukuran murah ditetapkan tanpa kesepakatan publik. Ia merupakan strategi bahasa untuk memengaruhi opini publik bahwa uang Rp 3,7 miliar mudah diperoleh. Padanan hanya adalah cuma, saja, atau tak lebih dari yang artinya receh, tak seberapa nilainya, atau kecil. Yang tak mampu meraih ”hanya Rp 3,7 miliar” itu keterlaluan.

Kata hanya digunakan sebagai ganti kata murah sebab dalam dunia perdagangan murah sering dihubungkan dengan murahan. Iklan perdagangan lebih memilih istilah tebas harga, harga perdana, atau harga promosi ketimbang murah yang telah kehilangan kekuatan dan pesonanya. Dengan strategi bahasa dan logika demikianlah kekuasaan modal bekerja untuk mengubah perilaku masyarakat. Namun, bahasa yang digunakan, tanpa mempertimbangkan ruang sebagai ”teks” lain, akan kehilangan daya persuasinya, menjadi arogansi atau teror psikis.

Begitu pula dengan teks-teks iklan layanan masyarakat yang mengajak melakukan penghijauan lingkungan dan kebersihan. Teks-teks iklan dan ruang sebagai ”teks” menyampaikan pesan yang saling menentang. Iklan menganjurkan penghijauan lingkungan, namun pada waktu dan di tempat yang sama, pepohonan ditebas dan tanah digali untuk pelebaran jalan tol. Jalan tol jauh lebih penting daripada kebutuhan akan lingkungan yang hijau dan udara yang sehat. Sampah tisu dan pembalut adalah urusan Anda sendiri, bukan pemerintah kota. Tampak nyata strategi kekuasaan untuk disiplin dan kontrol masyarakat melalui bahasa.

Iklan tak lagi membujuk, mengajak, dan partisipatoris, melainkan instruktif dan sepihak.

Satu tanggapan untuk “Iklan dan Kekuasaan

  1. Ada dua tambahan motif dalam iklan, instruktif dan sepihak. Subjektif memang, tetapi itulah dunia bisnis. Secara normatif tidak bisa dijadikan teladan, namun secara efektif bahasanya bisa dikatakan kreatif. Unsur tanggapan imaginatif dari pembaca iklan pasti ada, meski persepsi subjektif ini tidak dapat kita sama ratakan.

Tinggalkan Balasan ke Abu Usamah as-Sulaimani Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.