KOMPAS, 14 Okt 2011. Salomo Simanungkalit
Pada bulan Oktober ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengganti beberapa menteri. Desas-desus mengenai penukaran beberapa pembantu kepala pemerintahan itu santer terdengar sebelum September lalu. Banyak yang tak sabar menunggu, tak sedikit pula yang berspekulasi.
Bagaimanapun pola perubahan kabinet yang sebentar lagi diumumkan, entah sekadar mengocok nama-nama yang ada dalam Kabinet Indonesia Bersatu II yang dimaklumatkan, 21 Oktober 2009, entah membuang beberapa nama dari kabinet itu lalu menggantikannya dengan nama-nama baru. Tindakan mengubah kabinet di Indonesia sering dipukulratakan sebagai reshuffle. Kalaupun ada yang menyebutkannya dengan perombakan, penataulangan, atau dengan ungkapan lain, sebutan-sebutan dalam bahasa Indonesia itu malah ditempatkan di dalam kurung. Singkat kata, tak satu pun ungkapan Indonesia yang serempak diterima sebagai padanan reshuffle.
Urusan kita dalam kolom ini ialah bahasa. Telaah politik di luar mandalanya. Lalu, apa yang mengganjal pikiran dengan menerima reshuffle begitu saja?
Timbul komplikasi fonetik-morfemik ketika kita memutuskan menganak-angkatkan kata dalam bahasa Inggris yang bermakna ’mengocok kembali’, seperti permainan kartu, hanya dengan rekonsiliasi bunyi dan ejaan. Di zaman ini, menegakkan reshuffle dalam komunikasi-tulis menjadi ”risyafel” merupakan tindakan minimalis.
Ada dua pilihan untuk mendeteksi larap bagi reshuffle dalam khazanah kata bahasa Indonesia: mengimitasi makna pangkal kata itu sepersis-persisnya atau memutasi makna kata itu kemudian menyesuaikannya dengan praksis yang sesungguhnya berlangsung atas nama kata itu. Tentu dengan satu catatan, seyogianya lema yang akan dideteksi jarang dipakai untuk berbagai keperluan atau wilayah pemakaiannya dalam urusan yang sangat khusus terbilang sempit.
Jalan imitasi menelusuri beberapa kamus untuk memadankan reshuffle dalam bahasa Indonesia menemukan aktualitasnya hanya pada satu kandidat: bancuh. Bancuh menurut pekamus Alan M Stevens dan A Ed Schmidgall-Tellings terbatas digunakan dalam lingkup Melayu. Membancuh selain bermakna mengaduk sampai rata seperti mencampur semen dan pasir, juga ”mengocok (kartu)” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa atau ”mengocok (kad-kad)” menurut Kamus Dewan. Stevens dan Schmidgall-Tellings dalam A Comprehensive Indonesian-English Dictionary mencatat makna kedua bancuh sebagai ’to shuffle (cards)’.
Akan tetapi, pengalaman pada masa pemerintahan Soeharto dan sesudahnya memperlihatkan reshuffle mirip dengan merangkai bunga. Yang busuk diganti dengan yang baru. Yang segar dipertahankan. Di sini reshuffle mengalami mutasi makna, tak lagi mengocok seperti dalam permainan kartu, melainkan menata kembali seperti merangkai bunga. Orang Jakarta bilang: meronce. Reshuffle itu seperti meronce kembang. Persoalannya, makna lain meronce dalam kamus ekabahasa ialah merampok atau merampas. Maka, tak ada pilihan selain menempuh jalan imitasi. ”Pembancuhan kabinet”: kiranya itulah yang pas sebagai padanan bagi ”reshuffle kabinet”.
Ping-balik: Copot « Rubrik Bahasa
Bravo! Padanan baru yang cukup logis untuk diterima dan praktis. Mari, kita sambut kedatangan kata “pembancuhan” sebagai padanan “reshuffle”.