Rutuk Radang Tentang Kata Tuhan

Tuhan-membusuk

T.G. Haji Syafruddin*, Riau Pos, 28 Sep 2014

Satu spanduk bertulisan “Tuhan Membusuk, Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan” terpampang di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya, pada 28—30 Agustus 2014. Tulisan itu menjadi tema Orientasi Cinta Almamater (Oscaar) yang dilaksanakan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema). Tak dinyana, isi spanduk itu berakibat rutuk radang dan kutuk amuk dan hamun buruk bagi mereka. Berbagai pihak bereaksi mengkritik dan mengecamnya sebagai tindakan yang tidak layak. Front Pembela Islam (FPI) Daerah Jawa Timur pun melaporkan pihak UIN Sunan Ampel kepada kepolisian.

Mereka marah karena tulisan pada spanduk yang telah menyebar pula di media sosial itu diindikasi menista dan melecehkan Tuhan, agama, dan Pancasila. Malah mereka juga beranggapan bahwa hal itu lebih parah daripada gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang akhir-akhir ini marak. Mereka menegaskan bahwa rektor, dekan, dema, senat mahasiswa, dan panitia orientasi harus bertanggung jawab, serta polisi mesti menyelidiki kasus yang mengusik sentimen keagamaan itu (baca Tempo.com, 2 September 2014).

Permohonan maaf yang mengatasnamakan institusi pun disampaikan Dekan Fakultas Usuhuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel, Dr. Muhid, M.Ag., kepada masyarakat. Rapat Rektorat, kemudian, memberikan sanksi pembekuan organisasi Dema hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Disimpulkan, Dema ditengarai telah mencemarkan nama almamater, melanggar kode etik mahasiswa, dan melanggar Surat Keputusan Rektor tentang Penyelenggaraan Orientasi Cinta Akademik dan Almamater. Namun, meskipun begitu, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Ampel, Surabaya, Rahmat, berkilah bahwa yang dimaksud Tuhan dalam tema itu bukan Tuhan Yang Maha Esa, tapi Tuhan yang fana, yaitu manusia yang mengaku tuhan, yang sudah meniru sifat-sifat Tuhan. Pernyataan itu sama dengan yang diucapkan dekan yang mengatakan bahwa isi spanduk itu harus dimaknai secara kontekstual dan menyeluruh supaya tidak salah paham. “Tuhan Membusuk” secara kontekstual ialah perilaku manusia sering sombong, tidak adil, dan tidak jujur.

***

MESKI tidak ada kesepakatan kesepahaman mengenai konsep ketuhanan, di negeri berbahasa Melayu kata tuhan bermakna amat sakral, tak layak dijadikan seloroh, olok-olok, dan lebih lagi dileceh-remehkan. Kata tuhan menyatakan makna yang merujuk kepada satu zat abadi dan supernatural. Kata ini pada agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) ditujukan kepada Allah Yang Mahasempurna: Pencipta, Penguasa, Pengatur, serta Yang Menyegalamacamragamkan alam beserta segala yang ada. Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta (cet. V, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976: 1094)—yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa—juga menyatakan, Tuhan ‘Allah, Tuhan Allah, Allah, Tuhan Yg Esa, Allah yg hanya satu’. Kamus Besar Bahasa Indonesia pun mendefinisikannya Tuhan dengan ta’rif ‘yg diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sbg Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dsb’ (KBBI cet. Kesembilan, 1997:1076).

Frasa Tuhan Membusuk yang tertera pada spanduk di UIN Sunan Ampel Surabaya itu, tentu saja berpotensi mengusik perasaan keimanan siapa pun. Ada kesan pelecehan yang sangat tidak berkepatutan – yang menjarah wilayah aqidah, keyakinan paling sublim imaniyah di sanubari insani. Frasa itu bukan frasa endosentrik yang atributif sehingga tidak dapat dipahami banyak orang (orang kebanyakan) pada alur pemikiran filsafat yang harus dimaknai secara kontekstual dan menyeluruh sebagaimana harapan Dr. Muhid, M.Ag. Dalih ucapannya itu justru sangat berpeluang menimbulkan rutuk radang kemarahan dengan cap tuduhan sesat. Masyarakat hanya terarah pada arti dan konsep keutuhan makna yang umum dipahami dan tidak akan beringsut dari kelaziman pemahaman itu.

Memang Alquran menegaskan bahwa ada di antara manusia dan jin yang berpotensi menjadikan selain Allah sebagai ilah (yang cenderung disanjung dan dilebihutamakan, sesuatu yang diibadati, ditaati, atau “disembah”—berupa manusia, barang, dan atau yang lainya), yang diperlakukan menyamai dan bahkan melebihi Allah akibat memperturutkan hawa nafsu. Namun, kehendak nafsu diperturutkan itu dapat membuat manusia berbuat ingkar, melanggar hal-hal yang dilarang (baca, simak, dan pahami Q.S.2, Al-Baqoroh: 165; Q.S.25, Al-Furqoon: 43; dan Q.S.45, Al-Jaatsiyah: 23). Hal itu dinafikan dengan kalimah Laa Ilaha Illa Allah.

***

KAJIAN etimologis dan terminologis menyebutkan ada dua versi asal kata Tuhan. Ensiklopedi Populer Gereja (Adolf Heuken S.J., 1976) menyebutkan, kata Tuhan ada hubungannya dengan kata tuan (Melayu) yang berarti ‘atasan/penguasa/pemilik; digunakan untuk menyebut seseorang yang berkedudukan lebih tinggi atau yang dihormati’. Perubahan kata tuan (bersifat insani) menjadi Tuhan (bersifat ilahi), tulis Remy Sylado (alias Yapi Panda Abdiel Tambayong), bermula dari terjemahan Alkitab ke bahasa Melayu oleh Melchior Leijdecker, 1773. Menurut Remy, penambahan huruf /h/ pada beberapa kata bahasa Indonesia, seperti asut menjadi hasut, utang menjadi hutang, empas menjadi hempas, dan silakan menjadi silahkan, mirip kasus nominatif dan singularis tatabahasa Sansekerta ke Kawi dan Jawa. Di Ambon, ulas Remy, Tuang Ala berarti Tuhan Allah.

Versi kedua mengatakan bahwa kata Tuhan berasal dari bahasa Sanskerta yang diserap dalam bahasa Jawa Kuno, yaitu Tuh Hyang ‘Tuan Dewa’. Prasasti Trengganu (prasasti tertua berbahasa Melayu yang bertuliskan huruf Arab Jawi) pun menyebut Tuhan sebagai Sang Dewata Mulia Raya. Dewata yang dikenal orang Melayu berasal dari kata devata, sebagai hasil penyebaran agama Hindu-Budha di Nusantara. Kata Tuh Hyang dinilai lebih cermat daripada kata tuan sebagai asal kata Tuhan. Itulah sebabnya kata salat pun diterjemahkan menjadi sembahyang. Akan tetapi, ada kerancuan terjemahan Alquran terhadap kata ilah dan robb yang disamaterjemahkan menjadi Tuhan. Padahal, kata ilah mengarah kepada tauhid uluhiyah dan ubudiyah, sedangkan kata robb merujuk kepada tauhid rububiyah dan tauhid asma wa alsifah. Oleh karena itu, seyogyanya para muslim tidak menggunakan kata Tuhan, tetapi dipadupadakan pada Allah, Ilah, Robb, dan nama-nama Allah yang lainnya sebagaimana ditegaskan Q.S.7, Al-A’rof: 180.

*) Saleh Sai Gergaji FIB Unilak

Sumber gambar: Okezone

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.