Bahasa Ibu, Apa Perlunya?

Saut Poltak Tambunan*, KOMPAS, 28 Feb 2015

Tak banyak yang galau ketika pada 2011 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa masih bersisa 746 bahasa daerah di Indonesia. Diperkirakan bahwa pada akhir abad ke-21 hanya 75 bahasa daerah yang bertahan. Bila saat itu tiba, di manakah posisi bahasa daerah yang sekarang pun sudah mulai ditinggalkan penuturnya?

Juga tak banyak yang tahu bahwa 21 Februari telah ditetapkan oleh UNESCO per 17 November 1999 sebagai Hari Internasional Bahasa Ibu. Di Indonesia gaung Hari Bahasa Ibu tak terdengar, padahal sebagian besar anak bangsa ini mengenal bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Sesungguhnya ini peringatan bagi setiap pemangku kepentingan budaya sebab pelajaran bahasa daerah terpinggirkan dari kurikulum sekolah dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu sudah digantikan dengan bahasa Indonesia dengan logat kedaerahan.

Anak-anak sejak dini dibiasakan berbahasa Indonesia karena, bila nanti merantau, itulah yang diperlukan selain bahasa asing. Bukan bahasa daerah. Berikutnya berbahasa Indonesia menjadi bagian dari gaya hidup. Berbahasa daerah dianggap anakronis, ketinggalan zaman, bahkan keliru zaman. Keadaan itu diperburuk oleh kian langkanya buku baru atau media cetak berbahasa daerah.

Di luar Pulau Jawa hampir tak ada institusi resmi—kecuali lembaga adat atau agama—yang merasa perlu mengawal bahasa daerah. Di Pulau Jawa majalah berbahasa daerah masih dicintai pembacanya. Malah ada pemerintah daerah yang, melalui peraturan daerah, mewajibkan instansi pemerintah menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi lisan di lingkup kantor.

Sejak tahun 2012 hingga awal 2015 saya menulis dan menerbitkan enam buku sastra modern berbahasa Batak Toba. Karena itu, untuk kali pertama selama 27 tahun penyelenggaraan Penghargaan Sastra Rancage, Ajip Rosidi mengumumkan bahwa bahasa Batak Toba disertakan dalam penghargaan untuk tahun ini. Saya juga menulis puisi sambil mencoba menularkan pencerahan kepada para penulis lain bahwa bahasa Batak Toba cukup indah untuk ”diapakan” saja.

Apresiasi terhadap buku ini mengharukan sebab ternyata masyarakat Batak masih mencintai dan sangat merindukan bacaan dalam bahasa ibu. Tidak berlebihan jika Hotman M Siahaan, sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, memberi komentar bahwa buku Mangongkal Holi berbahasa Batak Toba itu ibarat homban, mata air di padang kering.

Sebaliknya, seperti halnya penulis bahasa daerah lain, saya juga berhadapan dengan pertanyaan: apa urgensinya berbahasa daerah? Pertanyaan ini disodorkan seiring dengan mulai tergesernya bahasa daerah sebagai bahasa ibu oleh bahasa Indonesia. Sejak dini banyak anak-anak yang dibiasakan berbahasa Indonesia, meski dengan logat khas daerah setempat, sebab kebiasaan berbahasa daerah boleh jadi dianggap akan menghambat proses asosiatif sebagai konsekuensi logis dari interaksi sosial yang akan dihadapinya di negeri orang. Ini memprihatinkan di tengah upaya menggalakkan penulisan sastra berbahasa daerah.

Bahasa daerah adalah pintu utama memasuk ruang-ruang budaya etnik. Banyak kearifan lokal dan nilai luhur tradisional yang hanya tepat ditransformasikan lewat bahasa ibu.

Karena itu pula, banyak kearifan lokal yang sirna bersamaan dengan pudarnya minat bertutur dalam bahasa daerah.

Modernisasi memang melukai tradisi. Kita tidak perlu menuding siapa-siapa.

Hanya kita, penganut tradisi itu, yang harus melestarikannya.

* Novelis, Penerima Hadiah Sastra Rancage 2015

2 tanggapan untuk “Bahasa Ibu, Apa Perlunya?

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.