Sapardi Djoko Damono*, Majalah Tempo, 14 Mar 2016
Pada suatu hari beberapa puluh tahun yang lalu, tiga orang Jawa ngobrol di sebuah kampus. Saya salah seorang di antaranya. Meskipun menetap di Jakarta, kami lebih sering menggunakan bahasa Jawa. Obrolan lancar-lancar saja sampai ketika saya mengucapkan kata randedhit. Salah seorang, yang berasal dari Solo, memahami arti kata itu, tapi orang Jawa yang lain, yang dibesarkan di Kediri, bertanya (dalam bahasa Jawa) apa arti kata itu. Rekan saya yang dari Solo menjelaskan, kata itu berarti “tidak punya uang”, kependekan dari ora duwe dhuwit. Seandainya kami mencari kata itu di kamus bahasa Jawa, tentu sia-sia saja usaha itu. Tentu kita berhak bertanya, mengapa demikian. Letak masalahnya tidak pada perbedaan asal kami, atau pada beragamnya bahasa Jawa, tapi pada perbedaan antara bahasa lisan dan tulis.