Jembatan

Irfan S. Fauzi (Tempo, 7 Apr 2024)

Selama ini Presiden Joko Widodo telah membangun banyak infrastruktur, dari jalan tol hingga, tentu saja, Ibu Kota Nusantara (IKN). Beberapa bulan menjelang lengser pun rupanya Jokowi ingin membangun satu infrastruktur lagi, yaitu jembatan.

Jembatan ini bukan sembarang jembatan. Sementara galibnya jembatan dibuat dari baja, beton, dan besi, jembatan ini terbuat dari darah, daging, dan tulang. Tujuannya pun aduhai betul: demi kepentingan negara.

Proyek “jembatan” Jokowi ini disampaikan kepada wartawan pada 19 Februari 2024, sehari setelah ia mengundang Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh ke Istana Negara. “Saya ingin menjadi jembatan untuk semuanya,” katanya (Tempo, 25 Februari 2024). Oh, rupanya Presiden Jokowi bukan ingin membangun jembatan, melainkan menjadi jembatan.

Kita tahu ini gaya bahasa walaupun metafora pemimpin sebagai jembatan ini klise, membosankan, dan sebenarnya kurang bergaya. Kamus Besar Bahasa Indonesia VI Daring mencatat bahwa jembatan adalah kiasan perantara dan penghubung.

Sebelum Presiden Jokowi, rekan satu partainya, Ganjar Pranowo, juga pernah menyatakan diri sebagai jembatan. Kita bisa membaca pernyataan tersebut dalam buku Ganjar Pranowo: Jembatan Perubahan (2019) karya Bestian Bambang dkk.

“Saya adalah jembatan. Maka, saya siap dimarahi, dipukuli, termasuk diinjak dari atas,” ucap Ganjar. Ungkapan tersebut merupakan gambaran peran Ganjar sebagai gubernur. “Di satu sisi, ia menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, tetapi di sisi lain juga menjadi koordinator bagi wali kota dan bupati,” tulis Bambang.

Penggunaan metafora jembatan oleh Ganjar tepat. Tapi struktur antara pemerintah pusat, gubernur, dan wali kota/bupati yang hierarkis agak mengaburkan gambaran kita pada jembatan sebagai sesuatu yang konkret. Jembatan umumnya menghubungkan dua permukaan yang setara. Jika tak setara, bukan jembatan namanya, tapi ramp atau tangga.

Metafora jembatan pada Jokowi lebih liat diurai. Tapi metafora itu agaknya terjelaskan dalam laporan Tempo edisi 25 Februari 2024. Presiden Jokowi ingin menjadi jembatan bagi partai yang tidak mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada pemilihan presiden agar bergabung ke Koalisi Indonesia Maju. Dengan begitu, pemerintahan Prabowo-Gibran akan didukung mayoritas partai di Dewan Perwakilan Rakyat.

Tanah seberang dari jembatan ini bisa didekor sebagai sesuatu yang indah, seperti rekonsiliasi, merangkul semua kepentingan, atau persatuan demi bangsa dan negara. Tapi, seperti apa yang ditulis Rocky Gerung dalam esai “Merampok Negeri” (2024), persekongkolan partai-partai bisa menghalangi tumbuhnya politik oposisi yang autentik. Kondisi ini, kita tahu, nyaris terjadi pada periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi (2019–2024).

Di dalam dirinya, seorang pemimpin memang tempat pertemuan banyak kepentingan. Tapi, dalam konteks metafora jembatan yang diungkapkan Ganjar dan terutama Jokowi, sang pemimpin baru menghubungkan dirinya dengan para pemangku kebijakan atau elite partai semata. Metafora dari dua pemimpin itu tidak memunculkan jalur hubungan antara pemimpin dan rakyat.

Metafora hubungan antara pemimpin dan rakyat pernah digunakan Presiden Sukarno. Dia mendaku sebagai “penyambung lidah rakyat”. Dalam amanat yang disampaikan pada 17 Agustus 1963, Presiden Sukarno menerangkan tugasnya sebagai penyambung lidah. “Pidato 17 Agustus (yang kusampaikan) harus benar-benar menjadi penyambung lidahmu … hai saudara-saudara yang lidahmu tidak bisa berbicara sendiri,” katanya. Di situ kita membaca Sukarno merasa bahwa suaranya adalah suara rakyat. Dia mengucapkan aspirasi rakyat, yang tidak mampu mengartikulasikannya.

Metafora-metafora yang diajukan para pemimpin ini rupanya menempatkan rakyat pada posisi menyedihkan antara absen atau diinfantilisasi. Kita berharap ada pemimpin yang kelak bisa membentuk hubungan yang setara dengan rakyat sekaligus memberi metafora yang segar atasnya.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.