Lingua Franca

Majalah Tempo, 10 Mei 2010. Agung Y. Achmad: Wartawan.

“Berterimakasihlah Anda sebagai bangsa Indonesia kepada Bung Karno, karena ia telah berjasa mewujudkan cita-cita para pendahulunya untuk menjadikan bahasa Melayu, dan bukan bahasa Jawa, sebagai bahasa nasional.”

Nukilan di atas saya kutip dari Imaduddin Abdurrachim (almarhum) dalam suatu kuliah subuh di masjid kampus Universitas Diponegoro, Tembalang, Semarang, pada 1990. Ia menirukan ucapan sarjana kenamaan Fazlur Rahman (1919-1988) kepada dirinya dalam suatu perjumpaan, atas anjuran Syafi’i Ma’arif dan Nurcholish Madjid, di sebuah bilik di kampus Universitas Chicago, Amerika Serikat, pada 1980-an. Rahman, demikian guru besar Islamic studies itu biasa disapa, tentu saja tidak sedang berbasa-basi.

Ucapan Rahman relevan dikemukakan untuk membaca satu abad lebih Kebangkitan Indonesia yang ditandai kelahiran Budi Utomo, 20 Mei 1908. Momentum tersebut mengilhami kelahiran Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, perhelatan yang membuahkan rumusan awal bahasa pemersatu (lingua franca), yakni bahasa Melayu, bagi bangsa Indonesia yang tengah memperjuangkan kemerdekaan.

Tanpa bahasa pemersatu ini tidak bisa dibayangkan bagaimana cita-cita pembentukan sebuah bangsa akan diwujudkan, sementara realitas masyarakat Nusantara heterogen (suku, ras, dan agama), dan terutama terdiri atas ribuan bahasa etnik.

Prioritas konsep lingua franca menandai pembentukan bangsa Indonesia baru, dengan demikian, adalah sebuah pencapaian penting. Pengalaman negara-negara yang pernah dijajah yang terlambat menentukan bahasa nasional memperlihatkan betapa mahal ongkos sosial-ekonomi-politik yang harus dibayar ketika mereka hendak mewujudkan agenda-agenda kebangsaan mereka. Masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan pada 1980-an, misalnya, seperti ditulis Eep Saefulloh Fatah (Tempo, 23 Februari 2009), mengalami kesulitan beraktualisasi diri atas nama satu bangsa lantaran tak memiliki bahasa lintas suku, lingua franca, sebagai bahasa komunikasi antarkelompok.

Lalu, mengapa bahasa Melayu? Semua mafhum, bahasa Melayu telah digunakan sebagian besar masyarakat di wilayah Nusantara selama belasan abad. Lebih-lebih di pusat-pusat perdagangan, bahasa Melayu merupakan bahasa resmi perniagaan. Para pedagang asing pun mengikuti aturan ini. Karena itu, secara de facto, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca di wilayah Nusantara.

Bahasa Melayu mudah diterima masyarakat multikultur karena, antara lain, tidak mengenal strata sosial ketat alias egaliter. Hal ini berbeda dengan bahasa Jawa yang mengandaikan tingkatan kelas sosial tertentu dalam pilihan istilah, frasa, maupun tata cara pengucapannya. Pujian Rahman kepada Bung Karno tidak lain lantaran sang proklamator tersebut berperan besar dalam mengawal proses pembahasan materi UUD 1945 hingga disahkan pada 18 Agustus 1945. Konstitusi negara ini memuat bab bahasa negara, bahasa Indonesia, yang berbasiskan bahasa Melayu.

Tapi, sayang, di usia satu abad lebih bahasa Indonesia seperti tidak mendapat apresiasi sepenting anggapan para pendahulu bangsa. Masih banyak kenyataan ragam praktik berbahasa (lisan maupun tulis) Indonesia yang tidak mengindahkan Ejaan yang Disempurnakan (EYD), terutama di ranah formal. Para profesional, misalnya, sering menunjukkan kebanggaan mereka dalam menggunakan istilah asing, padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Yang lebih menyedihkan, praktik semacam itu juga dilakukan lembaga-lembaga pemerintah. Misalnya, penggunaan istilah aanwijzing (Belanda) pada dokumen tender. Lantaran istilah ini saja, jutaan orang di negeri ini “dipaksa” untuk menggunakan istilah yang bisa jadi tidak mereka ketahui makna dan asal-usulnya itu. Tidakkah lebih mengesankan bila aanwijzing diganti dengan kata “penjelasan”?

“Fenomena aanwijzing” hanyalah satu contoh dari dinamika pengembangan bahasa Indonesia yang selalu kedodoran dalam menghadapi akselerasi perubahan di berbagai bidang beserta konsekuensi-konsekuensi linguistiknya. Keterbatasan penguasaan berbahasa Indonesia yang baik dan benar di lingkungan aparatur pemerintah bisa jadi merupakan salah satu pemicu tindak kekerasan, seperti sering dilakukan petugas Satuan Polisi Pamong Praja, atau militer di masa lalu. Bila mereka berkapasitas berbahasa Indonesia yang benar, niscaya mampu berkomunikasi secara baik pada saat bernegosiasi.

Momentum Kebangkitan Indonesia di awal abad ke-20 telah memberikan pelajaran penting tentang etos berbahasa lingua franca yang mampu melahirkan semangat keindonesiaan. Organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang tumbuh pada masa sesudah Budi Utomo, seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, atau Nahdlatul Ulama, untuk sekadar menyebut beberapa, memiliki semangat kebangsaan yang pekat. Muhammadiyah, misalnya, memiliki kontribusi yang tidak kecil dalam memasyarakatkan penggunaan bahasa Indonesia (Melayu) melalui sekolah-sekolah modern sejak 1918.

Kebangkitan Indonesia yang sudah berusia lebih dari satu abad ini bisa kita simpulkan sebagai sebuah penyegaran pemahaman bahasa persatuan Indonesia. Meminjam filsuf Jerman, Gadamer (1900-2002), pemahaman adalah kejadian yang bersifat linguistik, dialektikal, dan historis.

Sumber ilustrasi: All-free-download.

2 tanggapan untuk “Lingua Franca

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.