Sekali Lagi, ‘Alay’

Lampung Post, 10 Nov 2010. Oyos Saroso H.N.: Jurnalis.

Akhir-akhir ini saya sering ditanya oleh banyak kawan tentang maraknya pemakaian bahasa gaul anak muda yang sering disebut sebagai bahasa alay. Pertanyaan bernada cemas biasanya berasal dari kalangan pendidik: apakah lama-lama bahasa gaul ala remaja itu tidak merusak bahasa? Bagaimana nanti nasib bahasa Indonesia jika bahasa alay justru lebih banyak dipakai?

Kecemasan itu wajar jika penutur bahasa Indonesia di perkantoran atau forum-forum resmi sudah menggunakan bahasa alay. Namun, jika para pendidik dan para muridnya, para pejabat dan anak buahnya, para bos dan karyawannya masih memakai bahasa Indonesia di lingkungan mereka, bahasa alay tak perlu dicemaskan. Kondisinya justru bisa dibalik: bagaimana kalau bahasa alay dibiarkan berkembang? Eh, siapa tahu pada tataran tertentu bisa memperkaya bahasa Indonesia.

Saya tidak terlalu mencemaskan maraknya bahasa alay karena faktanya Bahasa Indonesia masih tampak baik-baik saja. Artinya, bahasa Indonesia masih dipakai pada forum-forum resmi. Kita layak cemas jika pada forum-forum resmi seperti seminar, pidato kenegaraan, proses belajar mengajar di sekolah, dan komunikasi di perkantoran orang sudah memakai bahasa alay. Saya yakin peluang ke arah sana sangat kecil karena bahasa alay hanya berpeluang berkembang lewat tulisan. Itu pun dengan media sebatas sarana pesan pendek di telepon genggam atau jejeraring sosial semacam Facebook dan Twitter.

Memang bagi kita yang sudah tak abege lagi, bahasa alay sering membuat kita “pusing”. Ya, bagaimana tidak pusing jika membaca tulisan “lamb knall yupz! nmAq Gendis. . !” (salam kenal ya, nama saya Gendis) “l3h knl n aq mnt n0 hp dunk 9 bwt nmbh tm3n” (setelah kenal minta nomor hapenya dong buat nambahi teman), “chayank …U skul di mn?” (sayang kamu sekolah di mana?), “qOh g Mo iDoP dLAM kmNfqA”(aku tak mau hidup dalam kemunafikan), “nPhA jDe gnE?” (kenapa jadi begini?), “TaKe mE 2 yOuR hEaRtZzz! (take me to your heart/bawalah aku ke dalam hatimu)

Para remaja yang sedang menuju proses menuju dewasa itu sebenarnya sungguh kreatif. Sama kreatifnya dengan para sopir truk yang menghias pantat truknya dengan tulisan “Lapendos” (laki-laki penuh dosa), “Kutunggu Jandamu”, atau “I Love U 4 Ever”.

Bahasa alay sebenarnya tidak lepas dari sebuah fenomena sosial dunia remaja. Ia berkaitan erat dengan gaya hidup, model pakaian, penampilan, hobi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan remaja. Konon, pada awalnya, istilah alay dipakai untuk ‘mendefinisikan’ anak remaja bergaya kampungan. Dalam perkembangan selanjutnya alay kemudian justru menjadi identitas remaja masa kini. Menjadi bukan remaja masa gini atau bukan remaja gaul jika tidak alay. Untuk memperjelas identitas, maka bahasa alay dipakai kelompok remaja itu. Akhirnya, bahasa alay pun berkembang seperti sekarang.

Dalam ilmu bahasa, bahasa alay termasuk sejenis bahasa diakronik. Yaitu bahasa yang dipakai oleh suatu kelompok dalam kurun waktu tertentu. Ia akan berkembang hanya dalam kurun tertentu. Perkembangan bahasa diakronik ini, tidak hanya penting dipelajari oleh para ahli bahasa, tetapi juga ahli sosial atau mungkin juga politik. Sebab, bahasa merupakan sebuah fenomena sosial. Ia hidup dan berkemban karena fenomena sosial tertentu.

Seperti bahasa slang atau bahasa khusus para gay, perkembangan bahasa alay kecil kemungkinannya untuk bisa mengalahkan bahasa Indonesia. Dengan begitu, tak ada alasan bagi kita mencemaskan perkembangan bahasa alay.

Yang bisa mengancam Bahasa Indonesia adalah adalah pemakaian bahasa yang tidak pada tempatnya. Misalnya yang terjadi di Madura baru-baru ini: sidang paripurna DPRD digelar dengan bahasa Madura. Dalam forum resmi tersebut semua anggota Dewan memakai baju adat Madura dan memakai bahasa Madura dari awal sampai akhir acara. Hal itu tentu saja berbeda dengan khotbah di masjid atau gereja di desa-desa di sebagian daerah Jawa Tengah yang masih memakai bahasa Jawa.

Kita juga layak cemas ketika seorang pejabat di Provinsi Lampung mengusulkan akan ada satu hari khusus bagi karyawan di lingkungan pemerintahan Provinsi Lampung menggunakan Bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar di perkantoran. Maksudnya mungkin untuk melestarikan bahasa daerah, tetapi caranya tidak tepat.

Jadi, wahai para remaja, silakan terus ber-alay-alay. Asalkan dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat.

Satu tanggapan untuk “Sekali Lagi, ‘Alay’

  1. Seperti halnya konsep umum mendidik anak: pengaruh dalam (keluarga) harus lebih kuat daripada pengaruh luar (lingkungan), bahasa Indonesia pun begitu; harus lebih banyak muncul bahasa resmi (baku) daripada bahasa tak resmi (alay), agar kita tetap bisa menjaga jati diri bahasa nasional.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.