Bahasa dan Kematian

KOMPAS, 7 Mei 2010. Samsudin Berlian: Peminat Semantik.

Muslim menyebut Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (Quran 2:156, ”Sungguh, kita adalah milik Allah, dan kepadaNya kita kembali”—terjemahan HB Yassin) bila mendengar tentang kematian seseorang. Ketika kemalangan tiba, seorang Muslim berserah kepada Allah dan bersyukur atas segala apa yang dia terima, pahit sekalipun, dan tetap bersabar.

Kristen Katolik umum memajang RIP (Requiescant in pace ”semoga dia (mereka) beristirahat dalam damai”) di batu nisan. Ini bagian dari doa penguburan: Anima eius et animae omnium fidelium defunctorum per Dei misericordiam requiescant in pace ”semoga jiwanya dan jiwa-jiwa orang beriman yang sudah meninggal beristirahat dalam damai karena belas kasih Tuhan”.

Kristen Protestan biasanya mengutip ungkapan ”pulang ke rumah Bapa” mengikuti ucapan Yesus dalam Yohanes 14:2, ”Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu”.

Bagi Buddhis, kematian adalah kelanjutan hidup ini, suatu titik berangkat baru, bergantung pada karma atau kamma (sebab yang menentukan vipaka atau akibat dalam prinsip universal kausalitas), menuju entah nirwana (damai sempurna, tanpa-duka, tanpa-reinkarnasi) atau kelahiran kembali di dunia ini, serta merupakan peringatan bagi semua manusia akan kefanaannya.

Di Bali Hindu, Ngaben atau Pitra Yadnya, upacara suci untuk arwah manusia yang sudah meninggal, mempercepat pengembalian jasad lewat meralina (kremasi) kepada Pancamahabhuta atau lima unsur alam: akasa (eter), bayu (udara), teja (api), apah (air), dan pertiwi (tanah).

Tradisi dan ungkapan berbeda tentulah biasa di Nusantara beratusan suku bangsa dengan budaya bermacam ragam. Segala upaya menjunjung harmoni, tenggang rasa, solidaritas, dan kerukunan justru baru punya arti dalam konteks kepelbagaian itu. Namun, pada akhirnya yang berlaku bukanlah ”maut menyetarakan yang tinggi dan yang rendah” melainkan ”sampai maut memisahkan kita”.

Tiada cermin lebih paripurna yang menampilkan keterpisahan manusia beragama daripada kompleks perkuburan di Indonesia. Kapling-kapling kuburan yang dipilah-pilah berdasarkan agama membuktikan kebersatuan parsial pemeluk agama dan keterpisahan global umat manusia. Mereka lebih nyaman hidup dan mati dalam kelompok-kelompok kebenaran daripada dalam kemanusiaan universal. Tidak ada rasionalisasi atau apologetika yang bisa menyembunyikan kebenaran ini—bahwa manusia Indonesia lebih menjunjung keyakinannya daripada kemanusiaannya.

Dialog antarkeyakinan tak putus-putus (baru saja Indonesia mengirim delegasi untuk mengikuti dialog antariman di Madrid, Spanyol), toh masing-masing akan menuju pelabuhan kekal berbeda. Paling tidak, dalam perjalanan terakhir, masing-masing menuju kapling kuburan atau tempat kremasi berbeda.

Mungkin sebenarnya yang dianut sebagian besar orang Indonesia adalah bahwa ada aneka surga dan nirwana, tetapi satu neraka.

Sumber ilustrasi: Wikimedia Commons.

2 tanggapan untuk “Bahasa dan Kematian

  1. Tulisan menarik!

    Bukan tidak sering sebuah keluarga yang anggotanya (terutama mereka yang berstatus ‘anak’) berbeda agama berdebat dan baku-mulut tentang orangtua mereka harus dikubur dengan tata-cara atau sebagai penganut agama apa. Padahal mungkin si orangtua tidak punya agama. Bodoh sekali ini…

    1. Manusia memang bodoh, dan zalim. Kemanusiaan tak mengharuskan persamaan dalam strata, agama, dan budaya. Terkhusus agama, ini soal keyakinan dan pencerahan (baca: hidayah) ilahi.
      Tidak ada akal yang bisa mengukur kebenaran, tapi jiwa yang tertuntun akan menemukan kebenaran itu dengan tuntunan Tuhan.
      Kematian sama halnya dengan tidur, istirahat sementara, sebelum dibangkitkan kembali pada waktu yang ditentukan oleh-Nya.
      Surga dan Neraka, dua makhluk tempat berlabuh abadi, sebagai balasan atau hukuman bagi setiap hamba sesuai perilaku ketuhanannya.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.