Permasalahan Berbahasa

LPDS 30 Jun 2009. Yayah B. Mugnisjah Lumintaintang, pengajar di LPDS.

a. Pendahuluan

Topik pembicaraan tertera di atas merupakan salah satu mata pembahasan pada “Lokakarya Jurnalistik untuk Redaktur”; alhamdulillah, saya mendapat kehormatan dari Ketua Dewan Pers dan Ketua Lembaga Pers Dr. Soetomo untuk menjadi pembicaranya. Untuk itu, saya menyampaikan terima kasih yang tulus.

Permasalahan berbahasa bermakna “hal yang menjadikan masalah, hal yang dipermasalahkan, atau persoalan menggunakan bahasa” (KBBI, 2003:719; 90). Untuk memberikan gambaran tentang permasalahan berbahasa atau permasalahan memakai bahasa dalam kondisi masyarakat seperti negara kita ini, saya memanfaatkan pendekatan sosiolinguistik karena permasalahan penggunaan bahasa memang termasuk ke dalam wilayah kajian sosiolinguistik, terutama jika pembahasannya menurut konteks sosial penggunaannya. Sosiolinguistik adalah studi bahasa yang membahas permasalahan utama bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan. Studi dengan pendekatan ini menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam bahasa dengan situasi serta faktor-faktor sosial dan budaya. Selain itu, sosiolinguistik merupakan studi tentang fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.

Untuk pembahasan, sekurang-kurangnya, saya menyampaikan hal-hal berikut: (1) kedaan kebahasaan di Indonesia yang bilingualisme dan diglosia, termasuk bilingual dan bilingualitasnya); (2) komponen sosiolinguistik (SPEAKING) sebagai faktor dominan dalam berbahasa yang baik dan benar, (3) pemakaian dan pemakai bahasa jurnalistik sebagai register (laras bahasa) berikut ciri-cirinya, (5) dampak globalisasi terhadap sikap bahasa, (6) kualitas BI laras bahasa jurnalistik serta contoh kasusnya.

b. Keadaan Kebahasaan di Indonesia yang Bilingualisme dan Diglosia Takstabil

Situasi kebahasaan di Indonesia amat kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa di Indonesia tercinta ini. Di dalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari-hari anggota masyarakatnya, di samping BI, dipakai juga bahasa-bahasa daerah (BD) yang konon lebih dari 760-an jumlahnya, beserta variasi-variasinya, dan bahasa asing (BA) tertentu sesuai dengan fungsi, situasi, serta konteks berbahasa. BI berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara/bahasa resmi, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa komunikasi intraderah, dan bahasa asing berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional umum.

Situasi kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan di atas, jika dipandang dari sudut masyarakat itu atau adanya lebih dari satu bahasa dalam masyarakat itu, dapat disebut bilingualisme secara kemasyarakatan (societal bilingualism). Sehubungan dengan kedudukan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, serta adanya kontak antarbahasa daerah di dalam daerah atau wilayah yang sama, banyak anggota masyarakat Indonesia merupakan bilingual secara perseorangan/individual bilingualism. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi tinggi” dan bahasa daerah sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan umum, BI seyogianya dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.

Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut disebut bilingual atau multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih disebutbilingualitas. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme.

Alih kode adalah penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa secara berganti-ganti di dalam wacana yang sama. Ini berarti bahwa si pembicara/bilingual itu beralih dari perangkat sistem bahasa yang satu ke perangkat sistem bahasa yang lain, seperti dari BI ke BD atau ke BA; dapat juga dari ragam formal ke ragam santai atau dari satu dialek ke dialek lainnya. Dengan kata lain, penutur yang menggunakan alih kode itu merupakan seorang bilingual tinggi (imbang). Alih kode terjadi karena dorongan psikologis serta faktor sosial dan situasional, seperti tuntutan suasana tutur, misalnya emosional, ingin berpamer/prestise, atau karena identitas dan hubungan interlokutor, misalnya sama etniknya, atau karena seting/domain peristiwa tutur dan topik pembicaraan dari yang resmi ke takresmi; misalnya dari dalam ke luar studio, seperti di lapangan TKP, dari topik kedinasan ke topik umum, atau sebaliknya. Bentuk linguistiknya bisa terjadi dalam tataran intra- dan antarkalimat; dalam intrakalimat alih kode itu berupa frasa atau klausa; dalam antarkalimat berupa kalimat. (Contoh dapat dilihat dalam Bagian II.)

Campur kode berbeda dari alih kode; campur kode adalah pengambilan elemen secara tetap dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang dipakai karena tidak ada elemen yang tepat dalam bahasa yang dipakainya itu. Dengan kata lain, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor situasional . Bentuk linguistik campur kode yang paling tinggi, khususnya di Indonesia, berupa leksikalisasi. Di India terdapat campur/pembauran kode antara bilingual Hindu dan Inggris yang disebutHinglish (Kachru, 1978:28); di Filipina pembauran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris yang disebutTaglish atau hula-hula atau mix-mix (Sibayan, 1977:17); di Hongkong pembauran antara bahasa Cina dan Inggris yang disebut Cinglish (Wong, 1979:1); di Malaysia pembauran kode antara bahasa Melayu dan Inggris yang disebut campur bahasa/language mixture (Abdullah, 1979:17). Di Indonesia campur kode antara BI, BD, atau BA disebut bahasa gado-gado (Nababan, 1977).

Di samping pembauran/campur kode, ada yang disebut peminjaman bahasa (borrowing). Terjadinya peminjaman dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain didasari oleh kemampuan minimum bilingual/dwibahasawan, baik bilingual secara perseorangan maupun bilingual secara kemasyarakatan, dalam kedua bahasa tersebut. Bentuk linguistik yang dipinjam cenderung pada tataran leksikal/terminologi.

Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual juga akan menimbulkan gejala interferensi (pengacauan); inteferensi adalah perubahan bentuk bahasa sebagai akibat dari penerapan dua buah sistem bahasa yang berbeda secara serempak pada diri seorang bilingual/multilingual. Inteferensi terjadi pada semua tingkat unsur kebahasaan: pada tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, atau tata arti kata. Timbulnya ragam bahasa takresmi dapat dikatakan sebagai akibat interferensi ini. Gejala ini tidak menguntungkan bagi perkembangan BI karena mengacaukan norma BI.

Setakat ini amat terasa bahwa keadaan kebahasaan di negara kita yang bilingual/multilingual dan diglosik ini cenderung takstabil. Ini ditandai oleh kenyataan bahwa fungsi bahasa-bahasa yang ada di Indonesia ini sudah saling berebut ranah pemakaian. Keadaan ini disebut sebagai kebocoran atau ketirisan diglosia.

Sebenarnya, adanya dua bahasa atau lebih di dalam masyarakat tidak harus menimbulkan persaingan atau tidak perlu dipersaingkan oleh penutur, baik untuk dipakai maupun untuk dipelajari. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa bahasa Melayu, khususnya Melayu Betawi/dialek Jakarta dan BI takresmi/ragam bahasa gaul, yang tergolong ke dalam ragam rendah itu, kini cenderung mengambil alih ranah-ranah pemakaian bahasa Indonesia ragam T; misalnya, di ranah pekerjaan, di ranah sekolah/kampus, di radio, televisi, atau media yang lain.

Dengan gambaran situasi kebahasaan dikemukakan di atas, tampak bahwa bilingualisame/multilingualisme itu sendiri sudah menjadi permasalahan utama dalam berbahasa. Begitu juga domain/ranah pemakaian bahasa, yaitu tingkah laku kebahasaan dalam hubungannya dengan situasi atau tempat suatu ragam bahasa tertentu digunakan. Ranah pemakaian bahasa terdiri dari sembilan jenis: (1) keluarga/family, (2) tempat bermain/play group dan jalan, (3) sekolah/school, (4) gereja (church), (5)kesusatraan/literature,(6) media massa/the press, (7) pengadilan/court, (8) militer/military, dan (9) administrasi pemerintahan/office (Fishman, 1972).

Redaktur/jurnalis sebagai salah satu lapisan masyarakat Indonesia juga merupakan individu-individu yang bilingual/multilingual. Oleh karena itu, di dalam tugas pokok dan fungsinya (tupoksinya) sebagai redaktur, permasalahan berbahasa bukan saja menjadi bagian yang dihadapi melainkan juga menjadi tuntutan untuk mampu mengatasinya., khususnya di dalam pelaksanaan tugas penyuntingan sebagai salah satu kewajiban redaktur, terlebih lagi manakala mereka menjadi penyusun berita juga.

Gambaran kecenderungan terdapatnya ketirisan diglosia di atas juga perlu disadari oleh para redaktur media massa. Tuntutan terhadap sikap bahasa yang positif terhadap pemakaian BI yang baik dan benar (sesuai dengan konteks dan situasi) amatlah diharapkan. Sudah barang tentu hal ini di luar pemilihan gaya bahasa para jurnalis yang produknya disunting. Mereka yang notabene berlatar belakang multilingual/ multikultur itu dapat mempertahankan gaya bahasanya (sebagai hak asasi perseorangan) sehingga para pembaca/pendengarnya bukan saja karib karena tampang dan suara melainkan juga karena pilihan variasi dan gaya bahasa yang melekat pada tulisannya atau tuturannya. Di samping itu, produk redaktur tersebut juga harus telah memenuhi pertimbangan dari aneka segi, terutama dari segi latar belakang pembaca atau pendengarnya/pemirsanya yang sangat heterogen, baik dari sisi etnik/bahasa ibunya, pendidikan, kelas sosial, kelompok usia, domisili (desa-kota) maupun gendernya.

c. Komponen Sosiolinguistik (SPEAKING) sebagai Faktor Dominan dalam Berbahasa yang Baik dan Benar

Untuk memberikan gambaran yang akurat tentang pemakaian bahasa dalam masyarakat yang bilingual/multilingual, Hymes (1962) merekomendasikan pendekatan sosiolinguistik karena dia memandang bahwa bahasa bukanlah sistem yang homogendan tertutup melainkan sistemyang terbuka dan heterogen, yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor luar bahasa (ekstralinguistik). Bahasa bukanlah sistem yang monolitik melainkan sistem yang terdiri dari banyak ragam yang berbeda-beda, dan setiap ragam atau perubahan bahasa itu di dalam kenyataannya tidaklah bebas tetapi berhubungan dengan sistematik perbedaan sosial.

Hymes berpandangan bahwa faktor sosial yang mempengaruhi perbedaan-perbedaan kebahasaan itu adalah apa yang disebut komponen SPEAKING, yaitu:

Setting: tempat (di warteg, kantin, kafe, restoran; tempat ibadat; tempat rekreasi; di rumah, pasar, sekolah, kantor, studio penyiaran, pengadilan, tempat olahraga); waktu (waktu senggang/waktu kerja);situasi (resmi/takresmi)

Participants: orang yang terlibat dalam tidakkomunikasi (khususnya lawan bicara) dengan variabel umur (kanak-kanak,remaja, dewasa, orang tua); jenis kelamin/gender: lelaki dan perempuan; lokasi (sekolah/liuar sekolah); keadaan sosial ekonomi (kaya, menegah, miskin); pendidikan (TK/SD/SLTP/SLTA/PT/Universitas); pekerjaan (pegawai/karyawan, buruh, PNS/Swasta/ABRI); organisasi, suku, agama, dan keturunan; jarak sosial (atasan/bawahan), buta huruf, terdidik; etnik/bahasa ibu:Jawa, Sunda, Bali, Makassar, dan Bugis; bangsa:Arab, Cina, dst.

Ends: tujuan yang hendak dicapai, harapan terhadap tujuan yang dikomunikasikan; sekadar menyampaikan informasi/untuk mempengaruhi

Act sequence: yang hendak dikomunikasikan (pikiran, perasaan, keinginan, keluhan, makian; medium komunikasi (lisan/tulis)

Key: bagaimana komunikasi itu berlangsung: santai, akrab, resmi, berjarak, lama tidak berjumpa, jujur, ada yang harus disembunyikan

Instruments: saluran yang dipilih: verbal, nonverbal (dengan dialek, idiolek, sosiolek, fungsiolek)

Norms: membuka suatu komunikasi; bagaimana menjaga agar komunikasi tetap berlangsung; bagaimana menyelesaikan sebuah komunikasi

Genres: bentuk yang harus dipilih: puisi, doa, surat resmi, surat pribadi, cerita, peribahasa, pidato, laporan, tanya-jawab, diskusi, ceramah

Konsep berbahasa Indonesia dengan baik dan benar amat berkaitan dengan komponen komunikasi dikemukakan di atas karena interpretasi berbahasa yang baik adalah pemilihan ragam bahasa yang sesuai dengan tuntutan situasi komunikasi; berbahasa yang benar adalah yang sesuai dengan sistem/kaidah bahasa yang baku. Selain itu, prinsip kerja ini dapat dikatakan sejiwa dengan konsep kerja jurnalistik, 5W 1H. Dalam perwujudannya, pemakaian bahasa baku itu tampak pada aspek berikut:

(1) ketepatan gramatika (ketatabahasaan): (a) ketepatan struktur kalimat; (b)ketepatan pembentukan kata;
(2) kecermatan pilihan kata: (a) penggunaan kata yang tepat; (b) menghindarkan unsur yang mubazir;
(3) ketepatan makna;
(4) ketepatan pemakaian/penerapan kaidah EYD.

Walaupun seluruh komponen sosiolinguistik Hymes tersebut di atas berhubungan dengan konsep berbahasa Indonesia yang baik, di dalam kenyataannya komponen-komponen itu tidak bersama-sama (sekaligus) masuk sebagai veriabel dalam suatu situasi tutur; biasanya ada di antaranya yang amat dominan terhadap pemilihan ragam bahasa; misalnya, topik pembicaraan, partisipan (lawan bicara), dan seting peristiwa tutur.

d. Pemakaian dan Pemakai Bahasa, Register Jurnalistik dan Ciri-Cirinya

Istilah pemakaian bahasa mengacu ke satu dimensi yang dipakai untuk membedakan ragam-ragam bahasa. Bahasa dibedakan menurut (1) pemakaiannya dan (2) pemakaianya, yaitu siapa yang menggunakan bahasa itu. Sehubungan dengan pemakaiaannya, ragam bahasa dibedakan atas tiga subdimensi:
(1) bidang/field, tentang apa bahasa itu dipakai;
(2) cara/mode, yakni medium apa yang dipakai di dalam pemakaian bahasa itu: lisan ataukah tulis;
(3) tenor, yang mengacu ke hubungan peran antarpartisipan yang terlibat.

Karena hubungan peran menentukan derajat keresmian bahasa yang dipakai oleh partisipan-partisipan itu,tenor dapat dipandang sebagai penentu tingkat keresmian situasi dan karena itu, tenor mengacu ke derajat keresmian bahasa yang dipakai di dalam situasi yang ada. Dalam hal ini tenor dilihat sebagai yang mengacu ke ragam-ragam bahasa menurut derajat keresmiannya. Di dalam bahasa Inggris, misalnya, dikenal lima ragam gaya keresmian berbahasa, yaitu ragam beku/frozen; resmi/formal;konsultatif/consultative, santai/casual, dan akrab/intimate.

Perpaduan atau sinergi dari ketiga dimensi tersebut (bidang, cara, dan tenor) membentuk apa yang disebut laras bahasa (register), yaitu ragam bahasa atau variasi bahasa yang dibeda-bedakan menurut:
(1) bidang wacananya (yaitu menurut pokok pembicaraan);
(2) mediumnya (yakni tulis atau lisan);
(3) tenornya (yakni ragam gaya resmi ataukah santai, dsb.)

Pembedaan antara laras bahasa yang satu dan laras bahasa yang lain ditandai oleh perbedaan
(1) penggunaan kosa kata dan peristilahan,
(2) struktur kalimat, dan
(3) pelafalan–kalau mediumnya lisan (Halliday, 1970).

Dengan mengacu konsep yang dikemukakan Halliday tersebut, bahasa di bidang jurnalistik tergolong ke dalam laras bahasa (register). Selanjutnya, pembahasan tentang bahasa jurnalistik menjadi laras bahasa/register jurnalistik, yang pemakainya sudah barang tentu para jurnalis. Akan tetapi, secara umum, pemakai/pengguna bahasa itu adalah anggota masyarakat bahasa itu. Karena mereka itu terdiri dari kelompok-kelompok sosial, pemakai bahasa pada dasarnya adalah anggota setiap kelompok masyarakat yang ada. Dengan bergantung kepada dimensinya, pemakai bahasa dapat berupa anggota
(1) kaum lelaki/kaum perempuan,
(2) kelompok pendidikan tertentu,
(3) kelas sosial yang ada,
(4) profesi tertentu (seperti jurnalis, polititisi, ataukah akademisi),
(5) daerah geografis tertentu,
(6) kelompok umur tertentu,
(7) (keanggotaan) mereka pada kasta tertentu,
(9) etnisitas tertentu,
(10) domisili pengguna bahasa (di pedesaan ataukah di kota), dan sebagainya karena pengertian pemakaian bahasa memang luas sekali.

Sebagai salah satu ragam bahasa, bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat yang khas, yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, lancar, dan menarik (Anwar, 1979). Sifat singkat dan padat berkaitan dengan sifat ekonomis. Sifat sederhana, jelas, dan lugas berkaitan dengan konsumsi semua lapisan masyarakat dari berbagai tingkat pendidikan dan sosial ekonomi. Sifatsederhana juga berkaitan dengan tata bahasa. Kata yang lugas berkaitan dengan kata yang bermakna sebenarnya, yang tidak menimbulkan ketaksaan. Kalimat yang sederhana dan kata yang lugas berkaitan dengan kemampuan menimbulkan kejelasan informasi (pembaca tidak mengulang-ulang membacanya). Sifat lancarberhubungan dengan gaya pemaparan yang terkesan mengalir dengan terarah, tidak terputus-putus; ini berkaitan dengan pengembangan pernalaran: bagaimana sesuatu dipaparkan; mulai dari mana dan berakhir di mana; semuanya harus menunjukkan satu kesatuan informasi. Bahasa yang lancar akan menyebabkan tulisan menarik.

Di samping sifat-sifat dikemukakan di atas, menurut H. Munhof, penulisan berita jurnalistik harus memperlihatkan ketepatan (accuracy); keringkasan (brevity); kejelasan (clarity); kesederhanaan (simplicity), dan kesungguhan, ketulusan (scincerity). Sebagai wacana teknis, kebakuan laras bahasa jurnalistik diukur dengan kriteria bidang wacananya (yaitu menurut pokok pembicaraan); mediumnya (yakni tulis atau lisan); tenornya (yakni ragam gaya resmi ataukah santai, dsb.)

Pembedaan antara laras bahasa yang satu dan laras bahasa yang lain ditandai oleh perbedaan (1) penggunaan kosa kata dan peristilahan, (2) struktur kalimat, dan (3) pelafalan – kalau mediumnya lisan (Halliday, 1970).

Dalam perwujudannya, pemakaian bahasa baku tampak pada aspek (1) ketepatan gramatika (ketatabahasaan); (2) ketepatan struktur kalimat; (3) ketepatan pembentukan kata; (4) kecermatan pilihan kata, yaitu dengan penggunaan kata yang tepat; (5) menghindarkan unsur yang mubazir; (6) ketepatan makna; (7) ketepatan struktur pemakaian/penerapan kaidah EYD. Di samping itu, unsur kekohesian dan kekoherensian.

Di samping ciri-ciri BI tulis media cetak dikemukakan di atas, media elektronik televisi memiliki ciri-ciri berikut:
a. pelafalan dengan: (1) tolok ukur lafal bahasa Indonesia baku; (2) pemenggalan kalimat; (3) enunsiasi/kejelasan; (4) intonasi/lagu kalimat.
b. bahasa dengan: (1) peristilahan; (2) pilihan kata; (3) bentuk kata; (4) struktur kalimat; (5) paragraf bahasa lisan; dan (6) wacana.
c. pernalaran dan organisasi tuturan;
d. sikap berbicara.

Tolok ukur BI lisan baku ditandai oleh pemakaian bahasa Indonesia yang tidak diwarnai oleh lafal bahasa ibu atau bahasa daerah lain, termasuk bahasa asing. Pemenggalan kalimat BI lisan baku cenderung ditentukan oleh nilai rasa bahasa penutur (sense of language), yang berhubungan erat dengan kemampuan/penguasaan penutur atas makna setiap kata dalam konteks pengalimatan penutur tersebut.

Enunsiasi (kejelasan) berkaitan dengan kejelasan pengucapan kata, kejelasan intonasi /lagu kalimat, termasuk ketepatan pemenggalan kalimat dalam konteks bagian-bagian wacananya. Kejelasan juga beruhubungan dengan tempo bicara sehingga dapat menentukan kualitas komunikasi.Namun, enunsiasi juga berkaitan dengan pembawaan penutur. Untuk intonasi/lagu kalimat, Alisjahbana (1976) membagi tiga jenis:
1) intonasi kalimat berita;
2) intonasi kalimat tanya;
3) intonasi kalimat perintah.

e. Dampak Globalisasi terhadap Sikap Bahasa

Globalisasi sudah menjadi fenomena semesta; globalisasi, suka atau tidak suka, juga mengubah sikap bahasa penutur Indonesia terhadap BI, terutama di kota-kota besar di Indonesia, khususnya terhadap BI resmi; penggunaan BI resmi, termasuk bahasa nasional, dianggap kurang bergengsi (kurang prestise), kurang nyaman (comfort), kurang canggih, bahkan dirasakan kurang aksi/kurang bergaya (prestige motive). Sikap ini juga terjadi pada media-media elektronik kita; dengan dalih era globalisasi, mata-mata acara ditayangkan dengan bahasa Inggris, malahan presenternya pun menggunakan bahasa gado-gado.

Demikian pula halnya sikap bahasa terhadap bahasa daerah; bahasa daerah kita cenderung telah tergusur karena penggunaan bahasa daerah dianggap kampungan. Sikap seperti itu tidak boleh terjadi; ini amat berbahaya karena penggusuran terhadap bahasa daerah akan berakibat terhadap tergusurnya kebudayaan daerah; hilangnya bahasa daerah berarti hilangnya kebudayaan daerah. Itu akan menimbulkan kekosongan/ kehampaan kebudayaan (cultural void); ini akan mencengkeram masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, bahasa adalah jaringan sentral kebudayaan, di samping sebagai salah satu produk kebudayaan itu sendiri. Penggantian budaya yang sudah mapan dan berakar oleh budaya lain yang baru dan asing bisa menjadi fatal; ini akan menjadi krisis identitas yang amat serius. Konon masyarakat yang kehilangan budayanya akan dihinggapi penyakit kehilangan kepercayaan diri; masyarakat itu akan selalu bergantung kepada orang lain, akan mencari tuntunan orang lain di dalam membuat putusan-putusan.

Setakat ini sikap bahasa yang lain adalah kecenderungn memberi gengsi tinggi terhadap BI ragam rendah/ragam bahasa gaul, termasuk suka mencampur-campur unsur bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di samping suka beralih-alih ke bahasa tersebut, padahal konteks dan situasi komunikasi tidak menuntutnya. Dengan kata lain, terdapat tumpang-tindih ranah penggunan bahasa. Ranah yang menuntut penggunaan bahasa resmi disulih dengan bahasa ragam rendah/bahasa gaul; konteks dan situasi interaksi resmi disulih dengan bahasa campur-campur atau dengan konstruksi wacana yang penuh dengan interferensi dari nonbahasa Indonesia resmi.

Secara kasat mata, globalisasi juga menurunkan derajat kebakuan ragam bahasa resmi: BI resmi mendapat gangguan dari bahasa asing, terutama bahasa utama dunia, seperti bahasa Inggris; gangguan ini cenderung tampak pada tingginya gejala interferensi (baik secara gramatikal maupun leksikal) dan gejala campur-campur bahasa BI-BA/Inggris, termasuk pemanfaatan alternasi (beralih/alih bahasa) yang sebenarnya tidak diperlukan/tidak dituntut dalam situasi komunikasi yang sedang berlangsung. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa globalisasi mengimplikasikan kecenderungan mengendurnya semangat nasional pada generasi muda bangsa kita, terutama di kota-kota besar. Bahkan, Putu Widjaja menyebutnya sebagai bencana nasional pada suatu seminar di Pusat Bahasa.

f. Model/Teladan yang Masih Langka

Percontoh penutur/penulis/pemegang garis haluan yang seharusnya dapat dijadikan model/teladan berbahasa dengan baik dan benar kini makin langka. Ini pun sudah menambah kosakata yang disebut permasalahan bahasa.Telitian cenderung menunjukkan bahwa produk tulisan yang bernilai dokumentasi tinggi, seperti produk hukum (laras bahasa hukum), cenderung sulit peningkatan mutunya sekalipun para ahli bahasa hadir sebagai pendamping bahasa. Demikian pula pada laras bahasa birokrasi. Lama kursus atau jumlah jam keikutsertaan dalam penataran tidak menjamin perubahan kualitas laras bahasa birokrasi tersebut. Kalimat-kalimat seperti Demikian agar periksa/agar maklum adanya, atau kalimat Atas perhatiannya diucapkan terimakasih masih abadi tertulis pada alinea penutup surat dinas kita. Masalahnya bukan terletak pada masalah bahasa, melainkan cenderung pada masalah kekuasaan bahasa: para pemegang putusan kurang berkenan menerima perbaikan/penyuntingan dari segi bahasa. Pengalaman juga membuktikan bahwa kemauan politik terhadap peningkatan kualitas BI ragam resmi kurang didukung oleh perilaku di dalam pelaksanaannya.

II. Kualitas Berbahasa Indonesia dalam Media Massa (Cetak dan Elektronik):

Kasus Ketidaktaatasasan Memberlakukan Sistem

Untuk melihat relevansi mata perbincangan BI, berikut saya sajikan data tentang berbahasa dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, khususnya televisi, yang pada hemat saya amat tinggi kaitannya dengan permasalahan yang saya kemukakan pada Bagian I. Data berikut adalah data kasus pemakaian bahasa dalam media elektronik televisi dan media cetak. Tolok ukur analisis dilakukan terhadap satuan terkecil wacana yaitu kalimat. Kalimat yang efektif adalah yang secara tepat dapat mewakili gagasan atau perasaan pembicara/penulis dan sanggup menimbulkan gagasan atau perasaan yang sama tepatnya dalam pikiran pendengar/lawan bicara/pembaca.

Untuk mewujudkan kedua hal tersebut, sekurang-kurangnya, kalimat efektif hendaknya
(1) mengandung kesatuan gagasan;
(2) memiliki koherensi yang baik,
(3) memperlihatkan keselarian/paralelisme
(4) mencerminkan kehematan,
(5) memperhatikan variasi
(6) menghindarkan kerancuan

Bahasa yang komunikatif adalah bahasa yang mudah dimengerti: yang lugas, yang tidak menimbulkan tafsiran ganda (ambiguitas), yang langsung menunjukkan permasalahannya, yang tidak berbunga-bunga/tidak berpanjang-panjang, apalagi berbelit-belit,

a. Kesalahan Umum Ketatabahasaan dan Pilihan Kata yang Kurang Cermat dalam Wacana Berita

(Wacana/W1) KARYAWATI PENJAGA KIOS DIRAMPOK/JAKARTA
(B/27/04/04)

Aparat Polsek Metro Kebun Jeruk/Jakara Barat meringkus Hendriana seorang pengangguran/pelaku perampasan tas milik seorang karyawati// Sebelumnya polisi juga menangkap pelaku lainnya Anthonius Montolalu///

Peristiwa perampasan yang menimpa / Widayanti yang sehari-hari bekerja sebagai penunggu kios es potong di pasar Swalayan Superindo di kawasan Kedoya Utara ini /terjadi sekitar pukul 19.30 / kemarin / Awalnya tersangka Antonius Montolalu mencoba mengalihkan perhatian korban dengan cara berpura-pura bertanya / Sementara Hendriana memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mengambil tas milik korban / yang di dalamnya terdapat sebuah dompet berisi uang sejumlah 1 juta 4 ratus ribu rupiah // Melihat kejadian ini korban berteriak / namun tersangka Hendriana berhasil meloloskan diri / sementara Adrianus diringkus /// Berdasarkan keterangan tersangka Adrianus / keesokan harinya polisi membekuk Hedriana di rumahnya di kawasan Pesing Garden / Jakarta Barat ///

Usaha polisi membekuk Hendriana hampir saja gagal /Pasalnya tersangka sudah berniat untuk pulang kampung /// Tersangka mengaku telah memakai uang hasil kejahatannya tersebut sebesar 4 ratus ribu rupiah / sehingga polisi hanya bisa menyelamatkan sisa barang bukti senilai 1 juta rupiah ///
AA dan YS melaporkan dari Jakarta///

Dalam wacana di atas tampak pemakaian beberapa kata yang belum sesuai dengan tuntutan peristiwa dan tuntutan tata bahasa; isi berita seperti itu pasti akan membingungkan pendengar/pemirsanya. Pertama, bentuk kata dirampok (pada tajuk berita), pelaku perampasan (dalam bagian lead), dan perampasan, di samping mengambil tas milik korban (pada bagian tubuh berita). Pada hemat saya, berita tersebut pasti dipertanyakan kredibilitasnya karena unsur-unsur accuracy atau precision, atau clarity sebagai kriteriannya belum terpenuhi. Apa sebenarnya yang terjadi: perampokan, perampasan, ataukah pengambilan tas (pencurian tas)? Menurut KBBI (2003), ketiga bentuk kata tersebut mempunyai makna dan perilaku yang berbeda:

dirampok ‘diambil barangnya dengan paksa dan dengan kekerasan’;
perampasan ‘ proses, cara, perbuatan merampas; perebutan’; penyamunan, penyitaan’;
mengambil ”memegang sesuatu lalu dibawa (diangkat; digunakan;
disimpan) (KBBI, 2003).

Jika kita berpegang pada tajuk berita, peristiwa itu menyangkut perampokan. Namun, jika kita ikuti lead-nya, peristiwa itu berkaitan dengn perampasan. Sebaliknya, jika kita berpegang pada pemaparan tubuh beritanya, peristiwa itu bertautan dengan pencurian karena tas orang diambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Menurut KBBI, mencuri bermakna mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah; biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Jadi, jika kita ikuti paparan tubuh berita itu hingga tuntas, yang terjadi sebenarnya pencurian tas.

Masih dari segi kejelasan (clarity) berita, kalimat lead tersebut sebenarnya memberitakan bahwa telah terjadi dua peristiwa yang berbeda: (1) aparat Polsek meringkus Hendriana (seorang pengangguran) dan (2) aparat Polsek meringkus Anthonius Montolalu, yang keduanya tidak saling mengenal. Kedua orang itu melakukan perbuatan yang sama, yaitu merampas tas; Hendriana merampas tas seorang karyawati, sedangkan Anthonius (yang tidak disebut statusnya itu) entah merampas tas siapa. Padahal, menurut tubuh berita, keduanya bekerja sama (saling membantu). Jadi, pengalimatan dalam lead seperti itu seharusnya disunting sehingga berita sampai pada pendengar/pemirsanya dengan amat bayan (clear).

Kedua, dalam wacana tersebut terdapat pemakaian verba berafiks meng- dalam konstruksi partisipial:Melihat kejadian ini korban berteriak / namun tersangka Hendriana berhasil meloloskan diri /sementara Adrianus diringkus //. Seperti telah diutarakan, konstruksi partisipial masih dianggap sebagai bentuk interferensi BA terhadap BI. Oleh sebab itu, secara analogis, konstruksi sejenis ini harus disunting dengan menambahkan konjungtor yang menyatakan hubungan waktu (relasi temporal) sehingga menjadi Ketika melihat kejadian ini, korban berteriak. Ketiga, konjungtor namun termasuk ke dalam konjungtor antarkalimat, seperti akan tetapi; pemakaiannya menghubungkan kalimat dengan kalimat. dalam satu paragraf. Oleh karena itu, redaktur seharusnya menyunting kalimat tersebut dengan menentukan pilihan konjungtornya: namun ataukah tetapi: pilihan redaktur akan menentukan struktur kalimat. Selain itu, pemilihan konjungtor sementara dalam struktur kalimat tersebut tidaklah tepat karena sementara bermakna 1 ‘selama, selagi; 2 beberapa lamanya; 3 berapa’, padahal struktur kalimat menuntut konjungtor antarkalimat sementara itu yang bermakna ‘dalam pada itu; waktu itu, sedang’. Dengan mempertimbangkan unsur-unsur kebahasaan itu, suntingan atas struktur kalimat di atas, sekurang-kurangnya, sebagai berikut.

Ketika melihat kejadian ini, korban berteriak // Namun, tersangka Hendriana berhasil meloloskan diri// Sementara itu, Adrianus diringkus///

atau

Ketika melihat kejadian ini, korban berteriak / tetapi tersangka Hendriana berhasil meloloskan diri/ / Sementara itu, Adrianus diringkus///

Keempat, pada bagian lead tampak pembentukan kata yang tidak memberlakukan sistem BI, yaitu bentuk kata pelaku perampasan tas. Bahasa kita memiliki sistem yang sudah mantap tentang pembentuk nomina pelaku, yaitu dengan awalan pe-, seperti pada bentuk kata pembunuh (orang yang membunuh). Sejalan dengan itu, pelaku perampasan tas seharusnya menjadi perampas tas, analog dari bentuk-bentuk kata yang lainnya, seperti pelaku penjambretan (penjambret), pelaku penculikan (penculik), pelaku perkosaan (pemerkosa), pelaku penyelewengan (penyeleweng), pelaku penembakan (penembak), pelaku pencurian (pencuri), dst.

Demikian pula halnya dengan pembentukan kata yang menyatakan hasil; dalam BI digunakan akhiran -an, seperti pada kata tulisan ‘hasil menulis’, gambaran ‘hasil menggambar’; simpulan “hasil menyimpulkan”. Analog dari sistem itu bentuk kata uang hasil kejahatannya pada bagian akhir tubuh berita /Tersangka mengaku telah memakai uang hasil kejahatannya tersebut sebesar 4 ratus ribu rupiah / seharusnya menjadi uang jahatannya alih-alih uang rampasan (karena pada lead disebut pelaku perampasan tas) . Bukankah kita juga memiliki bentuk-bentuk uang curian (uang hasil mencuri), uang jambretan (uang hasil menjambret), uang palakan (uang hasil memalak), atau uang pinjaman (uang hasil meminjam)? Kedua contoh kasus pembentukan kata di atas bukan saja memperlihatkan ketidakberdayaan sistem bahasa melainkan juga melemahkan spirit laras bahasa jurnalistik yang penganut ekonomi berbahasa.

Bagian penutup berita pada wacana di atas diakhiri dengan ungkapan presenter AA dan YS melaporkan dariJakarta. Ini juga berkaitan dengan pengalimatan. Dalam struktur kalimat BI dengan pola predikat verba intransitif me-…-kan, diperlukan objek kalimat; dalam kalimat data tersebut, predikat kalimatnya diikuti oleh keterangan, objeknya tidak ada. Oleh sebab itu, struktur kalimat tersebut harus disunting; suntingannya dilakukan dengan membuang akhiran -kan karena verba melapor tidak memerlukan objek kalimat, tetapi menuntut keterangan kalimat. Jadi, suntingan kalimat tersebut adalah AA dan YS melapor dari Jakarta. Kalimat lain juga dapat dipakai, seperti Laporan AA dan YS dari Jakarta.

Yang terakhir dari wacana di atas berkaitan dengan masalah penulisan dan pemenggalan kata dalam kalimat. Data penulisan memperlihatkan bahwa 1 dan 4 (sejumlah 1 juta 4 ratus ribu rupiah) dituliskan dengan angka pada bagian tubuh berita. Menurut sitem ejaan kita /EYD, angka yang dapat dilambangkan dengan satu atau dua kata harus dituliskan dengan lambang huruf. Jadi, dengan sistem EYD, penulisan …sejumlah 1 juta 4 ratus ribu rupiah itu harus menjadi … sejumlah satu juta empat ratus rupiah. Sehubungan dengan pemenggalan kata dalam kalimat, tampak bahwa penandaan garis-garis miring itu ditautkan dengan pemenggalan kalimat ketika berita disampaikan/dibacakan: tanda garis miring satu (/) untuk penggalan kelompok kata, garis miring dua (//) untuk kalimat, dan garis miring tiga (///)untuk pengalineaan. Seperti telah dikemukakan, dari segi tolok ukur bahasa Indonesia lisan yang baik dan benar dinyatakan bahwa pemenggalan kalimat cenderung ditentukan oleh nilai rasa bahasa penutur/ presenter (sense of language), yang berhubungan erat dengan kemampuan/penguasaan penutur atas makna setiap kata dalam konteks pengalimatan penutur/presenter tersebut. Dengan tolok ukur ini, tampak bahwa pemenggalan dalam wacana di atas belum baik dan benar.

Salah satu suntingan wacana berita di atas adalah sebagai berikut.

(W1a) TAS KARYAWATI PENJAGA KIOS DICURI /JAKARTA

Aparat Polsek Metro Kebun Jeruk / Jakara Barat / meringkus Hendriana/ seorang pengangguran / pelaku pencurian tas milik seorang karyawati// Sebelumnya/ polisi juga menangkap pelaku lainnya / Anthonius Montolalu///

Peristiwa percurian yang menimpa Widayanti / yang sehari-hari bekerja sebagai penunggu kios es potong di pasar Swalayan Superindo/ di kawasan Kedoya Utara ini /terjadi kemarin / sekitar pukul 19.30 / / Awalnya / tersangka Antonius Montolalu/ mencoba mengalihkan perhatian korban dengan cara berpura-pura bertanya / / Sementara itu, Hendriana memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mengambil tas milik korban / yang di dalamnya terdapat sebuah dompet berisi uang/ sejumlah satu juta empat ratus ribu rupiah // Ketika melihat kejadian ini, korban berteriak /// Namun/ tersangka Hendriana berhasil meloloskan diri/ /Sementara itu / Adrianus diringkus /// Berdasarkan keterangan tersangka Adrianus / keesokan harinya/ polisi membekuk Hedriana di rumahnya di kawasan Pesing Garden / Jakarta Barat ///

Usaha polisi membekuk Hendriana nyaris gagal //Pasalnya tersangka sudah berniat untuk pulang kampung /// Tersangka mengaku telah memakai uang curiannya itu sebesar empat ratus ribu rupiah / sehingga polisi hanya bisa menyelamatkan sisa barang bukti senilai satu juta rupiah ///

AA dan YS melapor dari Jakarta///

Berikut masih contoh kasus pemakaian bahasa dalam media elektronik. Pada hemat saya, ini masalah pernalaran. Frekuensi pemakaian kalimat seperti berikut nyaris sebanyak peristiwa yang diberitakan, mulai korban peledakan bom hingga bencana alam. Masalahnya sederhana; konon yang penting berita itu komunikatif.

BW2
Saudara / Pemerintah akan tetap membantu korban bom Marriot yang terluka hingga sembuh // Sementara /bagi yang meninggal /Pemerintah akan memberikan santunan // (07/08/03)

BW3
Syamsudin bin Kosim / salah satu korban meninggal akibat ledakan bom Hotel Marriot / Rabu kemarin dimakamkan // Almarhum / yang telah lima tahun menjadi satpam Hotel Marriot ini aktif sebagai pengurus Masjid Assalam dan Yayasan Yatim Piatu //

Ungkapan bagi yang meninggal/ Pemerintah akan memberikan santunan dalam BW2 menunjukkan kalimat yang tidak logis; mustahil orang yang sudah meninggal diberi santunan; yang memperoleh santunan tentunya keluarga yang ditinggalkannya. Demikian pula halnya dengan BW3. Almarhum / yang telah lima tahun menjadi satpam Hotel Marriot ini aktif sebagai pengurus Masjid Assalam dan Yayasan Yatim Piatu /; mustahil pula almarhum aktif sebagai pengurus masjid dan yayasan; ini juga tidak bernalar; mestinya kalimat tersebut mengandung kata semasa hidupnya. Oleh karena itu, kedua kalimat tersebut seharusnya redaktur sunting dahulu. Sekurang-kurangnya, suntingannya sebagai berikut:

BW2a
Saudara/ Pemerintah akan tetap membantu korban bom Marriot / yang terluka hingga sembuh // Sementara itu / kepada yang meninggal / melalui keluarganya / Pemerintah akan memberikan santunan //.

BW3a
Syamsudin bin Kosim / salah satu korban meninggal akibat ledakan bom Hotel Marriot / Rabu kemarin dimakamkan // Almarhum / yang telah lima tahun menjadi satpam Hotel Marriot ini/ semasa hidupnya aktif sebagai pengurus Masjid Assalam dan Yayasan Yatim Piatu //

Contoh berikut dikutip dari sebuah wacana berita

BW4
Perbuatan Misbah bukan tidak diketahui sang istri atau anak yang lain // Mereka sama sekali tidak berani berbuat apa-apa karena / Misbah mengancam agar tidak bercerita pada siapapun // Namun perbuatan Misbah ternyata diketahui oleh warga kampung // Warga curiga atas kehamilan anak keempat // Warga sebenarnya akan menghakimi // Namun Misbah segera lari ke Lampung bersama anak keempatnya yang tengah hamil //

Dalam BW4 di atas tampak struktur kalimat yang kurang lugas, kurang runtut, dan tidak ekonomis sehingga isi berita menjadi terpotong-potong; ini disebabkan oleh pemakaian konjungtor berpasangan yang juga terpotong oleh bagian kalimat yang lain. Konjungtor tersebut adalah bukan “namun” dalam kalimatPerbuatan Misbah bukan tidak diketahui sang istri atau anak yang lain // / Namun perbuatan Misbah ternyata diketahui oleh warga
kampung
//. Dalam bahasa Indonesia yang baik dan benr pasangan konjungtor tersebut seyogianya bukan … melainkan … (Perbuatan Misbah itu bukan saja diketahui oleh sang istri dan anak yang lain melainkan juga oleh warga kampungnya.)

Selain masalah di atas, terdapat pemakaian konstruksi yang tidak gramatikal, yaitu pada Warga sebenarnya akan menghakimi; struktur kalimat ini mengandung verba aktif transitif yang wajib diikuti objek kalimat (dalam hal ini Misbah), sedangkan kalimat tersebut tidak berobjek; polanya baru Subjek- Keterangan – Predikat. Oleh karena itu, BW4 ini harus disunting kembali sehingga ketatabahasaannya terpenuhi, sekurang-kurangnya, sebagai berikut.

(BW4a)
Perbuatan Misbah bukan saja diketahui oleh sang istri dan anaknya yang lain/melainkan juga oleh warga kampungnya// Mereka sama sekali tidak berani berbuat apa-apa karena/ Misbah mengancam agar mereka tidak bercerita kepada siapa pun // Warga curiga atas kehamilan anaknya yang keempat // Wargasebenarnya akan menghakimi mereka // Namun, Misbah segera lari ke Lampung bersama anak keempatnya yang tengah hamil itu //

Lain lagi dengan masalah BW5; dalam BW5 ini terdapat pemakaian bentuk kata dijambangi, yang tidak sesuai dengan makna yang dituntut oleh konteks kalimat itu:

BW5
Padahal / Haryo tengah rindu bertemu anak dan istrinya /
yang sudah dua bulan tak dijambangi //

Kata jambang bermakna ‘tempat menaruh bunga; pasu; pasu bunga; belanga besar’; dijambangi bermakna ‘diberi jambangan’. Konteks makna kalimat di atas mestinya tidak disambangi bukan dijambangi; makna bentuk kata disambangi adalah “dikunjungi”. Menurut konsepnya, kalimat berita itu mengandung katadisambangi, bukan dijambangi. Konon redakturnya menyunting seperti itu. Dengan demikian, jika redaktur tidak atau belum karib dengan sebuah kata, sebaiknya KBBI diberdayakan agar suntingan kita tidak luncas.

b. Interferensi Gramatikal dari BA

Seperti telah dikemukakan, gejala interferensi merupakan salah satu produk bilingualisme/multilingualisme. Sebagai produk jurnalis dan redaktur yang bilingual/multilingual, konstruksi kalimat yang mengandung gejala interferensi sangat tinggi kekerapan pemakaiannya dalam media massa, baik cetak maupun elektronik. Jenis interferensi yang masuk ke dalam konstruksi kalimat jurnalistik adalah interferensi partisipial (participle) dari bahasa Inggris. Bahkan, pemakaian jenis interferensi ini dianggap media massalah pionirnya karena sebelumnya tidak ada dalam BI (Hoed, 1983). Ini terjadi karena kantor berita nasional sering mengutip berita yang bersumber dari kantor berita asing, khususnya yang berbahasa Inggris, yang kemudian diterjemahkan secara langsung. Struktur partisipial itu pun dialihkan sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan bahwa struktur sejenis itu tidak kita miliki dalam BI.

Seperti telah saya sampaikan, penegakan sistem bahasa yang baik dan benar belum sepenuhnya taat asas sehingga konstruksi kalimat ini pun mendua: ada yang sudah disunting; ada juga yang belum; dalam satu wacana berita tidak jarang masih terdapat keduanya. Sebagaimana telah dilaksanakan oleh para redaktur/jurnalis, penyuntingan atas konstruksi partisipial ini dilakukan dengan menambahkan konjungtor yang tepat/sesuai dengan tuntutan hubungan makna kalimat yang dihadapi. Jika konstruksi partisipial itu memperlihatkan hubungan makna temporal, konjungtor terpilih hendaknya yang menyatakan hubungan temporal pula, seperti ketika, saat, sewaktu, manakala, tatkala sesudah, seusai, sebelum, dst.). Demikian juga jika konstruksi kalimat menuntut hubungan makna yang lain. Konjungtor tersebut itu diletakkan sebelum konstruksi partisipial sehingga pola urutan kalimat menjadi klausa anak kalimat (AK) yang diikuti oleh induk kalimat (IK).

Sehubungan dengan konstruksi partisipial tersebut, data memperlihatkan bahwa inti konstruksi partisipial itu selalu diisi oleh kelas kata verba; jenis verbanya adalah (1) verba dasar, (2) verba berafiks meng-, (3) verba berafiks ber- , (4) verba berafiks di-, (5) verba berafiks ter-, (6) verba berafiks ke-…-an, dan (7) verba ulang. (Untuk Nomor (6) dan (7), pemakaiannya tidak setinggi kekerapan pemakaian verba pada nomor-nomor sebelumnya karena data menunjukkan bahwa konteks dan situasi pemakaiannya cenderung tidak/kurang resmi.) Data juga menunjukkan bahwa hubungan makna yang tersirat dalam konstruksi partisipial itu berkaitan dengan hubungan makna (1) temporal, (2) kausal, (3) final, (4) cara, (5) kondisional, dan (6) konsesif (Lumintaintang, 2002). Berikut adalah contoh kasus dengan salah satu suntingannya.

1) Dengan Verba Dasar

K1
Curiga kepada penumpang yang memakai alas kaki laki-laki
di gerbong khusus perempuan, seorang penumpang berteriak
memanggil petugas keamanan saat kereta api tiba di sebuah
stasiun di pusat kota Cairo. (K/06/11/5)

K2
Bicara rumor ini, duda kaya itu mengatakan, memang ada suatu hubungan antara dirinya dengan Siti Nurhaliza. (RM/Htm/06/4/17)

Pada Kalimat/K1 tampak penggunaan verba dasar curiga dan pada K2 verba dasar bicara sebagai inti pembentuk konstruksi partisipial. Kedua klausa pada K1 memperlihatkan hubungan kausal, sedangkan pada K2 hubungan temporal. Untuk memenuhi kadar kebakuan struktur tersebut, penyuntingannya dilakukan dengan meletakkan konjungtor karena atau sebab sebelum klausa partisipial itu sehingga kini klausa tersebut menjadi klausa anak kalimat majemuk bertingkat. Untuk menjaga kesejajaran bentuk dan penghematan kata, sebaiknya verba dasar itu dijadikan verba berafiks me- (verba transitif aktif:mencurigai, tanpa preposisi kepada). Demikian pula halnya dengan K2. Karena sifat hubungan maknanya temporal, konjungtor tatkala, ketika, manakala, sewaktu, atau saat diletakkan sebelum klausa partisipial tersebut sehingga struktur kalimat kini memenuhi kriteria ketatabahasaan Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kesejajaran bentuk, verba dasar itu sebaiknya diberi imbuhan ber- (verba intransitif: berbicara tentang/mengenai) dan tanda koma sebelum klausa yang berfungsi sebagai objek kalimat itu disulih dengan konjungtor bahwa. Dalam Pedoman Umum EYD tidak ada kaidah yang menyatakan bahwa tanda koma dapat bersulihan dengan konjungtor bahwa. Satu hal lagi adalah pemakaian konjungtor berpasangan antara … dengan …; sebaiknya disunting menjadi antara … dan …, Jadi, suntingan akhir adalah berikut.

K1a
Karena mencurigai penumpang yang memakai alas kaki laki-laki di gerbong khusus perempuan, seorang penumpang berteriak memanggil petugas keamanan saat kereta api tiba di sebuah stasiun di pusat kota Cairo.

K2a
Saat berbicara tentang rumor ini, duda kaya itu mengatakan bahwa memang ada suatu hubungan antara dirinya dan Siti Nurhaliza.

2) Dengan Verba Berafis me-

K3 dan K4 merupakan contoh kalimat kasus yang mengandung interferensi BA (Inggris) dengan verba berafiks me- sebagai inti pembentuk konstruksi partisipial.

K3
Menanggapi hal itu, Menteri Dalam Negeri Muhammad Ma’ruf mengatakan pemilihan judul tersebut sudah sesuai dengan tata cara pembuatan Undang-Undang. (KT/Nsl/06/12/4/13/3)

K4
Menyinggung pelaksanaan Pilkada Aceh, Ketua AMM Aceh Utara itu optimistis dapat terlaksana sesuai jadwal. (MI/Plk/06/4)

Kedua contoh di atas, baik K3 maupun K4, memperlihatkan hubungan makna temporal. Oleh karena itu, penyuntingannya dilakukan dengan memberikan konjungtor terpilih, misalnya, ketika, sewaktu, atautatkala. Selain itu, dalam K3 terdapat pelesapan konjungtor bahwa sebelum klausa AK yang berfungsi sebagai objek kalimat, yang (walaupun salah) tidak disulih dengan tanda koma seperti dalam K2. Ini mengisyaratkan bahwa memang tampak jelas ketidaktaatasaan itu. Masih dalam K3 terdapat penggunaan huruf kapital pada huruf-huruf awal kata ulang (Undang-Undang), yang karena bukan nama diri mengapa harus dikapitalkan.

Di samping penyuntingan atas bentuk interferensinya, pilihan kata sesuai dalam K4 harus diikuti pasangannya, yaitu dengan (sesuai dengan) seperti yang tampak dalam K3 . Kata-kata yang berkolokasi sejenis itu memang masih banyak yang dilesapkan di dalam media massa dengan alasan ekonomi kata, seperti bergantung, tanpa diikuti pada/kepada), bersama, tanpa dengan. Padahal, pelesapan dalam konteks situ dapat mengurangi derajat kebakuan bahasa dan keformalan situasi pemakaiannya; seharusnyabergantung pada/kepada, bersama dengan. Suntingan kedua kalimat di atas adalah berikut

K3a
Ketika menanggapi hal itu, Menteri Dalam Negeri
Muhammad Ma’ruf mengatakan bahwa pemilihan judul
tersebut sudah sesuai dengan tata cara pembuatan undang-undang.

K4a
Sewaktu menyinggung pelaksanaan Pilkada Aceh, Ketua AMM Aceh Utara itu optimistis dapat terlaksanasesuai dengan jadwal.

3) Dengan Verba Berafiks ter- dan di-

K5, K6, K7, dan K8 berikut memperlihatkan kasus interferensi dengan verba berafiks ter- dan verba berafiks di- sebagai inti pembentuk konstruksi partisipial. Karena hubungan makna kausal merupakan tuntutan konteks kalimat-kalimat tersebut, konjungtor untuk K5 dan K6 adalah karena atau sebab; berikut adalah contoh K5 dan K6

K5 Terkait dengan aksi mogok nasional yang akan tetap dilakukan oleh ABM, Rekson menegaskan bahwa hal itu adalah hak ABM untuk melakukannya. (RM/Hecs/06/4/4)

K6 Terbukti melakukan penghinaan, pemimpin redaksi majalah itu diseret ke pengadilan. (LP/Akh/02/22)

Di dalam keseharian, terutama dalam laras bahasa birokrasi (surat dinas) dan laras bahasa keilmuan, ada variasi kalimat lain yang cenderung lebih tinggi frekuensi pemakaiannya daripada K5 di atas, yaitu tidak dengan menggunakan konstruksi partisipial, tetapi dengan menggunakan konjungtor pengantar paragrafSehubungan dengan (alih-alih Sekaitan dengan…) Dari segi tuntutan konteks makna, struktur kalimat dengan pola ini sebenarnya lebih tepat daripada dengan Terkait dengan:

Sehubungan dengan aksi mogok nasional yang akan tetap dilakukan oleh ABM, Rekson menegaskan bahwa hal itu adalah hak ABM untuk melakukannya.

Dalam laras bahasa jurnalistik, frasa Sehubungan dengan itu lazim disulih dengan Mengenai (Mengenai RUU Pornografi dan Pornoaksi,…) dan fungsi pemakaiannya amat bebas: dapat berfungsi untuk semua posisi konjungtor, baik sebagai konjungtor intrakalimat, antarkalimat, bahkan antarparagraf. Padahal, dalam perencanaan bahasa yang normatif, konjungtor tersebut berfungsi sebagai konjungtor intrakalimat. Setakat ini fungsi konjungtor tersebut hampir mantap di laras-laras bahasa yang lain, kecuali dalam laras jurnalistik. Untuk K5 dan K6 itu, suntingannya adalah berikut.

K5a Karena terkait dengan aksi mogok nasional yang akan tetap dilakukan oleh ABM, Rekson menegaskan bahwa hal itu adalah hak ABM untuk melakukannya.

K6a Karena terbukti melakukan penghinaan, pemimpin redaksi majalah itu diseret ke pengadilan.

Dalam K7 dan K8 berikut, dengan inti konstruksi partisipial verba berafiks di- konjungtor yang wajib hadir itu adalah juga konjungtor temporal: tatkala, sewaktu, saat, manakala, atau ketika. Selain itu, pada K7 terdapat juga pelesapan konjungtor secara (Dihubungi terpisah mestinya Dihubungi secara terpisah). Sementara itu, secara analogis, konjungtor tersebut hadir dalam K8: (Ditanyai mengenai). Agar sistem ketatabahasaan terpelihara, seyogianya K 7 juga menggunakan konjungtor/preposisi. Tanpa kehadiran konjungtor tersebut, derajat keformalan situasi pembicaraan berkurang.

Berikut data kasus berikut sungtingannya.

K7 Dihubungi terpisah, Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Rekson Silaban menandaskan, pihaknya akan menunda demo dan bersama forum tripartit nasional akan memulai kembali revisi UU 13/2003. (RM/06/4/6)

K8 Ditanya mengenai kesiapan keluarga Siti yang sudah memesan baju pengantin serta bulan madu itu, Rozi hanya tersenyum-senyum. (RM/06/11-3/17/4)

K7 itu juga mengandung pelesapan konjungtor bahwa, padahal konjungtor tersebut diperlukan sebagai pemarkah klausa AK yang berfungsi sebagai objek kalimat. Jadi, kehadirannya wajib dalam koteks itu. Seperti dalam kasus-kasus kalimat laras bahasa jurnalistik pada umumnya, konjungtor tersebut disulih dengan tanda baca koma. Ini harus disunting karena tanpa konjungtor, konstruksi kalimat itu menjadi luncas (tidak kena sasaran) dari tuntutan konteks dan situasi pembicaraan: tuntutan komunikasi menggunakan ragam bahasa resmi. Satu hal lagi adalah pelesapan tanda koma yang mengapit keterangan aposisi; frasa Rekson Silaban itu mestinya diapit dengan tanda koma. Dengan demikian, suntingannya seperti tampak pada K7a dan 8a:

K7a Tatkala dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Rekson Silaban, menandaskan bahwa pihaknya akan menunda demo dan bersama forum tripartit nasional akan memulai kembali revisi UU 13/2003.

K8a Saat ditanya mengenai kesiapan keluarga Siti yang sudah memesan baju pengantin serta bulan madu itu, Rozi hanya tersenyum-senyum.

4) Dengan Verba Berafiks ke-…-an dan Verba Ulang

Seperti telah dikemukakan, pemakaian verba berafiks ke-…-an, dan verba ulang tidak sekerap verba-verba yang lainnya sebagai inti pembentuk konstruksi partisipial. Tampaknya, hal ini berkaitan dengan tuntutan konteks dan situasi pemakaian. Data memperlihatkan bahwa konteks pemakaiannya pada topik pembicaraan takresmi, yaitu dunia olahraga. Berikut adalah contohnya.

K9 Ketinggalan 0-2, pelatih Juventus Marcelo Lippi yang di babak pertama membakucadangkan dua pemain andalannya terpaksa menurunkannya pada bababak kedua. (Kh/K/9/1/01/15)

K10 Kecolongan di set pertama, Joko Supriyanto bukannya bangkit, tetapi masih terus-menerus dicecer.

K11 Terus-menerus dikepung, Everton sengaja menerapkan pola bertahan ketat dengan sesekali melakukan serangan balasan yang mengagetkan. (Kh/R/25/2/01/15)

Ketiga kalimat di atas memperlihatkan hubungan makna kausal; penyuntingannya dapat dilakukan sebagaimana menyunting kasus-kasus interferensi yang lainnya, yaitu dengan membubuhkan konjungtor terpilih sebelum klausa partisipial dengan verba berafiks ke-…-an dan verba ulang.

c. Interferensi Sintaksis dari Bahasa Daerah

Laras BI media massa juga mendapat interferensi dari struktur BD. Seperti telah saya sampaikan, gejala seperti ini menjadi lumrah dalam masyarakat yang bilingual diglosik. Namun, hal ini justru harus senantiasa menjadi tolok ukur bagi semua penutur, termasuk jurnalis dan redaktur. Ketika berbahasa resmi atau manakala tuntutan konteks dan situasi berbahasa resmi, gejala interferensi harus dihindarkan. Berikut adalah contohnya.

(K12) Tersangka mengakui / kalau selama ini dirinya memang sering meminjam motor korban // Kesempatan tersebut dimanfaatkan untuk
membuat kunci duplikat /// Polisi menyita barang bukti berupa sebuah sepeda motor Kawasaki Ninja / warna hitam /// Tersangka kini meringkuk di sel Polsek Metro Kebun Jeruk / Jakarta Barat ////

Konjungtor kalau dalam kalimat di atas merupakan konjungtor bahasa daerah (Jawa: yen) yang diindonesiakan menjadi kalau. Dalam BI baku konjungtor yang harus dipilih dalam konteks kalimat di atas adalah bahwa: Tersangka mengakui bahwa selama ini dirinya memang sering meminjam motor korban. Selain masalah konjungtor, struktur kalimat juga belum selari/paralel. Keselarian ditandai oleh penggunaan bentuk tata bahasa yang sama untuk unsur-unsur kalimat yang sama fungsinya. Gagasan yang dinyatakan dengan kata benda hendaknya diikuti dengan gagasan yang lain yang sejajar, yaitu dengan kata benda pula. Demikan pula halnya jika dinyatakan dengan kata kerja dan seterusnya. Dalam kalimat di atas, kata kerja itu mengakui, meminjam, dimanfaatkan, dan meringkuk yang dalam konteks itu berfungsi sebagai predikat kalimat. Jika diselarikan, kalimat itu menjadi…mengakui, meminjam, memanfaatkan, danmeringkuk.

Contoh kasus K13-K15 berikut merupakan interferensi pada tataran morfologis (pembentukan kata) dari BD dan K16 merupakan interfernsi pada tataran leksikal.

K13 Asap Rokok Masih Ngepul di Dua Mesjid. (KT/Mtr/06/12/4/13/Tjk)

K14 Pekan lalu, ketika hendak keluar dari istana negara setelah ngantor, Direktur The Wahid Institute ini melihat penjual koran asongan menawarkan majalah Playboy Indonesia dengan gambar sampul Andhra Early. (RM/Spr/06/12/4/3)

K15 “Kalau Naikin Listrik Aja, Semua Bisa” (RM/06/3/16/1/2)

K16 Condy Cuma Pengen Lindungi Garong Amrik (RM/06/4/12/2/JD)

Bentuk kata ngepul dan ngantor dalam K13 dan K14 merupakan salah satu proses pembentukan kata dalam bahasa daerah, khusunya bahasa Jawa dan bahasa Sunda, juga dialek Jakarta, yang menggunakan nasal /N-/. Proses afiksasi seperti ini tidak dimiliki dalam sistem pembentukan kata bahasa Indonesia baku. Dalam BI proses ini dinyatakan dengan membubuhkan afiks meng- (mengepul dan mengantor/berkantor). Dengan katalain, pembentukan kata K13 dan K14 itu dipengaruhi oleh sistm pembentukan kata bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa (BJ), Sunda, dan dialek Jakarta DJ). Lain halnya dengan K15; akhiran N- + �in ( me-…-kan dalam BI) pada verba naikkin merupakan dalah satu sistem pembentukan kata kerja dari dialek Jakarta. Begitu pula, K16 mengandung gejala interferensi pada tataran leksikal (pengen ingin) dari DJ. Dengan kata lain, struktur K15 mengandung gejala inteferensi dari dialek Jakarta. Demi kualitas BI dalam laras bahasa jurnalistik, dan demi pemantapan fungsi-fungsi bahasa di Indonesia, seyogianya struktur K13-K16 itu disunting sehingga menjadi bersih dari gejala interferensi BD dan DJ.

d. Gejala Alih Kode dari BI ke BD

Seperti telah dikemukakan dalam Bagian I, kondisi kebahasaan sebuah masyarakat yang bilingualisme/multilingualisme, apalagi diglosik, akan menyebabkan suburnya gejala saling pengaruh (interferensi) di antara bahasa-bahasa yang ada dalam masyarakat itu, termasuk timbulnya gejala alih kode dari BI ke BD. Berikut adalah contohnya.

K17 Sekalipun saat ini terkesan pihak eksekutif dan DPRD nggondeli Bumiayu pisah dari Kabupaten Brebes, pihaknya akan terus berusaha melangkahhingga terwujud kabupaten baru nanti. (BY/Srb/SM/P2/11/01/2)

K18 Meskipun dengan idealisme lain, ketegasan sikap DPP PDI-P mencopot kader di legislatif yang mbalelasebenarnya bisa berdampak positif. (BY/Srb/SM/P2/11/01/2)

K19 Yusril pretheli kubu Hartono.(BY/Srb/Jp/2/23/03)

Contoh K17, K18, dan K19 mengandung pemakaian alih kode BI ke BD pada tataran morfologis (pembentukan kata), tepatnya dari BI ke BJ. Kode/bahasa yang dialihkan adalah bentuk kata nggondeli, mbalela, dan pretheli. Seperti telah dikemukakan, alih kode timbul karena dorongan psikologis. Sementara itu, salah satu karakteristik laras bahasa jurnalistik bercirikan sensasional dalam kerangka pemertahanan komunikasi. Penyajian informasi dengan sensasional dimaksudkan agar dapat berkomunikasi dengan pembaca atau pendengarnya secara lebih emotif. Salah satu strategi untuk mencapai cara itu bagi jurnalis yang bilingual/multilingual memanfaatkan bahasa ibunya, atau bahasa daerah setempat (khususnya yang dipahami oleh pembaca atau sasarannya) seperti beralih kode ke BJ dalam contoh K17, K18, dan K19 tersebut.

Bentuk kata BJ nggondeli berpadanan dengan BI berkeberatan, mbalela berpadanan dengan menentang pemerintah/tidak mau mematuhi perintah, dan pretheli berpadanan dengan melepasi/mencopoti. Ketiga kalimat dengan kode BJ di dalamnya itu secara psikologis dirasakan mengandung nuansa yang berbeda dengan padanannya dalam BI, seperti tampak dalam K17a, K18a, dan K19a berikut, apalagi jika ditautkan dengan panjangnya kata tersebut.

K17a Sekalipun saat ini terkesan pihak eksekutif dan DPRD berkeberatanBumiayu terpisah dari Kabupaten Brebes, pihaknya akan terus berusaha melangkah hingga terwujud kabupaten baru nanti.

K18a Meskipun dengan idealisme lain, ketegasan sikap DPP PDI-P mencopot kader di legislatif yang menentang perintah/yang tidak mau mematuhi perintah/yang membangkang perintahsebenarnya bisa berdampak positif.

K19a Yusril mencopoti/melepasi kubu Hartono.

Data pemakaian BI yang mengandung gejala kebahasaan seperti diuraikan dalam Bagian b ,c, dan d itu, khususnya yang berkaitan dengan BD, akan lebih mudah ditemukan pada media-media yang diterbitkan di daerah di seluruh negeri tercinta ini.

e. Kalimat Rancu

Pemakaian BI dalam media massa, khususnya yang disampaikan dalam tajuk-tajuk yang mencerminkan situasi keformalan yang tinggi, seyogianya terbebas dari penggunaan struktur kalimat yang rancu. Namun, data memperlihatkan, baik melalui media cetak maupun media elektronik, adanya pemakaian struktur tersebut; berikut adalah contohnya.

K20 Meski telah dilakukan pertemuan di Istana Negara antara pertemuan pengusaha, serikat buruh dan Pemerintah, Jumat lalu, namun sejumlah organisasi buruh masih tidak kompak. (RM/06/4/)

K21 Walaupun Pemerintah telah silih berganti, akan tetapi penyelesaian kasus penggerogotan uang negara lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tak pernah tuntas. (RMe/06/6)

Kedua kalimat di atas sebenarnya merupakan kalimat majemuk subordinatif, yang pola kalimatnya memperlihatkan urutan anak kalimat (AK) mendahului induk kalimat (IK). AK pada K20 adalah Meski telah dilakukan pertemuan di Istana Negara antara pertemuan pengusaha, serikat buruh dan Pemerintah, Jumat lalu; IK-nya adalah sejumlah organisasi buruh masih tidak kompak. Jadi, hadirnya konjungtor namunsebelum IK dalam K20 itu betul-betul tidak berfungsi. Selain itu, konjungtor namun merupakan konjungtor kalimat koordinatif; pemakaiannya dalam konstruksi K20 membuat kalimat menjadi tidak gramatikal, bahkan rancu, yang sekaligus mengurangi derajat keformalan situasi pemakaian. Demikian pula secara analogis analisis yang dapat dilakukan terhadap K21. Bedanya hanya terletak dalam jenis konjungtornya, yaitu walaupun sebelum AK dan akan tetapi sebelum IK.

Konstruksi yang rancu seperti ini masih dipakai juga dalam pemberitaan lewat televivi. Padahal, jika ditautkan dengan durasi yang selama ini menjadi kilah peningkatan kualitas bahasa di televisi, berapa banyak waktu yang mubazir/tidak efektif jika kekerapannya tidak terkontrol. Oleh karena itu, K20 dan K21 harus disunting dengan membuang konjungtor namun pada K20 dan akan tetapi pada K21. Namun, jika Anda suka menggunakan kedua konjungtor tesebut, suntinglah kedua kalimat itu dengan menjadikannya berstruktur kalimat tunggal sehingga penggunaan konjungtor sesuai dengan fungsi dan perannya tercapai, yaitu sebagai konjungtor antarkalimat, bukan intrakalimat. Berikut adalah suntingan K20; penyuntingan atas K21 dapat dilakukan seperti yang dikerjakan terhadap K20.

K20a Meski pertemuan antara pengusaha, serikat buruh, dan Pemerintah di Istana Negara telah dilakukan pada Jumat lalu, sejumlah organisasi buruh masih tidak kompak.

K20b Pertemuan antara pengusaha, serikat buruh, dan Pemerintah di Istana Negara telah dilakukan pada Jumat lalu, tetapi sejumlah organisasi buruh masih tidak kompak.

K20c Pertemuan antara pengusaha, serikat buruh, dan Pemerintah di Istana Negara telah dilakukan pada Jumat lalu. Tetapi, sejumlah organisasi buruh masih tidak kompak.

K20d Pertemuan antara pengusaha, serikat buruh, dan Pemerintah di Istana Negara telah dilakukan pada Jumat lalu. Akan tetapi, sejumlah organisasi buruh masih tidak kompak.

K20e Pertemuan antara pengusaha, serikat buruh, dan Pemerintah di Istana Negara telah dilakukan pada Jumat lalu. Namun, sejumlah organisasi buruh masih tidak kompak.

K20f Pertemuan antara pengusaha, serikat buruh, dan Pemerintah di Istana Negara telah dilakukan pada Jumat lalu. Meskipun demikian, sejumlah organisasi buruh masih tidak kompak.

Kalimat yang mengandung kerancuan seperti K 20 dan K21 itu sangat tinggi frekuensi pemakaiannya, tidak mengenal medium dan jenis laras bahasanya. Baik dalam BI lisan resmi, apalagi takresmi, maupun BI tulis resmi atau takresmi (yang sudah mendapat penyuntingan), seperti dalam pidato sambutan/arahan, dst., masih marak dengan struktur kalimat rancu sejenis itu. Demikian pula, telitian saya (begitu juga telitian sejawat saya) menunjukkan tidak pernah absennya konstruksi yang rancu ini: mulai dari laras bahasa hukum yang mestinya menunjukkan ragam BI bekunya (freozen), laras bahasa keilmuan (yang seharusnya memeragakan kejernihan nalar penyusunnya), laras bahasa lagu (yang mestinya menampilkan keindahan variasi kalimatnya), laras bahasa birokrasi (yang sudah waktunya memajankan keadaan birokrasi yang apik (clean governnance), temasuk laras bahasa jurnalistik, baik cetak maupun elektronik, tidak pernah lupa menampilkan konstruksi kalimat yang rancu sejenis K 20 dan K21 di atas.

Berikut adalah beberapa pola kalimat rancu yang masih marak dipakai dalam komunikasi resmi.

Meskipun…, tapi/tetapi/akan tetapi/ namun/namun demikian….
Biarpun…, tapi/tetapi/akan tetapi/ namun/namun demikian..,
Walaupun…, tapi/tetapi/akan tetapi/ namun/namun demikian… .
Kendatipun…, tapi/tetapi/akan tetapi/ namun/namun demikian….

f. Ekonomi Bahasa dan Kelewahan

Salah satu ciri yang amat menonjol dalam BI laras bahasa jurnalistik, baik media cetak maupun elektronik televisi, adalah ekonomi bahasa. Kecenderungan yang diberikan terhadap interpretasi konsep ekonomi bahasa itu adalah penghilangan/ pelesapan satuan bahasa tertentu sesuai dengan konvensi kaum jurnalis itu sendiri. Namun, jika ditautkan dengan konteks dan situasi berbahasa di dalam media tersebut, tidak jarang data menunjukkan bahwa penghilangan/pelesapan itu justru mengurangi derajat keresmian bahasa yang dipakai penutur/jurnalis di dalam situasi berbahasa yang dihadapi, misalnya, manakala sedang membacakan berita resmi.

Sehubungan dengan masalah ini, data menunjukkan bahwa ekonomi bahasa dalam laras bahasa ini ditandai oleh penghilangan/pelesapan afiks meng-, penyulihan konjungtor bahwa dengan tanda koma, pelesapan konjungtor bahwa dan konjungtor lainnya. Sebaliknya, terdapat pemakaian unsur-unsur bahasa yang berlebih (yang tidak menambahkan informasi baru), yang sebenarnya mengganggu konsep ekonomi bahasa itu sendiri. Keadaan ini sudah relatif lama berlangsung, sekurang-kurang seusia saya menjadi peneliti dan penyuluh bahasa. Jika ditautkan dengan permasalahan/ kendala sosiolinguistik yang kita hadapi, saya cenderung menautkan hal ini agak berlebih kepada masalah sikap bahasa jurnalis/redaktur terhadap sistem kebahasaan BI (seperti juga hal ini dihadapi oleh laras-laras bahasa yang lainnya) daripada terhadap empat karakteristik cara kerja pers menurut Iskandar.

1) Pelesapan Afiks meng-
Pelesapan afiks meng- dalam BI laras bahasa ini cenderung dilakukan terhadap tajuk-tajuk berita. Konon ini merupakan konvensi laras bahasa jurnalistik. Namun, seperti terjadi pada unsur-unsur kebahasaan yang lain, tampaknya konvensi mengenai ini belum menyosialisasi secara taat asas karena tajuk-tajuk yang masih menggunakan afiks meng- masih tersebar di setiap media cetak dan terdengar secara eklsplisit tatkala presenter membacakan tajuk berita
K22 Penggelontoran Uang Tak Pernah Selesaikan Masalah (KTN/A5/06/04)
K23 Indonesia Minta Howard Terbang ke Jakarta (KTN/A5/06/04)
K24 Pemerintah Tak Berwenang Tegur Playboy (KTN/A20/06/04)
K25 Kekerasan Kian Ancam Perempuan (RP//06/14/04)
K26 Pemerintah Lepas Saham di BII dan Permata (RP//06/14/04)
K27 DPR Gugat Cara Menneg PAN Tunjuk Langsung Pemasok
(Kp/Polhuk/06/04/15)
K28 Pesantren Harus Jaga Toleransi (Kp/Polhuk/06/04/15)
K29 Mega Ajak Simpatisan Berjoged di Grobogan (Rc/04/04/02)
K30 Warga Kelurahan Lai Parak Kopi Enggan Gunakan Hak Pilih (SC/05)
K31 Masyarakat Diminta Waspadai Kecurangan Pemilu (SC/05/04
K32 Cina Kalahkan Hongkong 1-0 (SC/06/04)

2) Penyulihan Konjungtor dengan Tanda Koma

Contoh penyulihan konjungtor dengan tanda koma tampak pada K33, K34, dan K35 berikut. Namun, demi peningkatan derajat keformalan BI, tanda koma itu harus disunting dan konjungtor bahwa sekaligus diletakkan sebelum klausa yang berfungs sebagai objek pada ketiga kalimat tersebut.

K33 Presiden mengemukakan, keadilan dapat makin terwujud dengan tersedianya lapangan kerja dan berkurangnya jumlah penganggur (Kp/06/04/)

K34 Seusai menghadiri Rapat Koordinasi Terbatas dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Boediono, Rabu (12/4) di Jakarta, Menteri Pertanian Anton Apriyantono menegaskan, pertimbanganpemerintah nenaikkan
HET karena seluruh biaya yang mendukung produksi pupuk telah naik, misalnya ongkos angkut dan ongkos bongkar muat. (Kp/06/04/13/1/6)

K35 Sofyan juga mengingatkan, 16 nama yang disebut Tibo dkk bukanlah data baru. (Kp/15/13/04/06)

3) Pelesapan Konjungtor bahwa dan agar

Di samping terdapat penyulihan konjungtor bahwa dengan tanda koma, laras bahasa jurnalistik juga melesapkan konjungtor bahwa dan agar pada konstruksi kalimat yang mengandung klausa anak kalimat, seperti tampak pada contoh K36, K37, dan K38. Namun, seperti telah disampaikan, pelesapan-pelesapan konjungtor pada struktur kalimat seperti ini dapat mengurangi kadar keformalan situasi berbahasa. Oleh karena itu, pada K36 wajib disisipkan konjungtor bahwa, pada K37 dan K38 konjungtor agar.

K36 Juru bicara Pertamina, Mochammad Harun mengatakan proyek iniditargetkan selesai pada 31 Mei 2006.(KT/A20/12/04/06)

K37 Khoirul Anam, Wakil Presiden Kongres Serikat Pekerja Indonesia, mengingatkan pemerintah untuk tidak memaksakan kompromi. (KT/A7/06/12/04 )

K38 Presiden berharap kerja sama organisasi kepolisian yang tergabung dalam ICPO-Interpol dapat diperkuat, terutama dalam melawan kejahatan korupsi. (KT/A7/06/12/04 )

4) Kekohesian dan Kekoherensian

Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang apik atau koheren. Kohesi merupakan hubungan formal antarkalimat pembentuk paragraf. Dalam laras bahasa jurnalistik, dari seluruh kasus kebahasaan, yang paling tinggi derajat ketidakmantapannya adalah penggunaan alat-alat kohesi ini. Jurnalis/redaktur media massa, khusunya media cetak, nyaris tidak membedakan peran-peran alat kohesi tersebut. Tampaknya, seluruh alat kohesi antarkalimat, bahkan intrakalimat, dapat berperan sebagai antarparagraf, di antaranya berikut.

Sementara itu, …
Kendatipun demikian, … Jadi,…
Sedangkan, ….
Bahkan, ….
Tetapi, ….
Namun, …./Namun demikian, ….
Akan tetapi, ….
Dengan demikian, ….
Meskipun demikian, ….
Padahal, ….
Malahan, ….
Selain itu, ….
Di samping itu, ….
Kendati demikian, ….
Meski demikian, ….
Bahkan, ….
Oleh karena itu, …./Oleh sebab itu, …,(*)

Tulisan ini disajikan dalam kegiatan “Lokakarya Jurnalistik untuk Redaktur” yang diselenggarakan Dewan Pers bersama Lembaga Pers Dr. Soetomo pada 18 – 20 April 2006, di Semarang.

4 tanggapan untuk “Permasalahan Berbahasa

  1. Luar biasa bagus tulisan ini. Kiranya tulisan ini menjadi panduan bukan hanya untuk kaum jurnalis melainkan juga semua warga Indonesia, khususnya para penulis skenario film-film Indonesia yang pada umumnya taktaat asas dan memakai bahasa gado-gado.

  2. Dear pakar saya ingin bertanya mengenai makna kata “antara lain, contoh: izin produksi suatu pabrik adalah : alat permainan antara lain, stacker, hoki, spin. kemudian ada alat permainan yang tidak disebutkan dalam surat izin tersebut, contoh bowling, apakah bowling tersebut tidak bisa dimasukan kedalam surat izin tersebut karena kata “antara lain” tersebut hanya meliputi tiga alat permainan itu saja, mohon pencerahannya

  3. Kata “tak” bukan merupakan bentu terikat, jadi semestinya “tak stabil’, bukan “takstabil”. :)

  4. Jagat pengetahuan dan jagat kehidupan sehari-hari perlu dipisahkan di dalam pikiran peneliti. Dalam jagat pengetahuan atom dan gula pasir harus dipisahkan pembahasannya, meskipun atom membentuk gula pasir. Dalam jagat pengetahuan, bahasa sebagai bangunan bunyi, bentuk, kalimat harus dibedakan dari omongan dalam percakapan, meskipun omongan dibentuk dengan bahasa.

    Dalam jagat bahasa kalimat “Saya adalah bahasa Jawa.” adalah kalimat yang benar: bunyinya, bentuknya, kalimatnya. Tetapi sebagai pernyataan dalam dunia omongan, maka pernyataan itu bermasalah: bagaimana kita membayangkan bahwa ada orang yang menganggap dirinya bahasa Jawa.

    Yang dibicarakan tulisan di atas adalah jagat omongan (istilah lainnya royaume discursive, dan bukan jagat bahasa atau monde linguistique). Ketika bahasa dibicarakan dalam hal normativitasnya dalam memproduksi omongan: maka tetap saja yang dibicarakan di sini adalah dunia diskursus. Khususnya, di sini dibicarakan dunia diskursus kewartawanan. Dalam diskursus kewartawanan itu kita bisa membahas kosa kata dan tata bahasa normatifnya (mana bunyi yang boleh, mana bentuk yang bisa diterima, mana kalimat yang tidak bermasalah), dan harus juga kita membahas logika (ilmu menata gagasan), retorika (ilmu membikin omongan, tulisan dst.), dan poetika (ilmu menyusun cerita).

    Selain itu perlu ditegaskan pula, bahwa selain dua dunia itu terdapat pula persoalan penulisan yang jelas sekali bukan persoalan kebahasaan, bukan persoalan logika, bukan persoalan retorik dan poetika, terdapat persoalan penulisan yang merupakan jagat tersendiri. Jadi kalau dipilah dengan betul dalam tulsian di atas terdapat beberapa jagat barang penelitian yang harusnya dipikirkan dan dibicarakan secara terpisah sebelum dibicarakan hubungan antar jagat itu.

    Secara logika pernyataan “Sabu disimpan dalam 9 tiang baja rumah.” adalah pernyataan yang sama dengan “Dalam 9 tiang baja rumah sabu disimpan.” Tetapi secara retorika, dua pernyataan itu berbeda. Pernyataan pertama lebih lugu daripada yang kedua. Juga akan lebih rumit secara retorika jika dikatakan “Disimpanlah sabu dalam 9 tiang baja rumah.” Di sini tidak dibicarakan poetika karena tidak ada pembuatan cerita di sini. Jika tata bahasa dan kosa kata bahasa Indonesia normatifnya dipersoalkan, maka terlihatlah bahwa tidak ada masalah dengan pernyataan-pernyataan itu dalam hal, kecuali kalau ditulis :” Sabu disimpen neng jero 9 tiang baja rumah.” Maka secara kebahasaan ditemukanlah elemen bunyi dan bentuk yang asing dalam kalimat yang harusnya murni memuat bunyi, bentuk dan tatakalimat bahasa Indonesia itu.

    Kita sejak SD dibiasakan menyematkan istilah bahasa Indonesia untuk pelajaran yang sebetulnya mengajari kita membuat diskursus: membuat kalimat pernyataan yang benar, membuat paragraf yang benar, membuat karangan yang benar, membuat cerita yang benar, membuat sajak, belajar berpidato dst. Itu semua pelajaran logika, retorika dan poetika. Analisis SPOK adalah analisis logika, dan bukan analisis bahasa. Pembagian tulisan dengan pembukaan, pembahasan dan penutup adalah urutan tata diskursus retorika. Kalau kita membuat novel atau cerpen atau roman, maka itu adalah urusan poetika. Tetapi sudahlah, semua urusan yang sebetulnya berbeda-beda itu dirangkung menjadi pelajaran bahasa Indonesia. Analisis bahasa Indonesia akan menghasilkan rincian fonem dan hubungan antar fonem, rincian morfem dan hubungan antar mereka, dan terakhir tata aturan pembentukan bangunan yang terdiri dari morfem-morfem: kalimat, yaitu sintaksis. Selepas itu kita berurusan dengan logika, retorika dan poetika.

    Urusan kewartawanan berdiskurus Indonesia jelas mengandaikan bahwa wartawan sudah menguasai tata bahasa dan kosa kata bahasa, logika, retorika, poetika Indonesia. Sementara dalam dunia yang berisi orang-orang berlidah banyak (polyglotte, poly banya, glotte lidah), maka dalam pikiran tiap orang terjadilah penggunaan beberapa bahasa dan tata pembuatan omongan yang berbeda-beda (logika, retorika dan poetika) secara saling melengkapi ketika orang itu memproduksi diskursus.

    Tetapi jelas bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris tidak akan bisa bercampur. Sulit dibayangkan bahwa misalnya karena sudah terlalu banyak orang Indonesia yang berbahasa Inggeris, maka aturan tenses dan person dalam kalimat pun diberlakukan dalam bahasa Indonesia, sehingga orang harus mengatakan “Saya berlari dan dia berlaris, dan kemarin mereka berlaried.” Percampuran yang terjadi paling banter hanya terjadi pada tingkat logika retorika dan poetika.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.