Mengurai Prasangka Bahasa

Ahmad Sahidah* (Majalah Tempo, 26 Mei 2013)

Mungkinkah kita bisa sepenuhnya memahami bahasa Malaysia atau warga jiran bisa memahami bahasa Indonesia? Jawabannya pasti, tapi tidak berarti mereka mengandaikan makna yang sama. Sepanjang pengalaman saya berkomunikasi dengan banyak kawan dari dua negara tersebut, prasangka bahasa masih saja muncul. Misalnya, dalam sebuah lokakarya di Universitas Jember, saya berbicara di hadapan wakil kedua negara dengan merujuk pada lema yang ada dalam dua kamus, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Dewan (KD), tapi kedua warga malah tak paham atau setengah mengerti, sehingga presentasi acap mendatangkan kelucuan.

Betapapun kedua warga ini bisa mempelajari bahasa masing-masing secara linguistik, setiap bahasa itu, sebagaimana diungkapkan Ferdinand de Saussure, mengandaikan dua konsep penting, yaitu langue dan parole. Isu pertama berhubungan dengan tata bahasa baku, sementara yang kedua terkait dengan praktek sehari-hari. Tak ayal, meskipun pada sudut pandang pertama kedua bahasa ini sama, dalam penggunaan praktis keduanya bersimpangan. Misalnya, kata “Cina” yang merujuk pada bangsa tidak digunakan oleh sebagian masyarakat Indonesia karena dianggap bermakna peyoratif, sementara di Malaysia kata tersebut tetap dipakai bersamaan dengan penanda Melayu dan India.

Tak terelakkan, belakangan ini, berita koran di Tanah Air menyebut Partai Aksi Demokratik (Democratic Action Party) sebagai partai yang didominasi kaum Tionghoa. Padahal koran-koran Malaysia biasa menyebut Cina. Tentu saja, ada nuansa makna yang menempel pada kata ini, selain secara generik sebagai penanda terhadap sekumpulan orang yang berdarah Tionghoa. Betapa secara stereotipikal, bangsa Cina di Malaysia digambarkan sebagai bangsa yang ulet, rajin bekerja, dan pelit (kedekut). Sedangkan Melayu terkadang digambarkan sebagai kaum (sebutan untuk etnis) yang taat, pemalas, dan selalu bergantung pada bantuan pemerintah.

Prasangka itu hakikatnya pengetahuan yang bisa mengantarkan pada kebenaran meskipun, secara etika, perilaku ini dianggap keliru dan dosa. Anehnya, kadang kata yang telanjur bersifat negatif ini diikuti kata sifat baik, sehingga terbitlah kata “prasangka baik”. Menurut hermeneutika filsafat Gadamerian, dalam proses pemahaman, prasangka (vorurteil) tidak mesti dinafikan. Namun pembaca harus melewati prasangka dengan menghadirkan “masa lalu” untuk dikaitkan dengan “masa kini” (gerakan ganda) sehingga pemaknaan produktif. Pemahaman terhadap kata hakikatnya mengandaikan pengertian konteks dekat dan jauh, yang menyebabkan makna tidak tunggal dan ajek.

Kolega saya di kampus, Profesor Ibrahim Ahmad, dengan riang mengajak kami “kabur” setelah tak lama berbincang di klinik kesehatan. Lalu dia pun menjelaskan kepada teman Melayu lain bahwa kata “kabur” itu sama dengan “cabut”, beranjak dari satu tempat ke tempat lain. Tentu, saya tak bisa menyergah karena mereka telah berlalu dari lokasi. Sebenarnya, lema “kabur” berarti berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti kata “pergi”. Namun sejatinya “kabur” dan “cabut” mengandaikan suasana yang berbeda. Yang pertama menunjukkan “pergi tanpa pamit” dan dalam keadaan tegang, sementara yang terakhir, meskipun di KBBI secara generik bermakna mengambil “barang” yang tertanam dan mengeluarkannya dengan mengerahkan tenaga, tak menyiratkan arti “kabur”.

Menariknya, prasangka bahasa ini bisa menyebabkan kesalahtanggapan. Misalnya, Karim Raslan, kolumnis terkemuka negeri jiran, dianggap orang yang rendah diri. Bayangkan jika kata majemuk tersebut dialamatkan kepada orang Indonesia. Pasti sebutan itu akan terasa tak nyaman karena makna “rendah diri” adalah negatif, padahal dalam bayangan mitra wicara sifat itu menunjukkan sikap “rendah hati”. Jadi, warga Malaysia semestinya menyebut “rendah hati” untuk “rendah diri”. Menariknya, dengan kata “rendah diri”, kita sebenarnya tak hanya merendahkan hati, tapi juga seluruh tubuh, dari kepala hingga kaki. Kata “licik” di media Malaysia bisa diartikan “lihai”, sehingga kata sifat ini dilekatkan pada pemain bola yang bisa menggocek si kulit bundar di lapangan secara piawai.

Terus terang, kita kadang bertukar tangkap dalam lepas, meminjam kata penyajak Chairil Anwar, ketika berkomunikasi dengan warga serumpun walaupun kata-kata yang disangkakan bahasa masing-masing hakikatnya sama-sama tertera dalam KBBI dan KD. Misalnya, kita sering menyebut “jendela” dan “kamar”, sementara orang Malaysia lebih sering mengucapkan “tingkap” dan “bilik”. Kata “jendela” dan “kamar” di telinga warga jiran tampak puitis dan unik karena jarang didengar, meskipun sering diterakan dalam puisi dan lirik lagu. Tidak aneh, jika Anda bertanya kepada orang Semenanjung, di mana “kamar” tuan A, pasti mereka akan tampak bingung. Kalau Anda menggantinya dengan kata “bilik”, serta-merta mereka akan menunjukkan ruangan itu dengan mesra.

*) Dosen filsafat dan etika Universitas Utara Malaysia

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.