Idulfitri

Ratih Rahayu, Staf Pembinaan Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Lampung Post, 24 Agu 2011

SUDAH menjadi tradisi saat menyambut Lebaran, kita saling bermaaf-maafan dengan teman-teman dan kerabat. Pesan singkat lewat telepon seluler pun menjadi salah satu sarana yang murah meriah untuk bermaaf-maafan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan setelah usai berpuasa di bulan Ramadan, kita (umat Islam) kembali dilahirkan suci dari dosa.

Banyak sekali pesan singkat yang saya terima membuat saya terharu karena berisi kalimat yang indah penuh doa. Namun, kadangkala saya pun tertawa membaca pesan singkat yang berisi pantun atau kalimat-kalimat jenaka.

Terlepas dari isi pesan singkatnya, ada satu hal yang masih mengganjal dalam hati, yaitu cara penulisan kata Idulfitri. Dua tahun lalu, saya dan Adian Saputra (pada tulisan yang berbeda) pernah membuat tulisan tentang hal ini di rubrik Laras Bahasa. Namun, sepertinya isi tulisan tersebut belum banyak diaplikasikan masyarakat pada umumnya.

Masih banyak instansi maupun perorangan yang tidak mau mengubah kebiasaan yang salah tersebut. Hal itu mungkin disebabkan karena masyarakat telah terbiasa menuliskan kata Idulfitri secara terpisah dan akan merasa aneh (karena di luar kelaziman) bila digabung cara menuliskannya.

Di samping itu, tidak sedikit pula orang yang menuliskan kata tersebut dengan Iedul Fitri atau Idhul Fithri. Terlebih lagi dengan munculnya “bahasa gaul” dan “bahasa alay”. Cara penulisan selamat Idulfitri pun semakin beragam dan unik sehingga terkadang tidak mudah untuk dimengerti. Mengapa tidak mudah dimengerti? Tentu saja tidak mudah dimengerti karena ciri bahasa alay adalah campuran huruf, angka, dan simbol serta adanya bentuk-bentuk penyingkatan yang tidak memiliki aturan yang pasti.

Kembali kepada kata Idulfitri, sesungguhnya kata tersebut berasal dari dua kata bahasa Arab, yakni id dan alfitri yang artinya kembali dan suci. Menurut artikel yang pernah saya baca (karya Abdul Gaffar Ruskhan), id merupakan sebuah unsur terikat yang tidak dapat berdiri sendiri. Dia harus disandarkan pada kata lain yang menyertainya.

Jadi, penulisan kata Idulfitri yang sesuai dengan kaidah adalah Idulfitri, bukan Idul Fitri.

Hal ini juga sejalan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penulisan Idulfitri di dalam literatur tersebut juga digabung.

Saat Idulfitri biasanya tidak akan puas bila tidak dibarengi dengan bersilaturahmi pada sanak saudara. Sudah menjadi tradisi, saat Lebaran tiba kita akan mengunjungi rumah orang tua, kakek-nenek, paman-bibi, kakak-adik, maupun tetangga. Berkaitan dengan kata silaturahmi, banyak orang yang tidak memahami apa arti sesungguhnya arti kata silaturahmi itu. Oleh sebab itu, akan sedikit saya jelaskan di bawah ini.

Menurut artikel yang ditulis Asep Juanda, kata silaturahmi merupakan serapan dari bahasa Arab, yaitu dari kata shilah/shilat(un) yang berarti sambungan dan rohmu (rahmi)/rohim (rahim) yang berarti rahim (peranakan)/persaudaraan, atau kasih sayang. Kata (ar)rahmu apabila digabungkan menjadi frasa dengan kata shilatu(un) akan membentuk kata shilaturrohmi yang diserap dalam bahasa Indonesia menjadi silaturahmi. Jadi dapat kita mengerti bahwa silaturahmi berarti menyambungkan rahim atau persaudaraan, atau menyambungkan kasih sayang.

Dalam KBBI, kata silaturahmi berarti tali persahabatan (persaudaraan) dan bersilaturahmi berarti mengikat tali persahabatan (persaudaraan). Dengan demikian, bersilaturahmi berarti kita akan mengikat tali persaudaraan, tali kekerabatan, persahabatan, ataupun menyambungkan kasih sayang.

Semoga di Idulfitri esok lusa, kita dapat mengikat dan mempererat tali persaudaraan, persahabatan, ataupun menyambungkan kasih sayang yang sempat terputus, baik oleh jarak maupun waktu.

Selamat merayakan Idulfitri dan bersilaturahmi, mohon maaf lahir dan batin.

Sumber gambar: BrandsOfTheWorld

11 tanggapan untuk “Idulfitri

  1. saya membaca artikel, dimana menurut para ulama,silaturahmi berasal dari dua suku kata,yaitu silah dan rahmi.
    Silah artinya menyambungkan,sedangkan rahmi artinya rasa nyeri luar biasa yg dirasakan ibu-ibu sebelum melahirkan anaknya.
    jadi saya rasa yg benar adalah silaturahim

    mungkin sebaiknya di kaji lebih dalam?

  2. Mungkin artikel yang dimaksud adalah artikel Pak Hidayat Nur Wahid (mantan Ketua MPR) tahun 2008 lalu.

  3. Terima kasih kepada teman saya, Teh Ratih yang telah menjadikan artikel saya (yang) berjudul silaturahmi atau silaturahim? menjadi salah satu rujukan dalam tulisan di atas. Artikel saya yang menjadi salah satu rujukan tulisan tersebut, dimuat dalam surat kabar HU. Pikiran Rakyat, Minggu, 5 September 2010. Dalam tulisan tersebut, saya menggunakan referensi beberapa kamus Arab-Indonesia dan Indonesia-Arab, yaitu kamus Almunawir, Mahmud Yunus, dan kamus Alkalali. Untuk lebih jelasnya tentang artikel tulisan saya itu, dapat dibuka pada laman http://asjun.dagdigdug.com/2010/09/06/silaturahmi-atau-silaturahim/
    Apabila di antara sahabat berbeda pendapat dengan saya atau ingin memberikan komentar tentang hal itu, kita dapat bertukar pikiran lebih mendalam melalui kolom tanggapan di laman saya tersebut atau melalui “facebook” dan pos-el saya dengan alamat pos-el as_jun07@yahoo.co.id. Terima kasih. Salam. Asep juanda.

  4. Mana yang betul, silaturahmi atau silaturahim? Dulu dosen saya di UI pernah menjelaskan kedua istilah ini, yang sama-sama populer dan aktif digunakan masyarakat Muslim di Indonesia. Kesimpulannya, dua kata ini–walau terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dan ahli bahasa–dapat dimaknai sama. Dan, insya Allah di antara kita tidak akan mensalahartikan maksud yang hendak disampaikan penuturnya.

  5. Kok pengertiannya tidak sama dengan Ustadz ini,

    Makna Idul Fithr

    Kalau kita jujur dengan istilah aslinya, sesungguhnya kata ‘Idul Fithri’ itu bukan bermakna kembali kepada kesucian. Tetapi yang benar adalah Hari Raya Makanan.

    Dan hari raya Islam yang satunya lagi adalah Idul Adha, tentu maknanya bukan kembali kepada Adha, sebab artinya akan jadi kacau balau. Masak kembali kepada hewan qurban? Idul Adha artinya adalah hari raya qurban (hewan sembelihan).

    Bahwa setelah sebulan berpuasa kita harus kembali menjadi suci, mencusikan hati, mensucikan pikiran dan mensucikan semuanya, tentu memang harus. Cuma, jangan kemudian main paksa istilah yang kurang tepat. Mentang-mentang kita harus kembali suci, lalu ungkapan ‘Idul Fithri’ dipaksakan berubah makna menjadi ‘kembali suci’.

    http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1358360047

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.