Atas Nama Rakyat

Seno Gumira Ajidarma*, Majalah Tempo, 16 Mar 2015

Di antara lebih dari 90 ribu kata yang terhimpun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak ada kata yang lebih sering dimanfaatkan demi keuntungan golongan, ataupun diri sendiri, daripada kata “rakyat”.

Dalam hikayat, dongeng, yang juga sering sebagai “cerita rakyat”, asalkan sudah terdapat kalimat semacam “dicintai rakyat”, segalanya seperti sudah menjadi beres. Dalam pemahaman modernis, seolah-olah tidak ada demokrasi (artinya pun “kekuatan rakyat”) dalam kebudayaan tradisional, karena rakyat yang jamak itu pemikirannya seolah-olah tunggal. Dalam Ramayana, misalnya, ketika Sinta mengandung, Rama disebut terpengaruh oleh pergunjingan rakyat Ayodya bahwa sebetulnya Sinta berselingkuh dengan Rahwana, seolah-olah semuanya sudah setuju saja, tidak ada pro dan kontra.

Dapat juga diperhatikan bahwa dalam wiracarita atau cerita kepahlawanan seperti itu, hanya “pahlawan” (yang maknanya lebih sering hanya “jago perang”, bukan “orang berjasa”) yang memiliki nama, pada kedua belah pihak, seperti Hanuman dan Laksmana di pihak Pancawati serta Prahasta dan Indrajit di pihak Alengka. Jangankan rakyat, prajurit saja tidak bernama, kecuali kedudukannya dalam alur cerita berhubungan dengan riwayat nama-nama besar, seperti sais Rada karena merawat bayi buangan, Aradea, yang ternyata adalah Karna dalam Mahabharata.

Rakyat tidak disebut nama pribadinya, karena para empunya cerita memang tidak menggubah peran yang mandiri bagi setiap pribadi dari rakyat itu, karena rakyat hanyalah pelengkap, baik penderita maupun pembahagia. Sekali-kalinya menyeruak dalam alih wahana, sebagai bentuk perlawanan kelompok elite Jawa Kuna terhadap hegemoni sistem kasta dalam susastra Sanskerta, nama-namanya “dirakyatkan”, seperti kini dikenal sebagai Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Mbilung, Cangik, Limbuk.

Bandingkan dengan nama-nama bangsawan seperti Yudhistira, Drupada, Matsyapati, dan Baladewa. Letak perlawanan memang bukan pada namanya, melainkan pada “politik dongeng”-nya, bahwa para panakawan sesungguhnyalah lebih digdaya daripada dewa-yang secara simbolis tidak jauh dari fatwa demokrasi: vox populi vox dei (Latin: suara rakyat adalah suara Tuhan).

Penegasan atas status sosial “rakyat” bahkan terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ada yang memang netral, tidak ditinggikan dan tidak direndahkan, seperti “penduduk suatu negara”. Namun, ketika diberi kata tambahan, selalu bermakna merendah dan tidak pernah meninggi, seperti “rakyat biasa” yang setara dengan “rakyat jelata” dan sama-sama terdapat pengertian “bukan bangsawan, bukan hartawan”.

Sedangkan “rakyat kecil” disebut sebagai “orang yang tingkat sosial ekonominya sangat rendah; orang kebanyakan (bukan penguasa pemerintahan)”. Jadi ada “rakyat kecil”, tapi tidak ada “rakyat besar”. Itu hanya jokes untuk menunjuk status sosial seorang taipan atau menteri (meskipun seorang menteri, dalam kenyataannya, bisa juga tingkat sosial ekonominya seperti “orang kebanyakan”).

Namun, dalam ke-rendah-an dan ke-kecil-annya, dalam posisi “rakyat gembel” sekalipun, yang artinya “golongan orang yang sangat papa, tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap” (Pusat Bahasa, 2008: 1135), kata “rakyat” tidak pernah terlalu hina untuk “dijual” sebagai wacana eksotik. Adapun yang saya maksud eksotik: indah sebagai gagasan, tidak terlalu indah sebagai kenyataan-menjadi rakyat-itu sendiri.

Stigmatisasi terhadap kata “rakyat” seperti terimbas dari stigmatisasi organisasi Pemuda Rakyat atau Lembaga Kebudayaan Rakyat semasa Orde Baru, karena hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia, pun tidak menghalangi, bahkan mungkin justru mengilhami nama partai baru seperti Partai Rakyat Demokratik-meski rakyat definitif tidak lantas berbondong-bondong menggabungkan diri. Dalam polemik, demonstrasi, dan kampanye politik, “rakyat” begitu sering dijual dalam slogan seperti “membela rakyat”, “demi rakyat kecil”, dan “pemimpin rakyat”. Menjadi kalimat berbusa pada poster, spanduk, dan iklan televisi yang sangat mahal bayarannya.

Dalam gerakan People Power di Filipina pada 1986 pun, yang membuat “keberdayaan rakyat” untuk pertama kalinya masuk ke kamus politik, istilah ini diperkenalkan oleh sekelompok kecil penasihat Corazon Aquino, sebagai suatu strategi yang dirancang dengan sangat saksama untuk menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos dari kekuasaannya. Dengan tonggak sejarah seperti itu, tetap disebutkan pihak oposisi tidak akan berhasil tanpa menarik militer ke pihaknya (Soekito, Mutiara, III/09/1992: 10).

Pertanyaannya: adakah kejujuran dalam penggunaan kata “rakyat”? Apakah bahasa menyatakan yang sebenarnya?

* Wartawan Panajournal.com

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.