Pintu Budaya Etnik

Sori Siregar*, KOMPAS, 14 Mar 2015

Ketika Ajip Rosidi memperlihatkan kepada saya beberapa buku sastra dalam bahasa Batak Toba yang ditulis novelis Saut Poltak Tambunan, saya terkejut sekaligus senang.

Saya senang, karena tidak banyak orang Batak yang dapat menulis dengan baik dalam bahasa Batak Toba. Juga dalam bahasa Batak lainnya seperti, Pakpak Dairi, Angkola, Mandailing, dan Karo. Karena itu kehadiran karya-karya Saut Poltak Tambunan saya sambut hangat. Saya tidak tahu apa pendapat sastrawan Parakitri Tahi Simbolon yang duduk di depan saya.

Hadiah tahunan Sastra Rancage awalnya hanya diberikan diberikan kepada sastra Sunda. Namun, karena Panitia Hadiah Sastra Rancage tidak mengkhususkan hanya untuk sastra Sunda, tetapi juga untuk sastra daerah lainnya, hadiah tersebut diberikan pula kepada sastra Jawa, Bali, dan Lampung. Baru pada 2015 Rancage diberikan kepada karya sastra Batak Toba.

Ajip pernah mengatakan, sastra Lampung tidak terbit setiap tahun, sehingga tidak setiap tahun pula karya sastra dari provinsi tersebut dapat dinilai untuk memperoleh hadiah. Mudah-mudahan hal demikian tidak terjadi dengan karya sastra Batak Toba yang telah dimulai Saut Poltak Tambunan. Kalau Jawa Barat penuh dengan penulis karya sastra Sunda yang baik, daerah-daerah lain seharusnya tidak ketinggalan.

Tidak dapat dibantah, bahasa daerah adalah pintu utama memasuki ruang-ruang budaya etnik seperti kata Saut Poltak Tambunan.

Salah satu ruang budaya itu adalah lagu-lagu daerah Tapanuli yang liriknya sebagian besar ditulis dalam bahasa Batak Toba. Lagu tentang keindahan dan keteduhan yang ditawarkan Danau Toba, di samping kekaguman kepada danau itu, sangat banyak diciptakan para komponis Batak seperti Nahum Situmorang, S Dis, dan Muliater Simanungkalit yang terkenal dengan lagunya “O Tao Natio”.

Suatu ketika saya ingin mengetahui apakah orang-orang Batak di perantauan masih dapat memahami setiap makna kata dari kampung halaman mereka. Ternyata tidak sedikit yang lupa karena mereka dilahirkan di perantauan.

Dengan kata lain, ketika mereka melantunkan lagu “O Tao Natio” yang indah itu mereka tidak memahami arti kata “natio”. Ada yang menganggapnya sama dengan “nauli”. Apalagi lagu yang disebutkan tadi diawali dengan frasa Tao Toba Nauli hingga empat kali. Padahal yang satu berarti indah (nauli) dan yang sebuah lagi bermakna jernih (natio).

Seandainya saya dapat berbahasa Batak Toba sebaik Parakitri, mungkin saya akan dapat menikmati semua karya Poltak yang disertakan untuk memperebutkan Hadiah Sastra Rancage itu. Agaknya saya baru akan dapat memahaminya setelah buku pemenang itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia atau dengan bantuan kamus Batak, kalau ada.

Buku “Mangongkal Holi” yang mendapat hadiah itu telah menegaskan kembali bahwa ada upaya serius untuk menggunakan bahasa daerah dalam karya sastra kita. Ini diawali dengan bahasa Sunda dilanjutkan dengan Jawa, Bali, dan Lampung. Semoga tahun depan akan muncul kembali karya sastra daerah yang lain.

Sebagai pengarang sastra modern Saut Poltak Tambunan telah membuktikan bahwa penguasaan bahasa daerah Batak Toba yang dimilikinya membuat ia tidak menghadapi kesulitan dalam menulis dalam bahasa daerah yang tidak kalah kualitasnya jika dibandingkan dengan karya-karyanya dalam bahasa Indonesia. Buktinya dari tahun 2012 hingga awal 2015 ia telah menulis enam buku sastra modern dalam bahasa Batak Toba.

Upaya memasyarakatkan kembali bahasa daerah, tampaknya harus dilakukan terus-menerus termasuk dengan menulis buku.

Karena itu sangat layak diapresiasi langkah Pemerintah Daerah Jawa Barat yang juga menyertakan tulisan Sunda (kalau saya tidak salah) pada nama banyak jalan di Bandung.

Bahasa daerah yang kita sebut juga dengan bahasa ibu, memang seharusnya diberi tempat khusus di dunia pendidikan sejak awal. Karena itu, bahasa daerah lebih layak diberikan sejak di taman kanak-kanak daripada bahasa Inggris. Bahasa daerah tidak kalah pentingnya daripada bahasa Inggris.

Sudah saatnya kita tidak menganggap bahasa ibu sebagai bahasa kelas dua (mediocre) tetapi mengangkatnya sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia dalam kehidupan kita.

* Cerpenis

Satu tanggapan untuk “Pintu Budaya Etnik

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.