Tekad yang Nekat?

Yanwardi*, KOMPAS, 5 Mar 2016

Belum lama ini saya dan Eko Endarmoko, penulis Tesaurus Bahasa Indonesia yang monumental itu, berdiskusi kecil soal bahasa melalui pesan singkat. Di pesan singkatnya Eko Endarmoko menggugat kenyataan berbahasa: mengapa kita mengeja /tekad/, tetapi di sisi lain mengeja /nekat/. Jika kita mengikuti patokan itu atau bertolak dari ejaan /nekat/, seharusnya tekad dieja /tekat/ dan ditulis tekat.

Pikir saya: penulis tesaurus saja menimbang fenomena tersebut. Jadi, bisa diduga, efeknya pada penutur bahasa akan menyulitkan.

Dalam bahasa Indonesia, bunyi hambat letup bersuara (b, d, g) dan hambat letup tak bersuara (k, p, t) ketika berada di akhir kata seolah-olah tampak tidak konsisten. Kasus yang dipertanyakan Eko Endarmoko adalah antara /d/ dan /t/ dalam /tekad/ dan /nekat/. Akibat dari ketidakajekan itu, pemakai bahasa Indonesia kesulitan dalam menggunakan kata-kata terkait. Data pun sering memperlihatkan bentuk-bentuk kembar, misalnya, nekad—nekat, ojek—ojeg, beduk—bedug, dan mantap—mantab. Tidak mengherankan, para pemerhati bahasa saja acap tertukar-tukar, apalagi masyarakat awam. Tambahan pula, bunyi-bunyi yang dipersoalkan itu bersifat alofonis (tidak fonemis, tidak membedakan makna). Pasangan yang berbeda makna, seperti babad dan babat tentu tidak akan memunculkan masalah dalam pemakaian.

Saya sebenarnya kurang tertarik membahas topik-topik sejenis demikian. Alasannya, bukan saya tak peduli atau memandang sepele hal tersebut. Saya lebih bersikap praktis, tak mau menyusahkan diri sendiri. Yang penting saya memiliki argumen kebahasaan dan konsisten dengan pilihan saya. Sederhananya, ya terima saja, dan rujuk kamus bila lupa. Namun, saya akhirnya tergerak juga untuk menulis topik ini. Ada sisi lain dari topik ini yang rasanya bisa sedikit demi sedikit diurai demi kemantapan sistem bahasa Indonesia dan secara praktis demi menghilangkan kebingungan pemakai bahasa.

Persoalan ini sebenarnya sudah sangat klise. Sejak saya di bangku SMP, telah dijelaskan oleh guru bahasa Indonesia saya bahwa bahasa Indonesia tidak mengenal bunyi hambat letup yang bersuara (b, d, g) di akhir kata. Alasannya, penutur bahasa Indonesia tidak bisa melafalkan bunyi-bunyi itu. Nyatanya kita, sekurangnya penutur bahasa Indonesia sekarang, bisa melafalkan ketiga bunyi itu yang berada di akhir kata. Sebab itu, tidak mengherankan jika muncul ketidakkonsistenan sebagaimana dipertanyakan di muka.

Dalam kamus (KBBI) pun, dengan jelas terekam bahwa bahasa Indonesia mengenal bunyi hambat letup di akhir kata, seperti bab, babad, sebab, dan tekad. Artinya, leksikon bahasa Indonesia memiliki bunyi tersebut, di samping—secara deskriptif—bunyi pasangannya yang tidak bersuara.

Dengan melihat fakta kebahasaan dan pertimbangan teoretis serta praktis, bagaimana sebaiknya kita bersikap?

Karena melihat secara fonetis kita bisa melafalkan bunyi hambat letup bersuara di akhir kata dan kamus pun mencatat banyak kata yang memperlihatkan fakta itu, sebaiknya kita tidak memukul rata bahwa bunyi letup bersuara dikembalikan ke bunyi tidak bersuara. Dilihat saja pelafalan dan ejaan dalam bahasa aslinya kalau kata tersebut merupakan kata serapan. Jika tidak ”diketahui” lagi asal-usul etimologis katanya, lihat saja secara faktual deskriptif pelafalan saat ini. Kedua sikap ini akan membuat sistem bahasa Indonesia menjadi lebih mantap, tidak ditafsirkan artifisial.

Yang patut digarisbawahi di sini, persoalan topik tulisan ini bukan masalah konsisten tidak konsisten karena memang antara fakta yang satu, misalnya mantap, dengan fakta yang lainnya, misalnya bab, berbeda. Konsekuensinya, tidak bisa dipukul rata, harus dilihat kasus per kasus.

* Editor pada Yayasan Obor

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.