Pada Kecepatan Mereka Mengabdi

Hermien Y. Kleden* (Majalah Tempo, 22 Mei 2017)

Pesan WhatsApp ini sering muncul di layar telepon seluler saya, sepintas mirip kode-kode ilmu nujum: “klo mo mkn dtg y, jgn php pls!” Lain hari muncul teks dalam bahasa Inggris: “Hi, w r y? PS: I’ll brb & tty abt dat 2day. Tx!” Di masa awal-awal dulu, teks yang membikin migrain ini saya kira salah ketik atau typo belaka. Seorang reporter muda di kantor redaksi kami menjelaskan kepada saya, huruf-huruf itu bukanlah typo. Dia lantas “menerjemahkan”-nya dengan cepat dan enteng:

“Klo mo mkn dtg y, jgn php pls!”: “Kalau mau makan, datang ya, jangan memberi harapan palsu, please.” PHP abreviasi dari pemberi harapan palsu alias tukang ingkar janji. “Saya hanya membaca dari teks ini,” katanya seraya meminta maaf.

Saya mengangguk tidak sabar dan bertanya apakah dia paham “kode nujum” berbahasa Inggris di atas. Dia menatap saya keheranan, lalu berkata terus terang, “Kok, bisa editor media berbahasa Inggris tidak paham pesan yang ‘begitu jelas’?” Saya tidak menjawab dan mendesak dia segera mengartikan kode-kode itu tanpa banyak diskusi. Si reporter, calon reporter tepatnya–baru 21 tahun umurnya–menulis secepat bayangan di monitor teleponnya. Terbaca di situ:

“Hi, w r y? PS: I’ll brb & tty abt dat 2day. Tx!”: “Hi, where are you? I’ll be right back and talk to you later about that, today. Thanks.” Kursus singkat abreviasi berakhir dengan pertanyaan saya yang membuat si reporter tercengang: “Kamu belajar dari mana? Kok, paham teks-teks aneh ini?” Dia menyahut, “Kok, belajar sih, Bu? Ini kan bahasa hari-hari.”

Saya tercenung. Di hadapan saya tiba-tiba mencuat tembok kesenjangan antargenerasi, mungkin beberapa generasi. Devi, kita sebut saja begitu nama reporter ini, menawarkan jasanya andai saya butuh “bantuan terjemahan” di hari lain. Tapi saya memilih merangkak masuk, walau dengan takut-takut, ke dunia generasi yang lahir dan hidup dalam kebudayaan teknologi tinggi. Komputer, Internet, gawai (gadget) menjadi bahasa, sarana komunikasi mereka.

Bahasa, sejatinya, tidak pernah berdiri sendiri. Ia adalah bagian organis kebudayaan. Belajar bahasa tidak hanya berarti berintegrasi dengan gramatika bahasa itu, tapi berintegrasi dengan kebudayaan bahasa tersebut. Ini menjelaskan mengapa anak Indonesia yang tumbuh di tengah kebudayaan Britania atau Amerika jauh lebih mahir menjelaskan pikiran-pikirannya dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa ibunya (mother tongue). Maka, jika kita berbicara tentang komputer dan gawai sebagai “bahasa”, kita segera paham bahwa kecepatan menjadi ideologi anak-anak milenial.

Ideologi kecepatan ini melanda dunia, termasuk industri media. Semua ruang berita berpacu kecepatan, alih-alih kedalaman. Breaking news menjadi gerbong utama penghela informasi. Para wartawan generasi milenial mengetik berita di atas gawai secepat-cepatnya, sesingkat-singkatnya. Asalkan 5W + 1H terpenuhi, berita bisa diunduh. Kecepatan adalah variabel penting untuk memimpin pasar, melibas kompetitor, meraih perhatian pasar dan industri iklan.

Bahasa-bahasa berita menjadi kering, singkat, padat–kedalaman urusan belakangan–karena lelet sedikit calon pembaca terbang ke situs lain. Dalam lima menit, ibaratnya, orang mau semua berita di dunia sudah tersaji di tangan. Walhasil, yang segera tayang dengan judul-judul besar adalah Emmanuel Macron berhasil menjerembapkan Marine Le Pen pada pemilihan umum Presiden Prancis, 7 Mei lalu. Soal strategi kemenangan yang membikin Macron, politikus muda itu, bisa menyapu lawannya, seorang veteran politik, bisa menyusul.

Tak ada waktu lagi menulis lengkap dan panjang. Kata “tertawa terbahak-bahak”, “laugh out loud”, cukup “LOL”. Menyebut “in my humble opinion” terlalu boros waktu, maka jadilah “IMHO”. “Saya sedang di perjalanan” masuk kotak, digantikan “otw”. Ketergantungan pada kata tak lagi mutlak. Tukar-menukar emoji, gambar ekspresi wajah, sama saja dengan mengobrol–bisa membikin marah, tersinggung, jatuh sayang, heran, sedih, terkejut.

Setidaknya ada dua logika dasar “bahasa komputer” yang dianut terutama oleh generasi milenial. Pertama, kecepatan. Kedua, informasi tak terbatas. Di sini, lahir satu paradoks–betapa dalam banjir informasi tak terbatas, mereka memilih bahasa serba singkat. Kedalaman tak lagi menjadi prioritas karena memerlukan waktu, refleksi, pemikiran ulang. Yang dikejar adalah info-teks, bukan konteks, karena konteks perlu waktu. Akumulasi informasi menjadi kekuatan. Tapi, seperti air, informasi punya dua mata pedang. Ia bermanfaat pada kadar cukup; ia merusak di saat banjir.

Kita belum tahu apakah “bahasa komputer” berdaya rusak atau mampu melahirkan varian bahasa baru. Usul saya, jangan terlalu cepat memutuskan. Satu yang jelas, tatkala kecepatan menjadi batu sendi lalu lintas informasi, mungkin muncul konstruksi-konstruksi bahasa baru, yang mengejar efisiensi komunikasi. Ada reformulasi bahasa–yang takluk kepada tuntutan kecepatan.

Filsuf dan sosiolog Jerman yang masyhur, Jürgen Habermas, telah lama meramalkan fenomena ini dalam esainya, “The Postnational Constellation”. Habermas menulis, akan tiba masa ketika “masters of speed” come to replace “rulers of territory”. Yang menentukan bukan lagi penguasa wilayah, melainkan penguasa kecepatan–manakala ideologi teknologi menggantikan kekuatan ideologi politik. l

* Wartawan Tempo

Satu tanggapan untuk “Pada Kecepatan Mereka Mengabdi

  1. Aku malah g suka sama kasus macam ini. Dalam pikirku, perlahan-lahan, itu dapat merusak tatanan dan ejaan bahasa tulis; utamanya dalam menulis daerah (Bahasa Madura, misalnya). Toh ternyata, ketika ngetik komen ini bahkan (tak kuedit), secara tidak sadar, ada saja kata yang kusingkat, yaitu: kosakata nujum seperti “g” di depan itu 😅👌

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.