Tentang ”Kita” dan ”-Nya”

Yanwardi (Kompas, 1 Nov 2022)

Dalam konteks ilmu bahasa atau linguistik, cara pandang yang struktural sejatinya telah ”disempurnakan” sejak 1950-an, yang diawali oleh Wittgenstein dengan ”permainan bahasa”-nya. Filsuf bahasa ini menyatakan bahwa bahasa digunakan manusia dalam berbagai bidang kehidupan dengan aturan masing-masing atau bisa disebut adanya ragam bahasa yang berbeda sesuai dengan pemakaiannya.

Teori itu dipertegas kemudian dalam dunia linguistik pada 1960-an oleh Austin, Searl, dan kawan-kawan. Austin melihat bahasa secara fungsional dalam pemakaian, yang tampak banyak implikatur dan melibatkan konteks, seperti konteks sosial budaya, hubungan antarpeserta pertuturan, dan pengetahuan peserta pertuturan.

Menyuruh, misalnya, bisa dilakukan dengan tuturan pertanyaan dan pernyataan, selain dengan perintah. Konteks di luar bahasa pun menjadi sesuatu yang amat penting dalam pemakaian atau pemilihan unsur-unsur bahasa. Pandangan-pandangan Austin menjadi cikal-bakal pendekatan baru dalam linguistik, yakni pragmatik.

Bahasa Indonesia dikenal memiliki kelebihan dalam pronomina (kata ganti persona) jamak inklusif, yakni kita yang mencakup penutur dan petutur, yang berbeda dengan pronomina kami yang eksklusif, tidak melibatkan petutur.

Namun, sering dalam pemakaian bahasa, penutur, untuk maksud tidak melibatkan petutur, justru menggunakan pronomina kita, misalnya, ”Kita kebetulan yang memperoleh juara pertama” ketika penutur menginformasikan kepada petutur, siapa yang juara pertama.

Biasanya pengamat bahasa menyalahkan pemakaian kata kita dalam contoh itu. Mereka berargumen seharusnya digunakan kata kami karena tidak mencakup petutur. Namun, dalam pandangan pragmatik, penutur di situ bermaksud merendah, menghormati, tidak meninggikan dirinya, atau tidak mau disebut sombong. Tampak di sini pemilihan pronomina kita berkaitan dengan latar belakang budaya.

Dengan pandangan pragmatis, gejala bahasa itu bisa dijelaskan sebagaimana kasus kita, yakni pemilihan -nya disebabkan latar belakang budaya penutur, yang menjaga kesopanan atau tidak ”berani” secara langsung menyapa petutur dengan pronomina kedua.

Dalam ragam tulis, selain sering digunakan kalimat pasif oleh penulis yang merupakan ”pelaku”-nya, temuan sejenis kita sering dijumpai, yakni menyebut diri penulis dengan pronomina jamak, kami, alih-alih saya, yang meneliti atau membuat karya ilmiah tersebut. Padahal, yang menulis atau meneliti hanya seorang.

Gejala bahasa lain yang sejenis adalah pemakaian bentuk -nya, yang digunakan untuk menyapa atau merujuk orang kedua, alih-alih kamu atau anda, misalnya, ”Terima kasih atas perhatiannya” dan ”Apa maksudnya?”.

Sudah hampir menjadi pandangan umum bahwa -nya sebagai bentuk klitik pronomina ketiga diganti dengan kamu atau anda atau bapak/ibu, umpamanya, karena yang disapa atau petutur adalah pronomina persona kedua.

Dengan pandangan pragmatis, gejala bahasa itu bisa dijelaskan sebagaimana kasus kita, yakni pemilihan -nya disebabkan latar belakang budaya penutur, yang menjaga kesopanan atau tidak ”berani” secara langsung menyapa petutur dengan pronomina kedua. Tambahan pula, jika hubungan penutur-petutur kurang akrab atau ada perbedaan tingkat sosial, seperti bawahan-atasan dan murid-guru.

Dari sisi lain, untuk kasus ini, -nya berkembang kemudian menjadi berfungsi penakrifan, bukan merujuk pronomina ketiga lagi.

Meskipun demikian, dalam ragam formal, untuk kasus –nya ini, ada baiknya digunakan pronomina orang kedua atau nomina kekerabatan, misalnya ”Terima kasih atas perhatian Anda/Bapak/Ibu” agar tidak muncul kebiasaan dan jika yang dimaksud penutur adalah yang disapa atau orang kedua.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.