Pinjam Dulu Seratus

Imron Samsuharto (Tempo, 31 Mar 2024)

Belakangan ini ungkapan “pinjam dulu seratus” menjadi populer di media sosial. Ada beragam pemakaian ungkapan itu dalam kalimat ataupun pantun, seperti “biar silaturahmi tidak terputus, pinjam dulu seratus”, “untuk acara spesial, mohonlah pinjam dulu seratus”, dan “untuk isian perut, bolehkah pinjam seratus?” (SerayuNews.com, 20 Oktober 2023).

Bahkan Presiden Jokowi turut ketularan menggunakan ungkapan tersebut. Dalam suatu acara di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 2 November 2023, Presiden berseloroh dengan gaya berpantun: “Ikan lohan ikan gabus / direndam dulu baru direbus / supaya pembangunan maju terus / pinjam dulu seratus.” Presiden kemudian menjelaskan bahwa seratus yang dimaksud bukanlah uang seratus ribu, melainkan seratus pengusaha yang hadir dalam acara tersebut.

Ungkapan itu punya makna beragam. Ia, misalnya, mencerminkan keadaan seseorang yang tak punya uang sehingga membujuk orang-orang dekatnya dengan ungkapan tersebut. Ia juga mengandung makna implisit betapa uang seratus ribu rupiah itu rendah nilainya, hanya cukup untuk membeli seberuk beras dan sebotol air mineral. Makna lainnya, ungkapan itu menjadi sindiran bagi orang yang suka berutang tapi enggan mengembalikan.

Perkara pinjam-meminjam ini membutuhkan si peminjam dan orang yang memberikan pinjaman. Aktor terakhir ini mungkin dapat disebut pepinjam. Konstruksi peminjam-pepinjam beranalogi dengan bentuk penatar-petatar dan penyuruh-pesuruh. Penatar berarti “orang yang menyampaikan atau memberi penataran; orang yang menatar” dan petatar “orang yang diberi atau menerima penataran; orang yang ditatar”. Adapun penyuruh bermakna “orang yang menyuruh” dan pesuruh “orang yang disuruh”.

Terdapat konstruksi aktif-pasif pada penatar-petatar, penyuruh-pesuruh, dan peminjam-pepinjam. Penatar bersifat aktif memberi materi penataran dan petatar pasif menerimanya. Demikian pula penyuruh bersifat aktif menyuruh dan pesuruh menerima suruhan. Namun pada peminjam-pepinjam justru yang aktif adalah peminjam, “orang yang meminta pinjaman”, sedangkan pepinjam pasif sebagai “orang yang dimintai pinjaman”. Hanya, istilah pepinjam tak lazim atau langka dipergunakan dalam komunikasi keseharian.

Kembali pada majas “pinjam dulu seratus”. Pada umumnya ada empat jenis majas, yakni majas perbandingan, majas penegasan, majas pertentangan, dan majas sindiran. Ungkapan “pinjam dulu seratus” termasuk kelompok majas sindiran. Majas ini terbagi dalam majas ironi, majas sarkasme, majas sinisme, majas satire, dan majas innuendo.

Ada beberapa contoh majas ironi yang lazim diajarkan pada sekolah menengah, seperti “ia hadir tepat waktu saat acara sudah berlangsung 30 menit” dan “bau badanmu wangi sekali sampai aku tak tahan di dekatmu”. Adapun majas sinisme adalah “percuma sekolah tinggi-tinggi kalau tak peka lingkungan” dan “buat apa rumah mewah kalau tak pernah dihuni”. Konteks yang menyertainya turut memengaruhi maksud yang dikandung majas tersebut.

Menurut Henry Guntur Tarigan dalam bukunya, Pengajaran Gaya Bahasa (2013), majas adalah cara mengungkapkan pikiran melalui gaya bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian seorang penulis. Artinya, sesuatu yang diungkapkan sebagai majas itu bermula dari paparan seorang penulis melalui goresannya, baik prosa maupun puisi. Namun kini suatu majas tidak mesti berasal dari penulis. Bisa saja ia dari obrolan ringan, lalu direspons banyak orang hingga viral di media sosial. Ungkapan “pinjam dulu seratus”, yang termasuk majas ironi dan sinisme, boleh jadi muncul melalui komunikasi ragam santai tak tertulis.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.