Pelisanan E

Eko Endarmoko (Kompas, 14 Mei 2024)

Hotman Paris, sang pengacara, belum lama membuka usaha baru berupa tempat makan. Bisnisnya ini laris dalam tempo relatif singkat.

Entah apa yang membuatnya memikat dan menarik banyak konsumen di hari-hari pertama pembukaan—gejala yang kita lihat, misalnya, pada salah satu gerai ramennya di daerah Kuningan, Jakarta, sekitar awal Maret lalu.

Lanjutkan membaca “Pelisanan E”

Galau

Eko Endarmoko, (Tempo, 25 Feb 2024)

Kata galau kembali ramai pada musim pemilihan umum baru-baru ini. Coba tengok judul-judul berita belakangan ini, seperti “Penghitungan Suara Pemilu 2024 Masih Berlangsung, Para Caleg Mulai Galau”, “Caleg Galau Suara di Sirekap Naik Turun”, “Curhat Warganet: Galau Pilih Komeng atau Jihan Fahira”.

Kata galau memang sangat populer dalam setidaknya dua dasawarsa terakhir. Kata yang ramai dipakai kaum muda ini mewakili apa yang mereka hayati, pikirkan, dan rasakan yang, entah mengapa, seakan-akan selalu kacau. Perasaan itu akibat beragam hal, seperti cinta yang ditolak, pertengkaran dengan orang tua, atau uang saku yang makin kecil saja.

Lanjutkan membaca “Galau”

Gado-Gado

Eko Endarmoko (Majalah Tempo, 15 Okt 2023)

H.O.S. Tjokroaminoto. Singkatan berupa tiga huruf ini biasa kita lafalkan “hos” dengan huruf o di tengah. Ketiga huruf itu adalah singkatan dari Haji Umar Said.

Saya bertanya-tanya mengapa wakil bunyi u, potongan dari kata Umar, ditulis dengan huruf o? Ada penjelasan yang masuk akal. Penulisan begitu berasal dari Oemar dalam ejaan Van Ophuijsen (1901-1947). Tapi itu masih menyisakan tanda tanya. Kalau begitu, mengapa huruf yang diambil o dan bukan oe. Namun ada soal lain yang lebih mengganggu dalam penulisan nama tadi, yakni inkonsistensi.

Lanjutkan membaca “Gado-Gado”

Pengalaman

Eko Endarmoko (Kompas, 18 Jul 2023)

Ada senarai kata bersinonim yang, meski semua punya acuan sama, tiap kata di dalamnya dapat ditafsir atau dirasa berbeda oleh tiap-tiap orang. Beda penangkapan ini karena ada hubungan emosional antara referen dan pemakainya. Maka penulis bisa jadi sangat subyektif dan terkadang sedikit bimbang saat menetapkan pilihan. Kita ambil satu contoh agak klise, kata meninggal.

Lanjutkan membaca “Pengalaman”

Lisan

Eko Endarmoko (Tempo, 25 Des 2022)

Pada 1980-an, kita dapat menjumpai pemandangan begini: barisan orang yang menunggu giliran di depan gardu telepon umum memanjang di trotoar sebuah jalan. Berkali-kali orang di barisan terdepan mengetuk pintu kaca, mengingatkan, tetapi pengguna di dalam gardu sama sekali tidak mengindahkan. Padahal, entah sudah berapa keping koin tiap sebentar ia masukkan ke boks telepon.

Lanjutkan membaca “Lisan”

Asli

Eko Endarmoko (Tempo, 23 Okt 2022)

Kompleks niaga di dekat rumah saya—pengembang menamainya Marrakash Square—setiap hari, pagi dan sore, menjadi gelanggang tempat warga perumahan sederhana di sekitarnya, termasuk saya tentu saja, mencari keringat. Entah berjalan kaki, joging, entah bersepeda di jalur jalan yang memutar. Sementara itu, alun-alun di tengah biasanya diisi beberapa gerombol manusia. Ada anak-anak bermain bola, remaja berlatih pencak silat atau baris-berbaris, atau ibu-ibu yang bersemangat senam aerobik diiringi suara musik berisik.

Lanjutkan membaca “Asli”

Rumpang

Eko Endarmoko (Tempo, 3 Sep 2022)

Dengan bahasa, manusia berikhtiar menyingkap misteri alam, antara lain dengan memberi nama atau sebutan kepada benda-benda—baik konkret maupun abstrak—juga kepada ide-ide. Usaha itu, terutama di dunia ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi, terus berlangsung sampai hari ini. Namun, kita tahu pasti selalu ada saja yang luput.

Lanjutkan membaca “Rumpang”