Singkatan

Pikiran Rakyat, 12 Feb 2011. Ajip Rosidi: Penulis, sastrawan.

Kegemaran bangsa kita membuat singkatan sudah sampai pada tingkat eksesif. Pada mulanya singkatan hanya dibuat untuk nama-nama lembaga atau orang. Mula-mula singkatanm terdiri atas huruf-huruf pertama nama yang bersangkutan seperti PLN dari Perusahaan Listrik Negara, PBB dari Persatuan Bangsa-Bangsa, TNI dari Tentara Nasional Indonesia, Kementerian P.P. dan K. dari Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Kementerian PU dari Kementerian Pekerjaan Umum, dan lain-lain. Ketika nama-nama itu berubah, singkatannya pun berubah, misalnya Kementerian P.P. dan K menjadi Kementerian P dan K karena kata pengajaran dihilangkan. Namun ketika kata kebudayaan dihilangkan (kemudian dipindahkan digabungkan dengan Kementerian Pariwisata), menjadi Departemen Pendidikan Nasional, singkatannya bukan Departemen PN, melainkan Departemen Diknas, ”dik” dari kata pendidikan dan ”nas” dari kata nasional.

Yang memulai mengambil unsur suatu kata untuk dijadikan singkatan tanpa ketentuan unsur yang mana dari kata itu adalah kalangan ABRI. ABRI adalah nama baru TNI (belakangan dikembalikan jadi TNI lagi), singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Singkatan ABRI masih berpegang kepada kebiasaan mengambil huruf pertama dari setiap kata. Di lingkungan ABRI, diproduksi singkatan-singkatan yang mengambil unsur suatu kata tanpa ketentuan bagian yang mana, sehingga lahir singkatan-singkatan seperti Intad (Intendans Angkatan Darat), Inminad (Induk Administrasi Angkatan Darat), Apstra (Apresiasi Strategis), Artlap (Artileri Lapangan), Artad (Artileri Angkatan Darat), Kakesal (Kepala Kesehatan Angkatan Laut), Kamahmil (Kepala Mahkamah Militer), Kanitserseintel Polsekta (Kepala Unit Reserse dan Intelijen Kepolisian Sektor Kota), Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha), Kopassus (Komando Pasukan Khusus), dan lain-lain.

Cara membuat singkatan dengan hanya mengambil salah satu unsur kata demikian diikuti oleh lembaga-lembaga lain seperti Departemen P dan K ketika Brigjen Tituler Prof. Dr. Nugroho Notosusanto menjadi rektornya. Nama kementeriannya disingkat menjadi Departemen Dikbud (bukan lagi Departemen P dan K), dan lembaga-lembaga di lingkungannya diberi singkatan seperti itu juga, misalnya Ditjen Perti (Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi), Ditjora (Direktorat Jenderal Olah Raga), Ditjen Udaka (Direktorat Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka), Sisdiknas (Sistim Pendidikan Nasional), Penprasarlub (Pendidikan Prasekolah dan Sekolah Dasar Luar Biasa), dan lain-lain.

Tentu saja singkatan demikian dilakukan juga di lingkungan departemen dan lembaga lainnya sehingga ada Ditlantas (Dinas Lalu Lintas), Damkar (Pemadam Kebakaran), Ekubang (Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan), Ekuin (Ekonomi, Keuangan, dan Industri), Kelompencaper (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan), Kessbaneg (Kesatuan Serikat-serikat Sekerja Bank-bank Negara), Rakernas (Rapat Kerja Nasional), dan lain-lain.

Kebiasaan atau kegemaran membuat singkatan seenaknya dengan mengambil unsur-unsur kata seenaknya itu kemudian diikuti oleh para wartawan dan dimuat dalam surat kabar, majalah, atau siaran televisi tempatnya bekerja. Karena sering munculnya singkatan baru itu tanpa keterangan sama sekali, untuk beberapa lama hal itu menimbulkan kebingungan pembaca. Baru setelah sering muncul, bisa dikira-kira apa artinya. Misalnya ketum (ketua umum), kultum (kuliah tujuh menit), curanmor (pencurian kendaraan bermotor), Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah), Baleg (Badan Legislatif), orwil (organisasi wilayah), dan lain-lain. Kegemaran membuat singkatan demikian masih terus berlangsung. Ada singkatan yang kemudian menjadi populer, tetapi ada juga yang setelah muncul beberapa lama kemudian menghilang. Kamus akronim yang sudah terbit tidak dapat mengikuti penciptaan singkatan yang terus bertambah.

Sementara itu, dalam masyarakat tumbuh juga kegemaran menafsirkan singkatan secara menyeleweng, artinya berlainan dengan arti singkatan yang sebenarnya. Mungkin karena kenyataan di lapangan tidaklah menggambarkan arti singkatan itu yang sebenarnya. Misalnya singkatan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) diartikan kasih uang habis perkara; singkatan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) diartikan kasih uang hilang arsip perkara; singkatan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) diartikan siluman datang sampailah bencana; singkatan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung sekarang menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) diselewengkan menjadi universitas padahal IKIP); dan lain-lain.

Kegemaran membuat arti yang menyeleweng dari arti yang benar menunjukkan bukan saja bahwa rakyat Indonesia gemar bergurau, melainkan juga menunjukkan bahwa mereka mempunyai pandangan yang kritis, atau daya pandang yang kritis itu dilahirkan dengan cara bergurau.

9 tanggapan untuk “Singkatan

  1. Betul, saya baru saja mengalami problem ini ketika harus menerjemahkan sebuah buklet metode pengamanan konser dari pihak kepolisian. Di dalamnya, banyak sekali singkatan-singkatan yang hanya dimengerti oleh kalangan terbatas, dan orang umum seperti saya tentu tidak dapat memahaminya. Saat mempelajari hal tersebut, saya seperti merasa bahwa mereka sesuka hati saja menyingkat sesuatu supaya terkesan “enak didengar.”

    Sungguh merepotkan.

  2. Saya ingin memberikan definisi kata “eksesif” pada kalimat pertama, barangkali ada di antara pembaca blog ini yang belum paham: berkenaan dng keadaan yg melampaui kebiasaan (ketentuan dsb), dipandang dr sudut tertentu. Jadi, “keadaan yang melampaui batas” di sini berupa “kegemaran membuat singkatan/akronim dan mengartikannya secara salah”; sedangkan “dari sudut tertentu” maksudnya “dari kaidah pembentukannya sesuai dengan Pedoman Pembentukan Istilah”.

    Selebihnya, artikel ini sungguh menambah wawasan kita, terutama perihal karut-marutnya penerapan kependekan atau ringkasan suatu frasa oleh masyarakat Indonesia. Semoga, dengan penjelasan di atas mayoritas kita mau berbenah diri, agar penghormatan terhadap bahasa nasional kian kuat dan mengakar dengan hunjaman yang mendalam. Amin.

  3. Iya ya sepertinya sih pemberi singkatan itu tergambar mengikuti perkembangan jaman dan kelihatan intelek padahal itu merepotkan. Pandangan sebagian orang : itu timbul dari sikap kritis dan kreatif dari pengguna bahasa prokem atau apalah sebutannya dan sebagian lain itu langkah pembodohan yang justru menumpulkan pemikiran untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. wallahu’alam

  4. Saya mengamati penamaan jalan2 tol bebas hambatan di Indonesia.
    Jakarta-Bogor-Ciawi disingkat menjadi Jagorawi. Bagaimana kalau jalan tol ini diteruskan ke Bandung, apakah namanya akan menjadi Jagorawicubasuci, karena melewati kota2 Cicurug, Cibadak, Sukabumi, dan Cianjur? Bagaimana kalau nanti ada jalan tol bebas hambatan Jakarta-Surabaya, akankah nama jalan tsb. menjadi sangat panjang, sulit ditulis dan sulit diingat?

    Kalau di Amerika atau di Eropa, jalan2 bebas hambatan dinamai dengan huruf dan nomor, atau nomor saja, seperti A-9, atau I-25, atau 305 misalnya.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.