Nostalgia ‘Ratu Dunia’

Majalah Tempo, 9 Jan 2012. Bandung Mawardi, Esais dan Penyair.

Selisik sejarah bahasa sering melahirkan pertanyaan. Sejarah memang rimbun misteri. Saya mengurusi misteri ini dengan keinginan wajar: mengerti dan memiliki. Saya ingin mengerti sejarah agar tidak menanggung misteri sepanjang hidup. Saya ingin memiliki sejarah sebagai pengalaman untuk merawat takjub.

Saya membuka kembali koleksi buku-buku lawas di kardus-kardus kumal. Mata ini memandang buku berjudul Falsafah Ratu Dunia (1949) garapan Adi Negoro. Buku setebal 160 halaman ini menguraikan banyak hal. Adi Negoro menjelaskan melalui anak judul: “Uraian tentang pokok-pangkal kekuasaannja jaitu anggapan umum dan dari hal tiang-tengah keradjaannja jakni demokrasi serta alat-alat pemerentahannja seperti kepandaian mengarang dan berpidato, achirnja tudjuan negaranja jakni kebudajaan jang asli dan pembelaan harta-warga jang tak ternilai atau hak azazi manusia merdeka dalam negara jang merdeka dan berdaulat.” Kalimat panjang ini menggoda pembaca untuk menikmati halaman demi halaman sampai khatam.

Penggunaan istilah “ratu dunia” cukup menggelitik nalar-imajinasi mutakhir. Istilah ini mungkin sudah kabur dari kosakata bahasa kita. Saya sendiri curiga karena istilah ini asing dan jarang muncul dalam tulisan, percakapan, pidato, berita, atau buku pelajaran. Adi Negoro menjelaskan bahwa “ratu dunia” adalah anggapan umum. Penjelasan ini diajukan agar ada koreksi atas pemahaman publik bahwa “ratu dunia” adalah pers. Adi Negoro pun mengingatkan: “Biasanja jang sebenarnja ratu dunia jaitu dahulu disebut orang pers, akan tetapi kalau diperhatikan sedjarah jang ratu dunia ialah anggapan umum…”. Pers adalah alat terpenting dari anggapan umum. Adi Negoro menjelaskan makna “ratu dunia” dengan mengesankan, kendati mengundang pertanyaan tentang makna istilah itu di Indonesia pada awal abad XX.

Saya mencoba membuka buku Adi Negoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia (1987) garapan Soebagijo I.N. Buku ini ternyata tidak membahas peran Adi Negoro dalam perkara istilah “ratu dunia”. Sejarah istilah ini masih misteri. Saya cukup lega saat menemukan dan membaca buku Melawat ke Barat (1930) garapan Adi Negoro. Buku ini memuat pengalaman-pengalaman Adi Negoro selama pergi ke Eropa. Istilah “ratu dunia” muncul dalam sebuah kalimat sederhana: “Bagi saja seorang penoelis, inginlah saja hendak menjelidiki keadaan pers alias ‘ratoe doenia’ di Paris.” Kalimat ini membuktikan bahwa Adi Negoro mengartikan “ratu dunia” sebagai pers. Penjelasan ini berbeda dengan uraian di buku Falsafah Ratu Dunia (1949). Perbedaan arti membuktikan kemauan Adi Negoro mengartikan suatu istilah sesuai dengan fakta-fakta perubahan zaman.

Saya belum merasa lega atas penjelasan Adi Negoro. Istilah “ratu dunia” masih mengandung misteri. Gairah menguak sejarah istilah mengantarkan mata ini membaca buku Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pendidikan (1962). Buku ini memuat gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara dalam sekian tulisan di koran dan majalah. Penjelasan tentang “ratu dunia” dalam artikel berjudul Pengadjaran Kepandaian dalam Taman Siswa. Artikel ini pernah dimuat di majalah Pusara (Nomor 8, November 1953).

Ki Hadjar Dewantara mengingat ulang tentang penggunaan istilah ratu dunia” di kalangan wartawan pada 1910-an. Wartawan dan masyarakat menganggap pers adalah “ratu dunia”, “ratu adil”, atau “sumber kemadjuan hidup manusia”. Ki Hadjar Dewantara, sebagai wartawan, mengusulkan perubahan julukan untuk pers karena istilah “ratu dunia” atau “ratu adil” kentara meniru nalar-imajinasi Eropa.

Ki Hadjar Dewantara menjelaskan: “Perkataan ‘ratu’ mengandung pengertian konservatif dan feodal dan sangat berdjauhan dengan djiwa jang bebas dan demokratis.” Sosok legendaris itu mengusulkan kalangan wartawan dan publik memberi julukan untuk pers adalah “sinar matahari”. Julukan ini terasa puitis-politis pada saat pergerakan politik mulai merebak di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara menganggap julukan itu “luhur dan indah”. “Sinar matahari” berarti terangnya suasana dan musnahnya kegelapan. Usul itu memang pernah ada, tapi kalah pamor dibanding istilah “ratu dunia”.

Buku-buku lawas itu seakan mengajak kita melakukan nostalgia. Istilah “ratu dunia” perlahan singgah sebagai jejak sejarah pers dalam arus modernitas. Nostalgia “ratu dunia” belum usai karena detik-detik kepunahan istilah itu di dunia pers belum diketahui. Penggunaan istilah “ratu dunia” merepresentasikan relasi bahasa, pers, politik, dan modernitas. Istilah “ratu dunia” tentu jadi urusan bahasa tapi alpa untuk diperkarakan saat pers mulai bergerak cepat dan bersebaran dengan bahasa-bahasa baru.

Saya merasa mulai mengerti dan memiliki sejarah (bahasa) dari kebiasaan membaca buku-buku yang lahir di masa lalu. Barangkali cara ini naif untuk gairah menguak nostalgia “ratu dunia”.

Sejarah bahasa ada di buku-buku karya para tokoh Indonesia itu, tapi sering terlewatkan oleh ketergesaan kita menikmati hidup di dunia mutakhir.

Sumber gambar: Badan Bahasa

2 tanggapan untuk “Nostalgia ‘Ratu Dunia’

  1. Pengetahuan saya yang amat minim tentang sejarah tokoh-tokoh sastra Indonesia menjadikan komentar ini begitu biasa. Bagaimanapun, menurut saya istilah suatu konsep memang subjektif sifatnya namun tidak melulu dapat dikatakan tidak logis. Jelasnya terlihat pada kutipan berikut:

    (Ki Hadjar Dewantara menjelaskan: “Perkataan ‘ratu’ mengandung pengertian konservatif dan feodal dan sangat berdjauhan dengan djiwa jang bebas dan demokratis.” Sosok legendaris itu mengusulkan kalangan wartawan dan publik memberi julukan untuk pers adalah “sinar matahari”. Julukan ini terasa puitis-politis pada saat pergerakan politik mulai merebak di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara menganggap julukan itu “luhur dan indah”. “Sinar matahari” berarti terangnya suasana dan musnahnya kegelapan. Usul itu memang pernah ada, tapi kalah pamor dibanding istilah “ratu dunia”.)

    Menurut bapak pendidikan negeri ini, kata “ratu” identik dengan feodalisme sehingga istilah “sinar matahari” dianggapnya lebih mumpuni bagi dunia pers saat itu. Dan kembali kepada ciri otentis bahasa, yang mana suka–arbitrer–maka masyarakatlah yang menjadi penentu mana istilah yang disenangi. Pamor sebuah istilah bergantung pada peran media massa juga, dan yang pasti pemopulerannya oleh kalangan tokoh-tokoh politik maupun budayawan-budayawan lokal.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.