Kata-Kata Lawas

Saharul Hariyono (Kompas, 26 Mar 2024)

Dahulu kalamdan untuk menyimpan pulpen, pensil, dan sebagainya, kini disimpan di kotak pulpen/kotak pensil. Dahulu kita mencukur menggunakan kerampagi, kini dengan pisau cukur. Kenyataan seperti ini didasari oleh frekuensi penggunaan (kepopuleran) kata sangat bergantung pada perkembangan cita rasa pemakainya.

Alasan lain dapat dicurigai mengacu kepada nama benda yang tidak dipergunakan lagi di zaman sekarang ini, atau bisa pula ada istilah lain yang lebih afdal dan akurat. Kata tustel untuk membuat gambar atau memotret telah diganti dengan kamera. Selain itu, tustel (singkatan tusuk telinga) dikenal juga sebagai alat pembersih kuping, tapi pada saat ini lazim menggunakan korek kuping.

Bagaimana dengan kata yais? Barangkali generasi kolonial, X, dan Y, pernah mendengar atau tahu kata ini, sementara generasi Z dan anak-anak milenium barang tentu asing di telinga mereka. Yais dalam kamus susunan Poerwadarminta bermakna tentang batas perempuan yang mulai tidak melihat bulan lagi atau sekarang ini dipahami sebagai akhir masa produktif. Kata yais sebangun dengan klikmaterium dan menopause.

Kata-kata yang masuk kategori lawas (dalam perihal ini asing di telinga) mengacu pada kata benda seperti sewal kini sial, guli kini kelereng, duplo kini rangkap dua, persekot kini uang muka atau panjar, karcis kini tiket, dan kutang kini beha.

Saya tertarik dengan kata-kata yang menunjukkan jenis pekerjaan. Kata kerjantara, misalnya, tentang organisasi yang mencocokkan majikan kepada karyawan, sekarang dikenal dengan agen tenaga kerja. Kata tersebut lebih sederhana daripada yang sekarang dengan bentuk frasa benda.

Menghidupkan kembali kata lama yang dirasa cukup baik dan enak didengar adalah hal yang niscaya. Langkah tersebut bukan hanya bermanfaat bagi usaha pemekaran kata yang telah lama kuncup, juga menguntungkan untuk masyarakat Indonesia yang tidak ingin menggunakan kata berbelit-belit.

Contoh lain, jauhari kini tukang atau pedagang intan; acawi kini tukang kayu. Dua kata ini masih layak digunakan sebab lebih pendek penyebutannya. Pemerian kata tukang dalam sebuah penyebutan pekerjaan, menurut hemat saya, terasa lewah dan sampai sekarang ini kita belum memiliki padanan baru lagi untuk kedua kata ini.

Kita tidak mungkin menyebut pekerjaan-pekerjaan tersebut dengan peintan dan pekayu. Beda halnya dengan darji kini penjahit dan serimala kini pemahat, keempat kata itu sama-sama enak dipergunakan. Jadi, pemakai bahasa boleh arbitrer.

Sesekali, ketika menulis artikel populer atau opini, saya mempergunakan kata yojana. Kata ini pula sudah lawas yang berarti ’sejauh mata memandang’. Ketika saya akan menginterpretasikan sebuah pandangan yang tak terbatas, alih-alih menggunakan sejauh mata memandang, lebih baik menggunakan yojana agar menghemat ketentuan kata atau karakter yang dipersyaratkan redaksi.

Selain yojana, ada saujana untuk padanan kata ini. Sayangnya, kata itu belum masuk entri Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Ditemukan pula sebelum kita mengenal pasca- yang bermakna ’sesudah’ atau ’setelah’, ada kata bakda bermakna sama. Kata ini tampak asing, sesekali saya hanya mendengarnya ketika remaja masjid menyampaikan sebuah informasi dari pengeras suara.

Kata ini diserap dari bahasa Arab, ba’da. Oleh karena itu, bakda kerap didengar dan dipergunakan pada kegiatan keagamaan, sementara di publik akrab dengan pasca-.

Zaman selalu berubah, bahasa pun ikut berubah. Bisa jadi kata-kata yang sedang masif kita gunakan saat ini untuk mengganti kata-kata lawas akan dilupakan manakala ada pilihan lain yang lebih cergas. Oleh karena itu, tidak ada yang salah atau dipersalahkan atas kata-kata yang dipilih karena sejatinya bahasa di muka bumi ini bersifat dinamis.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.