Bahasa ‘Alay’

Lampung Post, 21 Apr 2010. Ratih Rahayu: Staf pembinaan Kantor Bahasa Provinsi Lampung.

Bahasa alay yang saya maksud di rubrik ini bukanlah bahasa yang dipergunakan konglomerat bermasalah asal Lampung. Memang, nama Alay yang selama ini kita kenal adalah Bos Tripanca grup, yaitu Sugiharto Wiharja, yang menjadi tersangka pelarian dana nasabah Bank Perkreditan Rakyat Tripanca senilai Rp4 triliun. Lalu, apakah bahasa alay itu?

Sebelum berbicara tentang apa dan bagaimana bahasa alay itu, saya akan bercerita tentang awal perkenalan saya dengan bahasa tersebut. Beberapa bulan yang lalu, saya mendapat pesan singkat dari keponakan yang membuat kening saya berkerut. Begini tulisan pesan singkat tersebut: “M3tdd ult4h ych, mg4 t4nt3 pnjg6 umrd, s3H4tt c4lu, mgg4 t4mbH rzkY, tmb4H cu4K3pZ N cuXz33Z.”

Wajar bukan, bila kening saya berkerut? Saya yakin pembaca setia rubrik Laras Bahasa pun akan mengalami kesulitan yang sama untuk menangkap maksud pesan pendek itu. Kalau dibaca sekilas, kita tidak dapat memahami apa maksud tulisan itu. Namun, setelah saya cermati, pesan pendek itu lebih kurang berarti “Selamat ultah (ulang tahun) yah, semoga Tante panjang umur, sehat selalu, semoga bertambah rezeki, tambah cakep dan sukses”.

Saat membalas pesan pendek tersebut, saya ucapkan terima kasih sekaligus bertanya apa nama jenis tulisan itu? Keponakan saya menjawab, “Tante nggak gaul, itu kan bahasa alay”. Karena penasaran dengan apa itu bahasa alay, akhirnya saya berselancar di dunia maya. Ternyata saya memang ketinggalan zaman. Banyak sekali blog-blog yang bercerita tentang alay dan ke-alay-an.

Hasil penelusuran saya di dunia maya menyebutkan bahwa alay adalah singkatan dari anak layangan, anak lebay, anak layu, atau anak kelayapan yang menghubungkannya dengan anak yang jarang pulang (jarpul). Namun, yang paling pas, menurut saya, adalah anak layangan. Istilah ini dianggap pas karena memiliki latar belakang yang unik untuk menggambarkan anak yang sok keren dalam hal berbusana, berkarya (musik), maupun bertingkah laku secara umum. Konon, awalnya alay diartikan “anak kampung” yang bergaya “sok kota”. Anak kampung dalam konsep alay adalah yang rata-rata berambut merah dan berkulit sawo gelap akibat terlalu banyak terkena sinar matahari karena sering bermain layangan.

Dari sekian banyak informasi yang didapat, saya simpulkan bahwa bahasa alay adalah bahasa remaja yang mencampuradukkan huruf, angka, dan simbol-simbol. Kata-kata dalam bahasa alay tidak mempunyai standar yang pasti, bergantung selera atau teknik si pembuat kata. Walaupun berbeda atau tidak ada standar penulisan yang pasti, remaja yang sering menggunakan bahasa tersebut dapat cepat mengerti apa yang ditulis lawan komunikasinya.

Contoh kosakata bahasa alay adalah berikut ini. Saya/gue: W, Wa, Q, Qu, G; kamu: U, lo; rumah: Humz, Hozz; saja: Aja , Ja, Ajj; yang: Iank/Iang, Eank/Eang, iiank/iiang; boleh: Leh; ya: Iya, Yupz, Ia, Iupz; kok: KoQ, KuQ, Kog, Kug; belum: Lom, Lum; manis: Maniezt, Manies; kurang: Krang, Krank, Crank; tahu: Taw, Tawh, Tw; tempat: T4; sempat: S4; ini: Iniyh, Nc; tidak/nggak: Gga, Gax, Gag, Gz; lagi: Ghiy, Ghiey, Gi; apa: Pa, PPa; karena/soalnya: Coz, Cz; masuk: Suk, Mzuk, Mzug, Mzugg.

Saat ini yang menjadi pertanyaan banyak pihak adalah apakah bahasa alay akan merusak bahasa Indonesia? Menurut saya, penggunaan bahasa ini tidak akan merusak bahasa Indonesia karena penggunaan bahasa ini dipastikan akan melihat situsinya. Jika remaja pengguna bahasa alay sudah masuk ke dalam situasi resmi, bahasa Indonesia yang baik dan benarlah yang akan dipakai. Kita juga tentu tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dalam setiap situasi.

Sesungguhnya kemunculan bahasa alay itu tidak dapat dipersalahkan. Yang dapat dipersalahkan adalah pemakainya. Kenapa pemakainya? Pak Agus Sri Danardana, kepala Balai Bahasa Pakanbaru, pernah mengatakan bahwa berbahasa itu dapat dianalogikan seperti orang berpakaian. Dalam berpakaian, kita sudah terbiasa untuk mengenakan baju batik untuk pergi ke tempat resepsi atau pergi ke kantor di hari Jumat. Mengenakan baju batik untuk mencangkul di sawah adalah suatu bentuk keanehan. Jadi, pengguna bahasa alay harus melihat konteksnya, yaitu dalam situasi nonformal dan dengan rekan sebaya tentu sah-sah saja dan tidak akan merusak bahasa Indonesia. Namun, apabila bahasa alay dipergunakan dalam sebuah tugas-tugas sekolah, makalah atau penelitian ilmiah tentu tidaklah tepat.

2 tanggapan untuk “Bahasa ‘Alay’

  1. Sekedar info… berbeda dengan bahasa-bahasa informal lainnya, bahasa alay itu berakar pada budaya pemakai komputer/internet, khususnya sub kultur budaya bawah tanah para peretas di belahan dunia barat…

    Karena dunianya “bawah tanah” privasi itu isu besar. Fenomena mengganti huruf yang mirip angka / simbol jadi simbol atau angka itu untuk mengenkripsi kata-kata sehingga yang diluar “golongan” jadi tidak paham.

    Ketika sms ramai digunakan, budaya ini membaur dengan keterbatasan karakter yang bisa diketik/ditampilkan… muncullah kreatifitas menyingkat kata.

  2. Entah sudah berapa kali saya baca tema serupa di blog ini, dan salah satu artikel terkait dari blog tetangga yang menurut saya patut dibaca adalah: http://lidahibu.com/2010/07/30/aq-4l4y-qm-maw-ap4h/. Bisa dikatakan artikel tersebut menggabungkan berbagai sumber yang ada, jadi tidak ada salahnya kita baca juga, sebagai tambahan wawasan.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.