Bahasa Yatim Piatu

Majalah Tempo, 6 Juni 2011. Agus R. Sarjono, Sastrawan, Pemimpin Redaksi Jurnal Kritik

Saat menerjemahkan karya-karya Georg Trakl, penyair superkelam dalam khazanah perpuisian Jerman, Berthold Damshäuser dan saya kerap bersitegang. Pasalnya adalah memilih kata dan ungkapan Indonesia yang tepat bagi keindahan, kegilaan, dan kekelaman Trakl. Jika dua orang muslim bersitegang tentang sesuatu, keduanya dianjurkan untuk kembali ke sumber: Quran dan Hadis. Kami tidak kembali ke Quran dan Hadis. Tentu bukan karena saya muslim dan Berthold penganut Katolik, melainkan karena yang kami perdebatkan adalah kata dalam bahasa Indonesia. Jadi, kami berdua pun kembali ke sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hasilnya? Perdebatan terus berlanjut. Kamus tak bisa menghasilkan kata putus.

Sejumlah kata saat mengikuti pengertian kamus menjadi ganjil dan tidak jelas. Rupanya, keganjilan berbahasa Indonesia pada sejumlah orang asing ternyata akibat kesetiaan mereka pada KBBI. Damshäuser, yang fasih berbahasa Indonesia, menyadari dan merasakan keganjilan itu, tapi tidak berani berbuat apa-apa karena takut menyalahi kamus. Bayangkan mereka yang tidak fasih berbahasa Indonesia dan sama sekali tidak merasakan keganjilan mereka.

Kita tahu bahwa KBBI sangatlah tipis. Ketipisan kamus bahasa Indonesia menunjukkan miskinnya kosakata dalam bahasa Indonesia. Celakanya, kamus yang tipis dan miskin itu labil pula. Kamus yang tipis mungkin masih bisa dimaafkan.

Namun kamus yang labil hampir tak termaafkan dan membuat frustrasi mereka yang ingin menguasai bahasa Indonesia.

Kamus adalah sumber. Ia diharap menjadi dermaga kukuh bagi kapal bahasa. Atau (bagi mereka yang nenek moyangnya bukan pelaut melainkan penerbang), landasan yang kukuh bagi pesawat bahasa. Rupanya ada kecenderungan dalam perkamusan bahasa Indonesia untuk justru mengotak-atik isi kamus, bukannya memantapkan dan memperkaya yang ada.

Sebagian besar kosakata Indonesia, baik ejaan maupun bentukan katanya, banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta, Arab, dan Belanda. Kini ada kecenderungan untuk mempermaknya sesuai dengan kaidah bahasa Inggris. Maka, perubahan demi perubahan pun dilakukan dalam rangka “menginggriskan” bahasa Indonesia. Tidak jarang suatu kata diperbaharui dan diganti cara penulisannya, atau bahkan maknanya.

Kata bergeming, misalnya, pernah dimaknai sebagai bergeser sedikit. Dalam kalimat “Meski mendapat bujukan suap dan berbagai ancaman, dia tetap tidak bergeming”, kata tidak bergeming bermakna tidak bergeser sedikit pun. Kini, kata bergeming diberi makna yang justru sebaliknya. Maka, kalimat di atas sekarang ditulis: “Meski mendapat bujukan suap dan berbagai ancaman, dia tetap bergeming”. Tidak begitu jelas, apakah ber- di sana merupakan imbuhan bagi “geming” atau kesatuan kata dengan “geming” sehingga menjadi kata utuh “bergeming”.

Dalam KBBI, penjelasannya adalah:

ge·ming Jk, ber·ge·ming = tidak bergerak sedikit juga; diam saja; ter·ge·ming = terdiam

Kata geming nyata tidak ada penjelasannya, yang ada artinya hanya bergeming. Namun, kata tergeming = terdiam ada di sana. Kita menduga geming = diam. Jika demikian, apakah bergeming = berdiam?

Ini salah satu contoh saja. Akan banyak kita dapati kata yang maknanya berbeda dengan yang selama ini dikenal serta digunakan masyarakat. Kata dukana, misalnya, bagi sebagian masyarakat bermakna kata sifat dari kata duka. Dalam KBBI dukana diartikan:

du·ka·na n kuat syahwat; nafsu berahi: menyimpan wanita untuk pemuas nafsu — termasuk dosa besar

Hal ini masih ditambah dengan kegesitan dan kegemaran mengotak-atik bentukan kata. Kekasih yang dulu mempesona sekarang sudah jadi memesona. Lantunan lagu Broery “berhembus angin malam” akan menjadi berembus. Semua pematang sawah dan ornamen rumah diatur ulang, dipercanggih, dibuat rapi-jali, dalam kemeriahan nan sibuk dan padat karya seperti ditengarai Geertz dalam buku penelitiannya, Involusi Pertanian. Lahan yang sempit dan penduduk yang padat menghasilkan involusi, pencanggihan internal tanpa pertumbuhan dan penyejahteraan. Seorang redaktur media atau editor buku tidak bisa tenteram karena selalu ada perubahan (dan bukan penambahan, pengayaan, pendalaman) dalam KBBI.

Dalam kondisi ini, seorang penutur asing posisinya yatim piatu. Seorang penerjemah yang dengan sungguh-sungguh menjadikan KBBI sebagai pegangan akan menghasilkan teks terjemahan yang ganjil, menjauh dari teks yang ia terjemahkan.

Seseorang, sekali menguasai bahasa Inggris, Jerman, atau Perancis (di kamus dulu)/Prancis (di kamus sekarang) dapat relatif tenang karena jika ada kesulitan bisa membuka kamus. Mereka yang belajar bahasa Indonesia tak bisa tenang, karena semua yang dikenalinya bisa saja tiba-tiba bergeser, bahkan berseberangan, persis seperti dunia perpolitikan Indonesia.

Mungkin Lao Tse benar, untuk memperbaiki suatu masyarakat, perbaikilah bahasanya.

4 tanggapan untuk “Bahasa Yatim Piatu

  1. Kang Agus, saya sepakat dengan Lao Tse. Jadi yg harus segera dibenahi adalah bahasa kita, bahasa Indonesia, yang ada akhirnya akan berujung pada keajegan berbahasa dan semoga pula diikuti kemapanan berbagai aspek dalam kehidupan berbangsa,

  2. Bahasa menunjukkan bangsa.
    Selama bangsa kita masih kacau, tidak mungkin kita memperbaiki bahasa kita.
    RW

  3. Kemantapan berbahasa meski kita bantu benahi. Karena, jika hanya mengandalkan pusat bahasa, sedangkan lembaga ini notabene hanya simbol bagi sebagian pengguna bahasa Indonesia, sepertinya bakal jauh dari harapan bahwa kita dapat tenang seperti halnya para penutur bahasa Inggris, Prancis, juga Arab.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.