Bahasa dan Perempuan

Lampung Post, 20 Jul 2011. Diah Meutia Harum, Pencinta Bahasa

Sebuah masyarakat dikonstruksikan oleh budayanya. Dalam hal ini, bahasa sebagai faktor penting yang berperan dalam kebudayaan terbentuk oleh budaya darimana masyarakat tersebut berasal. Indonesia dengan berbagai suku dan budaya memang kental dengan budaya patriarki. Masyarakat yang terhegemoni baik dengan tatanan maskulin maupun feminin tentu saja berperan penuh dalam pembentukan bahasa.

Luce Irigaray, seorang linguis dan feminis asal Prancis, menguraikan bagaimana pengaruh bahasa terhadap subjektivitas, terutama subjektivitas perempuan, sekaligus menegaskan bahasa harus berubah agar subjektivitas perempuan dapat dikenali di ranah budaya. Luce Irigaray secara khusus menyoroti pembedaan gender dalam bahasa Prancis yang memang menandai bahasanya secara spesifik dengan identitas laki-laki dan perempuan. Bagaimana dengan bahasa Indonesia?

Saya tak ingin membuat kening Anda berkerut ketika membaca kolom ini. Barangkali saya membawakan isu ini sebagai sebuah obrolan ringan yang mungkin saja kita sebagai pengguna bahasa tak begitu menyadari muatan apakah yang selama ini terlontar dari mulut kita, namun sesungguhnya patut untuk kita renungkan. Anda, sebagai pengguna bahasa Indonesia, pernahkah selama ini mengamati bahasa yang Anda gunakan sehari-hari?

Perempuan adalah salah satu identitas diri. Bahasa yang terutama menyangkut dengan identitas dan peran perempuan akan tampak dalam penggunaannya dalam masyarakat dengan tatanan maskulin.

Sekadar contoh, lema lacur dalam KBBI memiliki arti

1 malang; celaka; sial; 2 buruk laku.

Akan tetapi, alangkah mengejutkan bahwa kata pelacur memiliki makna sebagai

perempuan yang melacur; wanita tunasusila; sundal.

Di sini terlihat bagaimana lema lacur yang memiliki makna yang sebenarnya netral dan objektif mengalami penyempitan makna menjadi pelacur yang spesifik tertuju pada perempuan. Belum lagi idiom-idiom yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, sebutan wanita yang dulu dipandang lebih berharkat dan bermartabat dibandingkan dengan sebutan perempuan yang dianggap melecehkan. Padahal, konon katanya kata wanita berarti wani ditata sedangkan perempuan berarti empu yang berarti memiliki dirinya sendiri.

Diskriminasi juga tampak dalam hal profesi, selalu saja dalam berbagai profesi yang selama ini diasumsikan sebagai profesi yang khas milik kaum laki-laki akan selalu disertai dengan akhiran wanita. Misalnya, pilot wanita, astronaut wanita, pembalap wanita, petinju wanita, kernet wanita, dan lain-lain. Padahal kita tak pernah mendengar kata penari laki-laki, koki laki-laki, perawat laki-laki, atau apa pun itu yang berkaitan dengan profesi khas wanita.

Sungguh saya tak ingin menyampaikan ide yang bisa membuat kontroversi di sini karena dalam beberapa hal, penggunaan istilah yang menyangkut perempuan juga terkait dengan makna yang mulia, misalnya, ibu pertiwi, ibu kota, ibu jari, dan lain-lain.

Terakhir, kalau boleh, saya ingin menyampaikan sesuatu yang ringan kepada Anda pembaca. Dalam dunia perhantuan, kita mengenal berbagai jenis hantu. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa hantu dinamai berdasarkan jenis kelamin? Ada hantu laki-laki, hantu perempuan, dan hantu dengan jenis kelamin yang kurang jelas, yaitu pocong.

Hantu laki-laki sejauh yang bisa saya temukan adalah jin, tuyul, dan genderuwo, sedangkan hantu perempuan memiliki nama yang bermacam-macam, misalnya, kuntilanak, puntianak, wewe gombel, sundel bolong, peri, dan apalah nama-nama hantu lain yang saya sendiri merinding untuk menyebutnya.

Dahsyatnya lagi, konon hantu dengan jenis kelamin perempuan ini efeknya lebih menakutkan dilihat dari penampilan dan suaranya dibandingkan dengan hantu laki-laki. Bisa jadi, dalam hal ini mereka lebih beruntung daripada rekan perempuan mereka di dunia manusia.

Sumber gambar: Wikimedia Commons

3 tanggapan untuk “Bahasa dan Perempuan

  1. Ini artikel tentang bahasa, baru alinea pertama aja udah terasa kacaunya, di segi bahasa maupun konstruksi paragrafnya. Hm… ironis. Eh, lolos pula! Apa kabar redakturnya? :) Pusing bacanya. Jadi, stop di alenai pertama aja. Sori ya, Bu penulis.

    Dalam satu alinea, lapisan makna yg berbeda2 ditumpuk begitu aja. Alhasil, bukan mengalir linier, malah kayak barang2 yg ga jelas ditumpuk begitu aja, kagak pake aturan logika paragraf. Belum lagi soal diksi yang kacau kelas katanya. Hm…

    Kritik selugas ini perlu disampaikan sebab ini, katanya, ARTIKEL BAHASA, bukan? Beda kalau ini dimaksudkan sebagai artikel tentang masalah lain selain bahasa. Tabek!

  2. Sori, maksud saya “di segi bahasa maupun konstruksi paragrafnya” itu maksudnya mau nulis “di segi makna (semantik) maupun konstruksi paragrafnya.” Gitu loooohh.. Sori ya friends semuanya!!!

  3. Entah kenapa saya merasakan uraian gagasan yang loncat-loncat, mulai dari pembuka paragraf yang berusaha mengaitkan antara bahasa dan (gender) perempuan, sampai pengungkapan contoh mistis soal hantu-hantu yang karakter mereka dikembalikan ke jenis kelamin masing-masing. Namun, bisa jadi apa yang disampaikan ibu ini benar, hanya saya yang kurang baca sehingga merasakan keganjilan ini.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.