Bergeming

KOMPAS, 25 Jul 2011. Jajang C Noer, Jalan H Saidi Guru, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Beberapa waktu lalu ada tulisan di Kompas ”Panji Koming Bergeming”. Setahu saya, ”bergeming” artinya ”bergerak”, ”ber-riak”. Sementara tulisan itu bercerita, bagaimana Panji Koming (baca: Dwi Koen) tidak pernah terpengaruh apa pun, ia selalu tetap pada pendiriannya dan sifat tabiatnya.

Ketika saya periksa ke Kamus Umum Bahasa Indonesia, ”bergeming” diartikan sebagai ”tidak bergerak”. Tentu, dalam Panji Koming, seharusnya judul tulisan itu berbunyi: ”Panji Koming Tidak Bergeming”.

Kesalahan cetak dalam kamus itu sudah lama berlangsung, sudah pernah saya pertanyakan kepada kepala Pusat Bahasa saat itu, tetapi rupanya sampai saat ini belum juga diralat. Semoga segera dibenahi hal-hal seperti ini, walaupun kelihatannya sepele, karena ini berpengaruh ke seluruh pelosok dunia yang memakai bahasa Indonesia.

Media pun merupakan salah satu pendidik bangsa. Di TV sudah mulai terdengar pemakaian yang salah untuk ”kalau” yang sebetulnya dimaksudkan sebagai ”bahwa”. ”Dia bilang kalau dia lapar”. Tentu seharusnya: ”Dia bilang bahwa dia lapar”. Bagaimana kita memperbaiki ini?

41 tanggapan untuk “Bergeming

  1. Oh, jadi bergeming itu yang benar dimaknai “bergerak” ya? :?
    Saya selama ini mengacu pada KBBI sih, jadi saya beranggapan bahwa bergeming adalah “tidak bergerak”. Yah selama KBBI belum berubah, saya gak akan mengganti pengertian “bergeming”. :)

    1. Mas Asop, saya tidak pernah melihat KBBI, tapi kalau saya membaca karya sastra pas waktu masih di sekolah, saya rasa bergeming itu ya artinya bergerak/berpindah/berubah.

      Hal serupa juga sering saya temukan pada penggunaan kata “acuh”, yang bermakna “peduli”, tapi sering kali penggunaannya justru merujuk pada kehendakan makna “tak peduli”.

      1. Karya sastra lama itu dasarnya apa ya? Apakah kesalahpahaman umum yang dimaklumkan, sebagaimana beberapa media cetak sekarang yang tidak mengacu pada kbbi, atau memang ada dasar dari kamus lama? Karena menurut saya sastra tidak bisa dijadikan rujukan bahasa baku, seperti sastra yang ada sekarang, apakah bisa dijadikan sebagai standar penulisan EYD saat ini? Tentunya tidak.

      1. saya setuju, pemahaman sdr Bambang terbalik. saya juga pernah dengar kalau sebenarnya KBBI pernah diralat. tapi mungkin yg beredar edisi bajakan.

  2. Duh Ibu Jajang, kamus itu referensi. Kamus itu tempat mengacu. Kok malah kamus yg disalahin.

    Yang salah tuh orang2nya. memang sering kali kata bergeming diartikan salah, tidak bergeming = diam, pdhl bergeming = diam.

  3. Sekadar info, KBBI IV (Pusat Bahasa), KUBI III (Poerwadarminta), Kamus Dewan IV, dan Kamus Dialek Jakarta (Abdul Chaer) semuanya menyatakan bahwa (ber)geming = diam. Saya belum menemukan kamus yang menyatakan sebaliknya.

    1. Saya ingat di masa kecil saya, kalau ibu saya memanggil, kemudian saya diam saja tidak acuh, beliau akan mengatakan saya “tidak bergeming”. Jadi kata “bergeming” itu berarti bergerak. Saya sudah periksa KBBI, terbitan Balai Pustaka 2005. Saya temukan kata “bergeming” artinya tidak bergerak. Membingungkan, ada-ada saja.

  4. Lho, kok artikel ini justru membingungkan saya?

    Bukankah dalam cerita –> “Panji Koming (baca: Dwi Koen) tidak pernah terpengaruh apa pun, ia selalu tetap pada pendiriannya dan sifat tabiatnya”

    lalu mengapa penulis menyarankan perubahan judul dari ”Panji Koming Bergeming” ke ”Panji Koming Tidak Bergeming” (yang artinya justru Panji Koming tidak tak bergerak)

  5. Dalam kamus Betawi JD Homan (1868) ada keterangan

    trada geming: ongeschonden (utuh, tak cacat, tak rusak), heelhuidsch (tak luka)

    atinya tidaq geming: hij blijft kalm, onder bedreigingen enz (Dia tetap tenang, menghadapi ancaman dll.)

    1. Nah, ini kamus yang lama kan berarti?

      Jadi, menurut referensi yang lebih tua umurnya ini, ‘tak bergeming’ itu lebih dekat artinya dengan ‘tak bergerak’ atau ‘tak terpengaruh’. Dari sini seharusnya kita dapat petunjuk, bahwa makna awal dari kata ‘geming’ ini sepertinya berbeda dengan makna modernnya. Harusnya ini ada penjelasan khusus, jika perlu ada penelitian bahasa yg komprehensif untuk menjelaskan makna2 yg telah bergeser ini.

      Termasuk pihak Pusat Bahasa, seharusnya memberikan pencerahan ttg adanya pergeseran makna ini. tidak hanya cetak kamus terus diam, alias ‘bergeming’ saja (menurut arti yg dia buat sendiri). :) Meski kelihatannya sepele, tapi itu penting karena bahasa adalah salah satu identitas bangsa!

      Salam.

  6. Baru kali ini saya baca rubrik bahasa yang membingungkan, tetapi bukan berarti saya meremehkan penulisnya. Sependek pengetahuan saya, bergeming memang berarti ‘tak bergerak’, dan jika begitu judul “Panji Koming Bergeming” sudah benar, secara yang dimaksud adalah teguh pendirian.

    Mengenai penggunaan kata ‘kalau’ yang menggantikan ‘bahwa’, saya kira demikianlah semestinya penggunaan kata ini dalam konteks bahasa lisan. Bukankah kata ‘tapi’ dan ‘tak’ juga bersaing ketat dengan bentuk ragam tulis bakunya, ‘tetapi’ dan ‘tidak’, di media massa?

  7. Jajang C Nur aneh, “Kesalahan cetak dalam kamus itu sudah lama berlangsung, sudah pernah saya PERTANYAKAN kepada kepala Pusat Bahasa saat itu, tetapi rupanya sampai saat ini belum juga DIRALAT. Semoga segera dibenahi hal-hal seperti ini, walaupun kelihatannya sepele, karena ini berpengaruh ke seluruh pelosok dunia yang memakai bahasa Indonesia.”

    Bertanya kok mengharapkan ralat, itu berarti bukan bertanya tapi meminta atau menuntut.

    Apa yg berkembang di masyarakat atau anggapan belum tentu benar atau bisa saja salah kaprah.

    Saya jd ingat puisi lama yang menyatakan ‘usah kau sedih’, di situ usah merujuk pada ‘tak usah’ sebenarnya.
    Begitulah bahasa (dan sastra). Saya pribadi lebih percaya bergeming=diam.

  8. Saya setuju Jajang, sejak lama tulisan yang merujuk pada arti \’diam, tidak bergerak sedikit pun\’ selalu menggunakan istilah \”tak bergeming\”. Artinya bergeming adalah \’tidak diam/bergerak(atau beriak menurut referensi Jajang)\’ merupakan konvensi yang digunakan pengguna bahasa sekitar zaman itu. Kalau di kemudian berbeda penggunaannya, jelas mesti ada pergeseran yang harus bisa dijelaskan. (jangan-jangan kesalahan kamus itu yang mempengaruhi, haha kacau juga kalau begitu)
    Yang jelas bagi saya, keterangan dalam KBBI tentang bergeming mem-bi-ngung-kan. Sehingga saya harus bergeming (menurut KBBI) dan tak bergeming (menurut konvensi lama) sekaligus, saat menunggu jawabannya jatuh dari langit. Hahaha.

  9. Saya setuju Jajang, sejak lama tulisan yang merujuk pada arti ’diam, tidak bergerak sedikit pun’ selalu menggunakan istilah ”tak bergeming”.

    Artinya bergeming adalah ’tidak diam/bergerak(atau beriak menurut referensi Jajang)’ merupakan konvensi yang digunakan pengguna bahasa sekitar zaman itu.

    Kalau di kemudian berbeda penggunaannya, jelas mesti ada pergeseran yang harus bisa dijelaskan. (jangan-jangan kesalahan kamus itu yang mempengaruhi, haha kacau juga kalau begitu)

    Yang jelas bagi saya, keterangan dalam KBBI tentang bergeming itu justru mem-bi-ngung-kan. Sehingga saya harus bergeming (menurut KBBI) dan tak bergeming (menurut konvensi lama) sekaligus, saat menunggu jawabannya jatuh dari langit. Hahaha.

  10. Kalau masalah “bergeming” saya berpegang pada makna “tetap, tidak bergerak, tidak terpengaruh” (apa tanda kutip yang saya pakai sudah benar?). Bahasa Indonesia memang bahasa yang unik, lain dengan yang lain. Bangsa lain, seperti Jepang, Prancis, dll., bangga dengan bahasa negaranya. Sedangkan kita bangsa Indonesia, kebanyakan pemakainya, ketika diberi tahu, menanggapi, “Emang gue pikirin?” Bangganya berbahasa Indonesia pada saat sekolah (untuk cari nilai/lulus) atau pada peringatan Soempah Pemoeda saja. Sedangkan pemerhati, pengamat, pengkaji (atau pengaji?) hanya dapat bersuara dan menulis, tidak mampu memaksakan (baca memberi pengertian). Apakah dengan keadaan yang demikian bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa internasional?

  11. Repot kalau KBBI yg salah cetak …
    Bu Jajang mengacu pada bhs Indonesia sebelum ada nya KBBI th 2005….
    Mungkin saja Kepala Pusat Bahasa nya saat sekolah dulu KBBI sdh ada ….sehingga segan untuk meralatnya ……
    Sdh pernah juga kirim ke Pusat Bahasa …. tapi ya sama , gak ada respon ……;-( ……..

    1. Dalam kamus Betawi JD Homan (1868) ada keterangan

      trada geming: ongeschonden (utuh, tak cacat, tak rusak), heelhuidsch (tak luka)

      atinya tidak geming: hij blijft kalm, onder bedreigingen enz (Dia tetap tenang, menghadapi ancaman dll.)

      Jadi bukan KBBI yang salah cetak, tp penggunanya yang salah kaprah menggunakannya. Kesalahkaprahan tersebut sdh sy pelajari sejak SD lho. Kalau guru Anda tdk mengajarkan ya jangan salahkan kamusnya

        1. Belum tentu juga. Bisa saja tetap negatif.
          Misalnya dalam bahasa daerah Empat Lawang, nedo katek = tidak ada, nedo = tidak, katek = tidak ada (tidak jadi berarti ada)

  12. aduh ….. terlalu banyak kesalahan
    menurut saya tak perlu ada perubahan arti dari pengertian lama
    diam tak bergerak sedikitpun haruslah tetap diucapkan sebagai “tak bergeming”
    kenapa?
    perubahan arti/makna seharusnya bukan kebalikan arti
    perubahan makna kata lama menjadi kata baru seperti “sistem” belanda menjadi “sistem” Inggris itu perubahan yang bagus, yang memperluas arti.
    bukan kebalikan arti

  13. gawat,
    mungkin harus ada penelitian khusus dari para ahli bahasa indonesis untuk merunut makna yang sebenarnya dari bergeming tsb. bukan saya tidak percaya KBBI. tapi seumur-umur saya sering dengar dan baca tidak bergeming sedikitpun = diam.
    makna yang bertentangan ini jelas bukan masalah sepele.
    harus ada penjelasan. tidak bisa hanya didiamkan saja.

    1. Dalam kamus Betawi JD Homan (1868) ada keterangan

      trada geming: ongeschonden (utuh, tak cacat, tak rusak), heelhuidsch (tak luka)

      atinya tidak geming: hij blijft kalm, onder bedreigingen enz (Dia tetap tenang, menghadapi ancaman dll.)

      1. Salah kaprah penggunaan Bahasa Indonesia itu sudah diajarkan di bangku SD-SMP lho, seperti kata acuh-acuh tak acuh, bergeming-tak bergeming, nol-kosong, garang-gahar, menyolok (solok)-mencolok (colok), ubah-rubah, nuansa-suasana, antri-antre, apotik-apotek, contek-sontek, terlanjur-telanjur, iktikad-itikad, absen-presensi/daftar hadir, embus-hembus, nafas-napas, carut (karut)-marut, dll. Kalau guru Anda tidak pernah mengajarkan, bukan berarti KBBI yang salah kan? Atau mungkin Anda yang tidak memperhatikan pada waktu pelajaran Bahasa Indonesia?

        Kita jadi sering abai saat berbahasa Indonesia karena merasa sudah bisa (dan biasa) menggunakannya. Kita suka malas membuka kamus saat menemukan kata yang artinya belum diketahui atau diketahui tapi berdasarkan dugaan semata. Ini baru buta makna kata, belum buta tata bahasa, penulian, dan lainnya. Akhirnya, kebutaan ini telanjur menjadi kebiasaan padahal salah kaprah. Tidak hanya di level individu saja, di institusi pemerintah hingga dunia jurnalistik yang seharusnya sangat memperhatikan penggunaan bahasa, salah kaprah banyak terjadi.

        1. Bagaimana kita tahu bahwa penutur yang salah kaprah? Bagaimana kalau justru penutur yang benar dan pakar bahasa yang salah kaprah? Sedangkan bahasa itu berasal dari penutur. Apakah ada bukti penggunaan geming=diam pada sastra lama?

    1. Bagaimana kita tahu bahwa penutur yang salah kaprah? Bagaimana kalau justru penutur yang benar dan pakar bahasa yang salah kaprah? Sedangkan bahasa itu berasal dari penutur. Apakah ada bukti penggunaan geming=diam pada sastra lama?

    1. Dalam kamus Betawi JD Homan (1868) ada keterangan

      trada geming: ongeschonden (utuh, tak cacat, tak rusak), heelhuidsch (tak luka)

      atinya tidak geming: hij blijft kalm, onder bedreigingen enz (Dia tetap tenang, menghadapi ancaman dll.)

  14. Yg luar biasa aneh, penyusun KBBI tidak ada penjelasan sama sekali atas hal ini. Tidak ada tanggapan apapun sampai sekarang.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.