Re, Kembali, atau Li

Majalah Tempo, 17 Okt 2011. Jajang Jahroni, Mahasiswa S-3 Jurusan Antropologi Boston University

Kalangan muslim modernis gemar membuat kata dengan awalan re (kembali): rekonstruksi, reinterpretasi, reformasi, reformulasi, revitalisasi, reaktualisasi, redefinisi, reorientasi, reorganisasi, rejuvenasi. Mulai Munawir Sjadzali sampai Nurcholish Madjid dan Azyumardi Azra, semua pernah berurusan dengan kata-kata di atas. Mengapa istilah ini lahir? Apakah ini hanya gaya untuk menunjukkan bahwa mereka pernah bersekolah di luar negeri atau berhubungan dengan sesuatu yang lebih serius?

Kemunculan kata-kata dengan awalan re- ini ternyata ada hubungannya dengan pola pikir kaum modernis, yang melihat agama (baca Islam) sebagai konsep yang ideal, universal. Sementara itu, pemahaman manusia tentang agama bersifat lokal dan temporer. Maka terjadilah dialektika antara yang lokal dan universal ini. Namun, dalam kurun tertentu, pemahaman masyarakat tentang agama mengalami kejumudan, kebekuan. Agama yang seharusnya membebaskan justru terasa membelenggu. Di sinilah perlunya pembaruan. Maka pembaruan menjadi isu penting kalangan modernis. Agama harus disegarkan, dipahami, dan dikembalikan pada sumbernya yang sejati, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah.

Keharusan “kembali” pada mulanya didengungkan oleh kaum salafi, mereka yang beranggapan masa Nabi Muhammad dan para sahabat adalah masa keemasan, masa ketika Islam masih murni, belum tercemar oleh debu-debu kehidupan. Ada perbedaan antara kaum modernis dan kaum salafi. Kaum modernis melihat masa lalu untuk kembali lagi ke masa kini, melakukan refleksi untuk proyeksi. Kaum salafi tetap di sana, bahkan tenggelam dalam romantisisme masa lalu. Tepatlah apa yang dikatakan Charles Kurzman, ahli gerakan Islam kontemporer, kaum fundamentalis melihat masa kini dari kacamata masa lalu, sementara kaum progresif melihat masa lalu dari kacamata masa kini.

Fazlur Rahman, pemikir neomodernis paling ternama asal Pakistan, menekankan pentingnya mengetahui ihwal pewahyuan dalam upaya memahami Al-Quran. Orang tidak bisa memahami Al-Quran tanpa mengetahui bahasa, sejarah, dan sosial-budaya yang melatarbelakangi turunnya wahyu. Untuk memahami Al-Quran, seseorang harus berkelana ke masa lalu yang jauh, tapi kembali lagi dan menemukan pesan Al-Quran yang paling relevan untuk masa kini. Inilah hermeneutika Al-Quran dan Teori Gerakan Ganda. Menyelami masa lalu untuk melihat masa kini dan masa mendatang.

Pola pikir seperti inilah yang tampaknya mendasari Allamah Iqbal ketika menulis The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam) pada 1930. Iqbal menganggap pemikiran agama sudah karatan dan usang. Karena itu, harus diperbarui. Semangat yang sama terlihat dalam pidato Nurcholish Madjid di Taman Ismail Marzuki pada 1972 berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam” pada gagasan reaktualisasi Islam yang dilontarkan Munawir Sjadzali pada awal 1980-an. Itulah dialektika sejarah Islam yang bergerak antara teks, tafsir, dan praktik.

Tidak semua kelompok Islam setuju dengan cara pandang di atas. Seingat saya, kelompok Nahdlatul Ulama tidak merasa cocok dengan bahasa seperti itu. Di samping lantaran bukan bahasa mereka, NU memandang agama sebagai konsep yang harus terus-menerus menyempurnakan diri dengan cara menyerap kekayaan yang ada di sekelilingnya agar dapat berfungsi dengan baik di tengah masyarakat. Bagi NU, masa lalu tidak selalu dipandang lebih baik dibanding masa kini.

Maka yang terjadi adalah agama kelompok NU bersifat kultural karena serapan tradisi yang tinggi. Sedangkan agama kelompok salafi/modernis bersifat politis karena identifikasi keaslian. Pertanyaan bagaimana kemudian agama diekspresikan ke tengah publik bergantung pada seberapa lama mereka menyelam dan apa mereka dapatkan di dasar lautan.

Di masa yang akan datang, saya kira kita akan terus mendapatkan kata-kata kaum modernis yang khas ini. Beberapa waktu yang lalu, Azyumardi Azra menggunakan rejuvenasi (memudakan kembali) nilai-nilai Pancasila yang makin memudar selepas jatuhnya Orde Baru. Kita sudah lama mendengar restrukturisasi (penyusunan kembali) dan reposisi (penempatan kembali). Kita pun mendapatkan kata relokasi (penempatan kembali atau pemindahan orang) akibat sering terjadinya gempa di Tanah Air. Terdapat ratusan kata semisal di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sayangnya, bahasa Indonesia tidak memiliki sistem yang jitu untuk membuat padanannya.

Saya menyarankan kata kembali disingkat saja menjadi li supaya lebih efisien, sehingga rejuvenasi menjadi “pemudalian” atau “memudalikan”.

Tidak ada alasan menyingkat kembali menjadi li selain penyederhanaan. Kita harus menyederhanakan bahasa Indonesia dengan melakukan penyingkatan, yang merupakan gejala umum akhir-akhir ini di tengah masyarakat. Kita singkat saja kembali menjadi li dalam kasus “penafsiran kembali” menjadi “penafsirlian”. Kalau mau jujur, kita sebenarnya sudah lama dan terbiasa menyingkat kata yang terlalu panjang: parahyangan menjadi priangan, parameswari menjadi permaisuri. Sementara itu, KBBI diam-diam menyingkat demonstrasi menjadi demo. Gejala apa ini selain menghindari kata-kata yang sudah dimafhumi. Tentu kita mafhum apa yang dimaksud dengan demo, tidak perlu khawatir tertukar dengan demobilisasi atau demografi. Kalau khawatir, kita kembali pada kaidah yang pertama: mengucapkan kata apa adanya.

5 tanggapan untuk “Re, Kembali, atau Li

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.