Bahasa Fiksi dalam Hukum

Majalah Tempo, 5 Des 2011. Rohman Budijanto, Wartawan

NYAWA hukum, selain keadilan, adalah kepastian. Peraturan perundang-undangan (juga putusan hakim) selalu berusaha dihindarkan dari tafsir ganda atas kata-kata hukum. Untuk memastikan, definisinya banyak dijelaskan dalam pasal undang-undang. Tapi, betapapun tingginya tingkat kepastian bahasa hukum, rembesan makna fiksional, rancu, dan ganda tak terhindarkan.

Kita sangat mengenal kejahatan “penggelapan”. Istilah ini resmi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).  Lazimnya, “penggelapan” berarti membuat gelap atau menghalangi cahaya (agar gelap). Tapi ternyata KUHP, yang merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafrecht ala Belanda kolonial, tidak menyebut pemadaman lampu bergilir Perusahaan Listrik Negara sebagai penggelapan. Penggelapan diartikan sebagai perbuatan memiliki barang yang diamanahkan pada seseorang dengan melawan hukum.

Tindak pidana “pencemaran nama baik” juga agak imajinatif. Pencemaran yang mengandung makna lebih pasti dan bisa diukur adalah pencemaran lingkungan. Sebagai contoh, kali yang jernih berikan banyak menjadi keruh dan ikan-ikannya mati, karena ditumpahi sisa oli dari pabrik. Tapi bagaimana mengukur “pencemaran nama baik”? Yang terjadi adalah penafsiran fiksi dan imajinatif. Asumsinya, seseorang memiliki nama yang bersih. Lalu, karena dituduh melakukan suatu perbuatan tercela–dan yang tertuduh tak merasa melakukan apa yang dituduhkan–dia merasa namanya yang putih diciprati bercak aib. Sangat fiktif, bukan? Kadang-kadang orang yang terindikasi korupsi pun melaporkan pengungkap aibnya dengan tuduhan pencemaran nama baik. Nama baik yang mana?

Istilah teknis penegakan hukum di lapangan juga tak lepas dari ungkapan rancu makna. Ketika melihat penjahat sadistis beraksi dan polisi menembaknya, itu disebut “tembak di tempat”. Istilah ini agak ganjil. Bukankah semua penembakan dilakukan di suatu tempat? Termasuk penembakan untuk eksekusi mati juga dilakukan di suatu tempat. Coba bandingkan dengan istilah yang lebih membumi, misalnya “tembak langsung”. Istilah ini lebih menegaskan bahwa siapa pun yang melakukan kejahatan berat tak ditoleransi dan akan ditembak.

Ada lagi istilah yang rancu, yakni “tertangkap tangan”. Ini istilah resmi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Istilah ini menunjuk ketika seorang tersangka tertangkap saat atau sesaat setelah melakukan tindak pidana. Untuk istilah pers atau awam dipakai istilah “tertangkap basah”. Kalau ditelaah, jelas istilah “tertangkap tangan” agak berlebihan. Bukankah hampir semua tersangka kejahatan ditangkap dengan tangan, baik tangan polisi maupun massa? Tidak dengan jaring atau dengan tombak. Tapi istilah “tertangkap basah” juga tidak bisa menggantikannya, karena lebih rancu. Jarang penjahat ditangkap saat tercebur sungai atau masuk sumur atau terkencing di celana sehingga basah. Istilah yang lebih tidak ganda makna adalah “tertangkap saat bertindak” atau caught in action.

Tak hanya dalam hukum pidana, hukum perdata juga mengandung istilah makna ganda. “Barang bergerak” dan “barang tidak bergerak” tidak bisa dimaknai sepenuhnya harfiah dan pasti. Sepeda, mobil, kapal, sepeda motor memang termasuk barang bergerak. Tapi ikan di dalam kolam dan kawanan burung merpati dianggap bukan barang bergerak (Pasal 507 ayat 3 KUH Perdata). Padahal ikan dan burung merpati jadi barang tak bergerak kalau sudah mati!

Istilah hukum transaksi sehari-hari juga ada yang aneh. Transaksi “di bawah tangan”, misalnya. Kalau dimaknai harfiah, istilah ini sulit dipahami. Apakah transaksi itu dilakukan di bawah orang-orang yang mengangkat tangannya? Jelas bukan itu yang dimaksud. “Di bawah tangan” digunakan  untuk menyebut transaksi yang tidak menggunakan akta otentik dari notaris atau pejabat berwenang. Misalnya, membeli tanah hanya dengan kuitansi, bukan akta jual-beli. Jadi lawan kata transaksi “di bawah tangan” itu bukan “di atas tangan”, melainkan transaksi “dengan akta otentik”.

Kenapa istilah-istilah yang mengandung fiksi bisa masuk ke dunia hukum? Ini menunjukkan hukum tidak hidup di ruang hampa. Hukum juga terpapar istilah yang tidak sepenuhnya bisa sesuai dengan kepastian hukum. Dalam praktik di pengadilan, misalnya, pihak yang bertikai sering membangun argumen lewat celah-celah istilah yang bisa ditarik ke aneka makna. Tentu saja pemaknaan itu disesuaikan dengan di pihak mana dia berada.

Dalam kasus-kasus korupsi, muncul istilah kreatif (tepatnya, licik) untuk menyamarkan kebusukan. Uang suap disebut, misalnya, sebagai dana pinjaman, dana talangan, apel Washington, apel Malang, atau durian. Pihak koruptor biasanya memaksa memakai istilah-istilah untuk meringankan posisinya, betapapun tidak meyakinkannya istilah itu. Para aparatus hukum yang mengandalkan bukti yang pasti harus berhadapan dengan penjahat-penjahat yang justru berlindung di balik makna ganda. Mereka memanfaatkan doktrin bahwa hakim tak boleh ragu dalam memutuskan dan kalau ragu harus dibebaskan (reasonable doubt).

Uniknya, imajinasi fiktif merasuki hukum itu “cacat bawaan”. Di semester awal, mahasiswa hukum harus memahami salah satu doktrin hukum, yakni “fiksi hukum”.  Ini memang imajinasi pembuat aturan hukum, agar tak ada yang menghindar dari ikatan hukum. Seperti diketahui, doktrin itu berarti setiap orang “dianggap mengetahui” setiap peraturan perundang-undangan yang jumlahnya tak terhitung itu. Orang tidak bisa menolak ditangkap, misalnya, karena tidak tahu bahwa menyuap itu ada pasalnya dalam undang-undang. Atau seseorang menolak dirobohkan bangunannya yang melanggar, dengan alasan tak tahu ada aturan izin mendirikan bangunan.

Aneh, memang. Hukum, yang hidup-matinya dengan kepastian (selain keadilan), ternyata berdiri di atas fondasi doktrin ”fiksi”.

Sumber gambar: Wikimedia Commons

Satu tanggapan untuk “Bahasa Fiksi dalam Hukum

  1. fiksi = ambigu = konotasi = salah tafsir = salah kaprah. Semoga tidak sampai ke tahapan terakhir.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.