Mati tapi Bersuara

Sapto Nugroho* (Majalah Tempo, 31 Mar 2014)

Di kalangan pemerhati bahasa ada percakapan sindiran seperti ini:

+ Selamat siang. Silakan duduk. Siapa namanya?

– Pajar.

Lantas ditulislah namanya: “Fajar”. Tapi si pemilik nama menyela.

– Bukan begitu, Pak. Pakai “pe”.

Sambil mengernyit, si pendata mencoret nama “Fajar”, lalu menggantinya dengan “Vajar”.

– Pak, nama saya itu Pajar, bukan Fajar atau Vajar.

+ Oh, maaf. Saya kira V.

– Memangnya Bapak tahu perbedaan F sama V?

Dalam abjad Latin, terdapat 26 huruf. Pada umumnya, di kalangan orang awam alias bukan ahli bahasa, hanya dikenal dua kelompok huruf, yaitu huruf hidup dan huruf mati, atau istilah ilmiahnya vokal dan konsonan. Jumlah vokal atau huruf hidup hanya lima, yakni a, i, u, e, o. Sisanya huruf mati.

Namun, di kalangan ahli bahasa, huruf mati yang berjumlah 21 itu bisa dipilah lagi ke beberapa kelompok. Ada pengelompokan berdasarkan posisi alat ucap, yakni antara lidah, bibir, gigi, dan langit-langit mulut. Dalam hal ini mungkin satu-dua istilah masih membekas di benak Anda, misalnya bilabial, labiodental, alveolar. Ingat juga huruf sengau, yakni m, n, ng, ny. Lalu ada pula sekelompok huruf yang dikatakan “tidak begitu mati”, misalnya h, s, w, y. Bandingkan dengan p, t, g, k, misalnya, yang benar-benar mati. Pengelompokan lain berdasarkan berat dan ringannya pengucapan. Nah, termasuk kategori terakhir inilah jawaban atas pertanyaan dalam percakapan semu di atas.

Bisa dicoba dirasakan bahwa pengucapan huruf c, k, p, t lebih ringan daripada j, g, b, d.

Jadi, berdasarkan kriteria ini, huruf mati alias konsonan bisa dipilah menjadi dua, yakni konsonan nirsuara dan konsonan bersuara.

Istilah umumnya: huruf mati tak bersuara dan huruf mati bersuara. Untuk mengucapkan konsonan tak bersuara, kita hanya seperti berbisik. Sebab, ketika berbisik, semua kata yang diucapkan berubah menjadi nirsuara. Adapun konsonan bersuara diucapkan dengan menggetarkan pita suara sehingga terdengar lebih “berat”. Coba pegang jakun Anda lalu bisikkan beberapa kata, pasti jakun tidak bergetar. Lalu ucapkan kata yang sama dengan suara biasa. Bagaimana? Bergetar, bukan?

Uniknya, kedua kelompok konsonan itu (nirsuara dan bersuara) memiliki pasangan masing-masing. Bisa Anda rasakan di bibir bahwa p bila “diperberat” akan menjadi b. Lalu rasakan dengan ujung lidah perbedaan antara c dan j, serta s dan z. Lidah belakang Anda pun bisa mendeteksi bahwa k adalah pasangan g. Meskipun tak begitu tepat, konsonan t adalah pasangan d. Pasangan konsonan dental itu (t dan d) lebih tepat terdapat dalam bahasa Jawa. Abjad Jawa, yakni Hanacaraka, memiliki huruf t dan th. Contohnya ketul yang berarti anak kura-kura, dan kethul yang berarti tumpul. Lalu ada d dan dh. Misalnya dalam kata wedi yang berarti takut, dan wedhi yang berarti pasir.

Dalam hal t dan d, kita bisa mencari-cari contoh ke bahasa lain. Namun ada konsonan yang memang hanya memiliki pasangan dalam ucapan tapi tidak ada pasangan hurufnya. Mungkin Anda pernah mendapati tulisan hyang widi atau hyang seri. Penambahan huruf h di sini adalah salah satu upaya membuat y nirsuara menjadi y bersuara. Y nirsuara antara lain ada dalam kata sayang, loyang, goyang. Adapun y bersuara misalnya yayasan, yang, dan kata seru ya.

Huruf w juga tak memiliki pasangan dan karena itu pengucapannya bisa bersuara dan bisa nirsuara. Coba ucapkan kata wanita dan wabah. Pengucapan suku kata wa dalam kedua kata itu tidak sama, bukan? Dengan alasan itulah mengapa hingga kini banyak orang memperdebatkan penulisan lho dan lo. Ada satu pihak biasanya bahasawan yang mengatakan bahwa kata seru “lho” penulisannya cukup “lo” saja. Sebab, tulisan “lo” bisa diucapkan “lo”, bisa pula “lho”. Sedangkan pihak lain mengatakan bahwa yang benar adalah “lho”, karena sekaligus untuk membedakan dengan “lo” dari bahasa percakapan Jakarta yang berarti “kamu”. Wallahualam.

Lalu bagaimana dengan jawaban atas pertanyaan dalam percakapan di atas?

Sayang, sebagian besar dari kita memang kurang menaruh perhatian dalam berbahasa pada umumnya, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing.

Penutur bahasa Indonesia kurang atau malah tidak membedakan sama sekali pengucapan f dan v. Dalam kata visual dan fisik, suku kata vi dan fi pasti diucapkan sama.

Padahal f adalah pasangan nirsuara bagi v.

Lagi-lagi, contoh yang bagus tidak dalam bahasa Indonesia. Penutur bahasa Inggris yang benar akan mengucapkan very lebih “berat” daripada ferry. Kalau dengan “cara Indonesia”, agar pengucapan “very” menjadi benar, mungkin perlu bantuan huruf h, menjadi “vheri”. Begitu juga fan dan van.

Alhasil, huruf memang tak mampu mengikuti kehendak lidah manusia yang tak bertulang.

+ Sekali lagi, maaf, Pak Pajar. Tapi itu bagi saya terlalu rumit. Kalau saya mah “ep” sama “pe” sajalah, ha-ha-ha.

– Tidak apa-apalah. Sudah biasa itu. Mari, selamat siang.

*) Redaktur Bahasa Tempo

Satu tanggapan untuk “Mati tapi Bersuara

  1. Pada kasus f dan v saya rasa ini juga akibat pengaruh dari bahasa Belanda. Setahu saya, dalam bahasa Belanda dan Jerman tidak ada perbedaan suara antara f dan v. Huruf w-lah yang berbunyi lebih seperti huruf v pada bahasa Inggris.

    Kalau hemat saya, ada baiknya kita juga meminjam huruf ů dari bahasa Ceko (sangat sesuai dengan pelafalan kata-kata pada bahasa tidak baku) serta huruf å dari bahasa-bahasa Skandinavia (lebih cocok untuk bahasa Jawa sih).

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.