Mahasiswa dan Menulis

Alvi Puspita*, Riau Pos, 6 Sep 2015

Ilustrasi: Temple University

Ketika mengampu Mata Kuliah Dasar Umum Bahasa Indonesia di beberapa universitas di Riau, saya meminta mahasiswa untuk membuat karangan bebas mengenai diri mereka sendiri sebagai tugas ujian tengah semester. Banyak di antara mereka yang kemudian datang kepada saya sambil mengadu bahwa mereka tidak pandai menulis. Menulis rupanya masih menjadi momok bagi kebanyakan mereka. Padahal, bukankah pelajaran bahasa Indonesia sudah diajarkan sejak di bangku sekolah dasar dan materi mengarang adalah hal yang harus dilalui?

Idealnya, menulis menjadi sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi mahasiswa. Menulis sudah seharusnya menjadi bagian dari diri mereka, serupa android yang seakan sudah mengurat daging dalam kehidupan mahasiswa.

Bukankah mereka konon adalah agen perubahan dan calon cendekiawan muda? Mana ada tokoh-tokoh cendekiawan yang tidak menulis?

Lihatlah HAMKA, Raja Ali Haji, atau Tan Malaka. Mereka turut menjadi bagian dari peradaban karena mereka berpikir dan menulis. Mereka memiliki “mata pena yang runcing”.

Kemampuan menulis yang kurang memadai tersebut, tidak hanya dijumpai pada mahasiswa semester-semester awal, tetapi juga pada mahasiswa semester enam. Kesalahan berbahasa, seperti penulisan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) atau keefektifan kalimat dijumpai di dalam makalah yang ditulis. Tidak jarang ditemukan kutipan-kutipan yang dicuplik secara serampangan tanpa sumber yang jelas. Penyakit salin-rekat atau lebih dikenal dengan istilah copy paste (copas) ini memang merupakan penyakit akut mahasiswa (dan barangkali juga kita). Akibatnya, di dalam makalah yang ditulis, sulit untuk menemukan gagasan asli mereka karena yang ada hanya gagasan dan pikiran orang lain yang dicomot dari internet.

Seharusnya, menulis menjadi bagian dari mahasiswa. Akan tetapi, pada kenyataannya menulis menjadi momok bagi sebagian mahasiswa.

Idealnya, mahasiswa adalah intelektual muda yang dapat mengembangkan ide-ide baru dan menuliskannya dengan baik, tetapi ternyata sebagian mahasiswa hanya menjadi generasi copas!

Pertanyaan yang kemudian muncul, hal mendasar apakah yang menyebabkan rendahnya tingkat kemampuan menulis para mahasiswa ini? Mengapa menulis masih menjadi momok bagi mereka (atau bahkan juga bagi sebagian besar kita)?

Hal yang paling pangkal dari semua itu adalah karena sebagian mahasiswa tidak hidup dalam tradisi intelektual yang baik. Padahal, mereka belajar di perguruan tinggi yang merupakan wilayah intelektual. Lalu, apalagi masalahnya?

Setidaknya terdapat tiga hal yang selalu ada dalam tradisi intelektual, yaitu membaca, menulis (pada zaman keberaksaraan sekarang), dan berdialektika.

Semangat paling dasar dari ketiga hal tersebut adalah rasa ingin tahu dan rasa haus akan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya akan berbuah karya serta kearifan sikap dan kehalusan budi. Semangat ini hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang mau berpikir. Permasalahannya, sebagian mahasiswa terkena penyakit akut malas berpikir. Ujung-ujungnya, mereka memilih untuk melakukan salin-rekat saja supaya lebih mudah.

Sebenarnya, tradisi berpikir  ini sudah dapat kita telusuri dalam kultur Melayu yang mewujud dalam karya-karya sastra lisan seperti pantun dan petatah-petitih. Keistimewaan yang dimiliki pantun adalah keterpaduan antara tingginya estetika bahasa dan kedalaman makna. Keterhubungan antara dua baris pembayang di atas dengan dua baris isi di bawahnya tidaklah serta merta begitu saja. Pantun adalah hasil pembacaan yang dalam terhadap alam, begitu juga dengan petatah-petitih dan ilalat-ilalat. Karya-karya seperti ini tentu tidak akan bisa dihasilkan oleh masyarakat yang tidak punya tradisi ‘baca’ yang kuat. Mereka membaca alam sehingga mereka menjadi arif. Tentunya, mereka adalah juga para intelektual pada zamannya.

Jika ingin meningkatkan kemampuan menulis pada mahasiswa, langkah awal yang harus dilakukan adalah menciptakan suasana yang mampu membentuk tradisi intelektual.

Dosen dan para pejabat kampus berperan penting sebagai pendorong, pembimbing, dan pemberi contoh spirit tersebut.

Terlebih dahulu, dosen harus memperbaiki paradigmanya. Dosen harus “memancing” mahasiswa untuk berpikiran terbuka dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan gagasan-gagasan mereka. Dosen harus membuka ruang seluas-luasnya untuk berdialog dengan mahasiswa. Mereka harus berlapang dada menerima kritik. Mereka juga harus siap berbeda pendapat dengan mahasiswanya. Dosen harus menularkan semangat membaca dan menulis kepada mahasiswanya. Para dosen tidak boleh “menularkan” pandangan bahwa capaian utama dari kuliah adalah mendapat pekerjaan semata. Mereka diharapkan tidak menanamkan pemikiran bahwa pekerjaan akan diperoleh apabila mahasiswa bersikap “manis” dan mau  berkompromi. Tidak sepantasnya dosen dikenal karena sikap arogansinya sehingga mahasiswa harus mengikuti semua aturan main yang ditetapkan dosen tanpa kenal kompromi. Jika demikian, dikhawatirkan yang akan dihasilkan adalah mahasiswa-mahasiswa oportunis yang tidak akan pernah mau mengasah akal budinya dengan menulis. Mereka akan menjadi mahasiswa-mahasiswa yang tidak ada bedanya dengan barang pabrik siap pakai (itu pun barang pabrik kualitas rendah).

Padahal, apabila mahasiswa betul-betul dibimbing untuk mengasah potensi pikir mereka, kuliah dengan kesadaran belajar, dan rasa haus akan ilmu pengetahuan,  pekerjaanlah nanti yang akan menghampiri mereka. Serupa batu alam yang selesai berproses, ia akan mencapai titik kilaunya, dan kemudian orang akan memandang dan menginginkannya karena kualitas kilaunya itu. Salah satu proses menuju kilau itu adalah menulis, menulis, dan menulis! Hal itu disebabkan menulis mengajarkan kita “membaca” dan “membaca” mengajarkan kita jadi manusia.
Akhirnya, mari menulis wahai para mahasiswa!

* Dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Lancang Kuning

2 tanggapan untuk “Mahasiswa dan Menulis

  1. Saya masih tidak mengerti dengan “karangan bebas mengenai diri mereka sendiri”. Yang namanya “karangan bebas” seharusnya bebas mengenai apa saja. Tinggal temanya yang dipilih. Karangan bebas mengenai sosok/tokoh, tempat, sejarah atau yg lain.

    “Karangan bebas mengenai diri sendiri” seolah-olah memberi kesan bahwa apa yg akan ditulis oleh para mahasiswa itu adalah representasi dirinya. Mungkin hal itu yang membuat mereka bingung dan enggan.

    Jika mereka menulis bahwa mereka bisa terbang seperti superman, mereka akan ditertawakan oleh teman sebayanya. Jika mereka menulis tentang kehidupannya yang susah, dan memprihatinkan, mereka juga akan menuai stereotipe (atau julukan) dari teman sebayanya. Karena itulah, menulis karangan (fiksi) tidak seharusnya dikaitkan dengan “diri mereka sendiri”.

    Kecuali jika kita disuruh mendeskripsikan diri kita mengenai mengapa kita pantas mendapatkan beasiswa ini atau itu. Dan jelas itu bukan fiksi atau karangan bebas.

  2. Yang menjadi dorongan bagi mahasiswa untuk tetap melestarikan budaya copas adalah ketika mereka melakukannya, dosen yang bersangkutan tidak ada protes sama sekali. Hal tersebut seperti dibiarkan menjadi angin lalu saja. Seakan makalah (atau tugas apa pun yang ada sangkut pautnya dengan buah pikiran masing-masing) itu dinilai dari kerapian atau ketebalan karyanya. Beberapa dosen tidak mengambil tindak lanjut untuk menangani masalah copas tersebut. Alih-alih memberikan sanksi, mahasiswa yang melakukan copas malah diberikan nilai. Padahal, mereka harusnya diberi teguran atau disuruh mengerjakan ulang tugas mereka.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.