Sekelumit Estetika

Kurnia J.R.*, KOMPAS, 17 Okt 2015

Ilustrasi: Ambient Mixer

Rimba raya yang belum pernah dijamah oleh manusia kita sebut hutan perawan. Siapa pun pencetus kiasan itu, tentu jiwanya memuja alam sebagai keindahan puisi. Tiada rasa jengah berkenaan dengan sebutan itu kendati perawan mengacu kepada gadis yang belum pernah disentuh pria.

Mungkin metafora itu mengilhami seorang wartawan olahraga menciptakan ungkapan baru. Pada 15 September 2015 dia membuat judul berita: ”Ini Rahasia Gawang Persib Tetap Perawan di Piala Presiden”. Berlawanan dengan kiasan hutan perawan, pemakaian kata perawan dalam klausa ini menciptakan makna asosiatif yang kurang elok, tendensius, dan vulgar.

Hutan dibilang perawan apabila kawasan tersebut diyakini belum diterobos manusia, belum dijelajahi, belum ditebangi, belum dieksploitasi, belum digarap jadi ladang, kebun, kampung, dan lain-lain. Makna asosiatif hutan perawan, antara anasir pembentuk frase dan fenomena yang dimaksud, bersifat tak langsung. Suatu personifikasi yang membutuhkan proses logika semantik yang sublim untuk mencapai pemaknaannya. Makna yang didapat pun cenderung filosofis, yakni metafora tentang kesucian alam yang belum terusik oleh eksploitasi manusia. Dengan demikian, kiasan hutan perawan memiliki kecenderungan puitis dan estetis.

Lain halnya dengan perumpamaan sang jurnalis olahraga yang kreatif, tetapi maunya serba langsung itu. Sebagai cabang olahraga yang paling tenar, sepak bola mudah dikenali seluk-beluknya. Kita tahu gawang di lapangan hijau hanya berfungsi satu, yaitu sebagai penentu skor pertandingan dua kesebelasan hanya dengan dimasuki bola yang disebut gol.

Tampaknya reporter kita ini tak suka merumitkan jiwanya dengan metafora yang menuntut logika bahasa tinggi. Dia membayangkan gawang yang belum kemasukan bola sama saja dengan gadis, perawan. Sama sekali tiada ruang bagi pembaca yang berjiwa penyair untuk mengolah rasa estetis dari keperawanan sang gawang karena, apa boleh buat, asosiasinya bersifat langsung, blak-blakan.

Di Jawa Tengah ritual melepas keperawanan dalam dunia ronggeng disebut bukak klambu. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari mengisahkan Srintil, gadis cilik calon penari tayub, yang harus menjalani inisiasi tersebut sebelum resmi menjadi ronggeng. Dia harus menyerahkan keperawanannya kepada pria yang mengajukan penawaran tertinggi. Bahkan, terhadap fenomena yang mengandung problem moral pun orangtua kita menjaga estetika budaya tutur.

Lain lagi di Natuna, Riau. Kaum nelayan memiliki istilah buka kelambu sebelah yang artinya tidur, berleha-leha selama musim utara, kala hujan, angin, dan gelombang besar memaksa mereka libur.

Kita patut belajar kepada orang tua bagaimana mengolah bahasa sebagai budaya tutur. Kita dituntut untuk kreatif terus-menerus, tetapi bahasa tidak hanya komunikatif. Ada etika, ada estetika, yang memperindah budaya tutur.

* Pujangga

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.