Bidadari

Rainy M.P. Hutabarat*, KOMPAS, 19 Mar 2016

Bom Sarinah melambungkan ”72 bidadari” dalam diskusi di media sosial dan opini media cetak. Lebih lengkap lagi: 72 bidadari dan pengantin surga. Bidadari di sini bukan makhluk fana yang bermukim di mayapada, melainkan penghuni surga yang kekal kecantikannya, kesetiaannya, pun cintanya. Tujuh puluh dua bidadari itu merupakan hadiah bagi setiap lelaki yang tewas sebagai syahid yang lalu menjelma menjadi ”pengantin surga”. Mereka akan melayani pengantin surga sepenuh jiwa-raga.

Kata bidadari diserap dari vidhyadari (Sanskerta) dan masuk melalui kitab-kitab suci Hindu. Kadang-kadang bidadari juga disebut dewi. Mereka berperan sebagai perantara dewa-dewa, sama dengan malaikat dalam agama Kristen dan Islam, untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Tugas lainnya: penggoda yang menguji keteguhan tapa brata para lelaki bijaksana nan sakti. Dewi Menaka, misalnya, adalah bidadari yang diutus Dewa Batara Indra untuk membatalkan laku tapa Resi Wiswamitra yang sakti. Kesaktian Wiswamitra menakutkan Batara Indra sehingga diutuslah Dewi Menaka untuk membatalkan laku tapanya. Dalam tugas ini, Menaka bekerja sama dengan bidadari lainnya, dan berhasil. Selain penggoda lelaki petapa, bidadari juga merupakan hadiah yang diberikan dewa kepada ksatria sebagai permaisuri atas keberhasilan menunaikan misi khusus. Dewi Supraba dihadiahkan kepada Arjuna atas jasanya membunuh Prabu Niwatakawaca dari Kerajaan Manimantaka yang sangat sakti, tak terkalahkan oleh dewa-dewa dan ditakuti manusia. Masih banyak lagi bidadari dalam teks-teks suci Hindu.

Seorang kawan berkomentar, keberadaan beberapa bidadari yang merupakan hadiah kahyangan bagi para lelaki suci, mengisyaratkan patriarki pun berlangsung di surgaloka. Kecantikan yang berkilau-kilau dipandang sebagai anugerah tak terbilang walau kerap menjadi pangkal bencana. Kawan lain bertanya, adakah bidadara untuk perempuan yang masuk surga?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV—Pusat Bahasa, bidadari diartikan sebagai ”putri atau dewi dari kahyangan” maupun ”perempuan yang elok”. KBBI tidak merekam kata bidadara yang berjenis kelamin laki-laki walau dalam Sanskerta terdapat vidhyadara sebagai pasangan bidadari. Kata vidhyadara terbentuk dari vidhya artinya pengetahuan dan dara yang berarti pemilik atau pembawa. Jadi bidadara bertugas sebagai pembawa kebijaksanaan dan pesan-pesan para dewa. Dalam Hindu, kata bidadara merupakan pasangan bidadari. Beberapa di antaranya bertugas sebagai gandarva (Jawa: gandarwa) yang piawai bermain musik dan menciptakan kidung-kidung indah bagi para dewa.

Teks-teks suci Hindu menampilkan peran bidadari lebih menonjol dan heroik ketimbang bidadara. Namun, keberadaan beberapa bidadari sebagai hadiah kahyangan bagi lelaki bijak nan sakti yang telah berjasa, atau sebagai pengusik laku tapa lelaki dengan kecantikannya, menghidupkan imajinasi tentang Hawa si penggoda. Kilau kecantikan mereka menutup sisi nestapa sebagai pelayan lelaki di kahyangan.

Tampaknya bidadara tak menarik untuk ditafsir ulang, sosok mereka lebih terpaku di relief-relief candi dan teks-teks suci Hindu. Tak heran bahwa kata ini tak terdaftar dalam KBBI dan Tesaurus Bahasa Indonesia susunan pekamus Eko Endarmoko. Dalam kosakata Indonesia, sebenarnya cukup banyak kosakata berpasangan yang diserap dari bahasa Sanskerta antara lain: pramugari-pramugara, mahasiswa-mahasiswi, biksu-biksuni, dewa-dewi, dan juga nonpasangan bayangkara-bayangkari. Sayangnya, bidadari tanpa bidadara.

* Cerpenis, Pekerja Media

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.