Makzul

Majalah Tempo, 8 Nov 2010. Qaris Tajudin: Wartawan.

“Impeachment bukan pemakzulan.” Demikian Saidi A. Xinnalecky memulai tulisannya di rubrik ini dalam kolom berjudul “Hikayat Pemakzulan” (Tempo, 25-31 Oktober 2010). Xinnalecky mengatakan kata makzul tidak tepat untuk menggantikan impeachment karena dalam bahasa aslinya (Arab) makzul tidak berarti menurunkan penguasa.

Ada banyak dalil yang ia utarakan, termasuk mengutip pengertian kata ‘azala (kata kerja dari ma’zul) di kamus-kamus bahasa Arab. Karena itu, Xinnalecky mengusulkan pencarian kata selain pemakzulan untuk menerjemahkan impeachment.

Ada banyak yang benar dari hujahnya, tapi tak sedikit juga yang kurang tepat. Untuk mengetahui ketidaktepatan itu, kita bisa memakai dua pertanyaan sebagai alat bantu. Pertama: benarkah orang Arab tidak memakai kata ma’zul (bentukan dari kata kerja ‘azala) dengan arti menurunkan penguasa dari kekuasaannya?

Pertanyaan kedua: kalaupun itu benar, apakah kita harus mengikuti makna asli makzul dalam bahasa Arab? Apakah kata serapan itu tak boleh memiliki makna sendiri saat berganti “paspor”?

Mari kita jawab pertanyaan pertama. Xinnalecky tidak salah saat mengatakan bahwa di teks-teks kuno-termasuk Maqtal al-Husain yang dikutipnya-kata ma’zul dipakai dengan arti mengasingkan. Tapi itu bukan satu-satunya arti. Dalam buku fikih kuno, kata ‘azl justru populer dengan arti coitus interruptus: mencabut alat kemaluan menjelang ejakulasi. Maklum, di masa itu tak ada kondom dan pil KB (keluarga berencana). Intinya, makna asli dari ‘azl adalah mencabut, entah mencabut seseorang dari tanah airnya (mengasingkan) entah mencabut alat kemaluan.

Jika Xinnalecky melanjutkan bacaannya pada buku-buku politik modern atau koran abad ke-21 (plus situs kantor berita asing berbahasa Arab), dia akan mendapatkan kata ‘azl yang berarti mencabut penguasa dari kursi kekuasaannya. Hal ini bisa dilihat dari berita Reuters (bahasa Arab) pada 25 Oktober lalu. Judul berita itu mengatakan, “Haakim Afghani saabiq yaquul innahu ‘uzila li-intiqadihi Iran.” Artinya: “Mantan penguasa Afganistan mengatakan dia dimakzulkan (‘uzila) karena kritis terhadap Iran.”

Demikian juga dengan berita di situs Aljazeera.net pada 2 Juli 2010, tentang pemecatan seorang gubernur di Yaman. Situs itu juga memakai kata ‘azala dengan arti memecat. Itulah mengapa kata tersebut terkadang dipakai untuk menerjemahkan kata impeachment, terutama saat sang penguasa bisa digulingkan (saat masih berupa tuduhan, makzul kurang cocok dipakai).

Seharusnya, dengan jawaban pertanyaan pertama itu, kita tak perlu lagi menjawab pertanyaan kedua (“apakah kita harus mengikuti makna asli makzul dalam bahasa Arab?”). Toh, makzul dalam bahasa Indonesia bermakna sama dengan ma’zul dalam bahasa Arab: penggulingan penguasa. Tapi mari kita kini berandai-andai. Seandainya kata ma’zul dalam bahasa Arab itu tidak berarti penggulingan penguasa, apakah kita tidak bisa mengartikan makzul sebagai impeachment?

Menurut saya, setiap kata yang berganti kewarganegaraan (diserap) akan bebas diartikan berbeda. Jika terpaku pada makna asli, kita akan membongkar Kamus Besar Bahasa Indonesia habis-habisan. Contohnya kata “kalimat” (kalimah). Dalam bahasa Arab, kalimah berarti “kata” (word dalam bahasa Inggris), bukan susunan kata yang ditutup dengan titik. Kalimat (sentence) dalam bahasa Arab adalah jumlah.

Yang harus dihapus juga dari kamus bahasa Indonesia adalah kata “madrasah aliyah”. Di dunia Arab mana pun-dari Maroko sampai Madinah-tidak ada SMA yang namanya “madrasah aliyah”. Di sana, SMA (Islam, sekuler, Kristen) disebut “madrasah tsanawiyah”.

Kata makzul memang tidak pas seratus persen untuk mengartikan impeachment secara tekstual. Tapi tak salah juga bila ada yang menulis berita berjudul: “Anggota DPR Ingin Memakzulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono”.

5 tanggapan untuk “Makzul

  1. “Yang harus dihapus juga dari kamus bahasa Indonesia adalah kata “madrasah aliyah”. Di dunia Arab mana pun-dari Maroko sampai Madinah-tidak ada SMA yang namanya “madrasah aliyah”.”

    Bah! Macammana ini? Katanya kalok kata sudah berganti “paspor” bebas saja mau diartikan apa? Kok masih protes juga tentang “madrasah aliyah”?

    1. Harusnya paragraf ini tidak perlu dicantumkan, agar argumentasi penulis terkesan kukuh. Saya setuju dengan Anda.

    2. Maksud penulis, kalau mau mempertahankan arti kata sesuai maksud asal, maka madrasah ‘aliyah untuk menyebut tingkatan pendidikan SMA juga harus dihapus dan diganti madrasah tsanawiyah.

  2. Setuju dengan Asum. Tampaknya Abang Wahyu keblingset saat beralih dari alinea kesembilan ke alinea kesepuluh sehingga keluar komentar itu.

Tinggalkan Balasan ke Abu Usamah as-Sulaimani Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.