Empat Salam

Majalah Tempo, 18 Jul 2011. Jamal D. Rahman, Penyair, Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison dan Jurnal Sajak

Mei lalu, saya ke Bali untuk acara sastra yang diikuti sekitar 700 orang. Ini kesekian kalinya saya ke Bali untuk acara serupa. Ada hal khusus setiap kali saya akan ke Bali untuk mengisi acara di depan khalayak. Diam-diam saya berlatih sendiri mengucapkan om swastiastu, agar lancar melafalkannya di depan hadirin.

Tahun 2002, untuk pertama kalinya mengisi acara di depan hadirin di Bali, saya tidak mengucapkan salam itu. Saya hanya mengucapkan assalamualaikum, selamat pagi, dan salam sejahtera untuk kita semua. Mendengar semua pengisi acara ketika itu–terutama tokoh-tokoh yang memberikan sambutan–mengucapkan salam om swastiastu, saya merasa bersalah. Saya merasa kurang menghormati hadirin karena tidak menggunakan salam dalam tradisi setempat. Setelah itulah saya belajar dan berlatih melafalkannya, terutama untuk keperluan mengucapkan salam di depan khalayak di Bali.

Bagi saya ketika itu, jauh lebih mudah melafalkan assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh tinimbang om swastiastu.

Di Jakarta atau di tempat-tempat selain Bali, sebagaimana banyak orang, biasanya saya mengucapkan salam pembuka sebanyak tiga kali, yaitu (1) assalamualaikum, (2) selamat pagi atau siang atau malam, dan (3) salam sejahtera untuk kita semua. Terutama dalam acara seremonial di Indonesia, sering kali tak kurang dari empat orang memberi sambutan, mulai tuan rumah, ketua panitia, pejabat setempat, sampai pejabat pusat. Bayangkan berapa salam pembuka diucapkan. Tapi tak apa, toh substansinya adalah doa, yakni memohon keselamatan dan kesejahteraan. Tentu kita harus banyak berdoa karena, konon, kita bangsa yang religius. Di Bali, saya menambah satu lagi ucapan salam, yaitu om swastiastu tadi. Jadi, sebagaimana hampir semua pengisi acara di sana, saya mengucapkan salam sebanyak empat kali.

Sebagian orang menyampaikan empat salam itu atas dasar latar belakang budayanya. Orang berlatar budaya Islam merasa lebih mudah–mungkin juga merasa lebih afdal–mengucapkan assalamualaikum; orang berlatar budaya Hindu merasa lebih mudah mengucapkan om swastiastu; orang berlatar budaya “nasionalis” atau “sekuler” akan mengucapkan selamat pagi, siang, sore, atau malam–dan menganggapnya bercita rasa “nasional”. Konon pula, orang yang memandang agama sebagai wilayah pribadi yang tak perlu ditonjolkan kepada publik akan menggunakan selamat pagi, siang, sore, dan malam.

Tapi, untuk sebagian yang lain, bahkan mungkin sebagian besar, orang menggunakan empat salam tadi dengan mempertimbangkan khalayak. Demikianlah bahasa, baik lisan maupun tulis, sering kali digunakan dalam hubungannya dengan pendengar atau pembacanya. Apakah orang akan menyebut lawan bicara atau pembacanya dengan kamu, kau, Saudara, Anda, atau Bapak/Ibu sangat bergantung pada apa yang diandaikannya tentang lawan bicara atau pembacanya itu.

Bahasa memang tak bisa lepas dari penggunanya, tapi sering kali tak bisa lepas pula dari khalayak-andaian yang disasarnya.

Keempat bentuk salam tadi tentu memiliki khalayak-andaian masing-masing. Di masjid, orang hanya mengucapkan assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh–tanpa selamat pagi, tanpa salam sejahtera untuk kita semua. Sebab, dia membayangkan khalayak-andaiannya seluruhnya umat Islam. Khalayak-andaian keempat salam tadi tampaknya memang berkaitan dengan agama: assalamualaikum untuk umat Islam; salam sejahtera untuk umat Nasrani; om swastiastu untuk umat Hindu; selamat pagi untuk pemeluk agama lain atau kalangan “sekuler”, “nasionalis”, atau “netral”.

Masalahnya, kenapa khalayak-andaian salam mesti dikotak-kotakkan atas dasar agama? Memang benar bahwa assalamualaikum sering digunakan oleh umat Islam dan om swastiastu oleh umat Hindu. Tapi bagaimanapun, keduanya adalah bahasa Indonesia. Keduanya tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring (dalam jaringan) alias online. Maka empat salam tadi sesungguhnya merupakan keragaman salam dalam bahasaIndonesia. Karena itu, kita boleh menggunakan satu; boleh dua; boleh tiga; boleh keempatnya sekaligus. Penggunaan satu, dua, tiga, atau keempatnya sekaligus sejatinya bukan karena khalayak-andaian yang terkotak-kotak atas dasar agama tadi, melainkan atas dasar pertimbangan lain. Misalnya latar belakang pengguna, pertimbangan waktu, atau sebagai apresiasi terhadap keragaman bahasa kita. Sekali salam diucapkan atau ditulis, sasarannya adalah seluruh khalayak atau pembaca, apa pun agamanya.

Bahasa Indonesia adalah pemersatu. Maka sejatinya ia menyatukan masyarakat, bukan mengotak-ngotakkannya.

Sumber gambar: blog gst ayu md pelani merta puri

12 tanggapan untuk “Empat Salam

  1. Karena sudah menjadi bahasa Indonesia, di hadapan khlayak apa pun kita cukup mengucapkan asalamau’alaikum. Toh artinya adalah semoga Allah menganugerahkan kedamaian, kasih sayang, dan berkah kepada anda. Kurang lebih sama dengan ‘salam sejahtera untuk kita semua’. Dan buat saya yang sepanjang usia dipaksa ngaji agama, ucapan ‘asalamualaikum’ merupakan satu-satunya kalimat sapaan yang fasih saya kuasai.

  2. jika anda islam, haram hukumnya jika anda bermaksud menujukan kata-kata “om swastiastu” yang artinya SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA kepada khalayak yang beragama hindu. karena ini termasuk syirik kepada allah, yaitu adalah kamu mengakui adanya tuhan mereka. ingat “tiada tuhan selain allah” yang selalu kamu ucapkan dalam bahasa arab tiap sholat di tahiyat akhir. namu beda dengan salam sejahtera, disini kita tidak mendoakan mereka. “salam bukan semoga” jadi intinya tidak sama. jika kamu ucapkan assalamualaikum, maka dalam dirimu kamu harus bermaksud mengucapkanya kepada orang islam.
    yang kedua yaitu jangan menjawab salam yang isinya doa (selamat pagi bkan doa) dari orang yang jelas anda tau bukan islam, silahkan menjawab tapi hanya “wa’alaikum”. untuk om swastiastu bisa juga di pakai “wa’alaikum” atau tidak di jawab. silahkan ditanyakan kepada guru agama atau petinggi agama lainya, di sekitar mu. ini demi kebaikan akhirat mu saudara.

      1. baca sejarah mas. bagaimana santunnya rasullah berkirim surat ke roma. beliau sangat menghormati adab hubungan international dengan juga membuat stempel (gambar stempelnya sayangnya digunakan oleh Daesh saat ini) mengikuti adab pergaulan international yang berlaku saat itu. islam agama yang beradab.

    1. baca sejarah mas. bagaimana santunnya rasullah berkirim surat ke roma. beliau sangat menghormati adab hubungan international dengan juga membuat stempel (gambar stempelnya sayangnya digunakan oleh Daesh saat ini) mengikuti adab pergaulan international yang berlaku saat itu. islam agama yang beradab.

  3. above response – thats the most ridiculous thing ive ever read. no wonder this country is degrading its morality.

  4. Kita tidak pernah memilih tatkala dilahirkan sebagai anaknya orang apa saja agamanya, berarti semua tidak ada yang salah dengan kelahirannya sebagai orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, Khong Hucu, atau atheis sekalipun, dan setahuku tak ada agama yang mengajarkan untuk tidak saling menghormati satu sama lain dalam hidup ini, marilah dalam negri Pancasila ini memahami arti hidup yang benar dan sebenarnya. Semua diciptakan Tuhan bukan untuk dibenci oleh Tuhan sendiri sebab semua getar semua gerak yang diciptakanNya adalah dalam kehendakNya pula.

  5. Wah bagaimana tentang toleransi beragama? Islam bukan untuk mengarab indonesia tapi menata dan memelihara umat lewat syariahnya…

  6. bapak bin malik yang terhormat…
    maaf saya tidak setuju dengan pemikiran anda.semua salam mempunyai arti yang sama,yaitu do’a untuk keselamatan.cuma berbeda dalam segi bahasa saja.anda menilai itu syirik jika muslim mengucapkan salam atau menjawab salam dari pemeluk agama lain.syirik darimananya???heran saya!!!padahal tiap2 salam dari berbagai agama adalah minta keselamatan kepada tuhan yang maha esa.apakah anda tidak mengakui tuhan yang maha esa???anda tau esa itu artinya apa???
    Ajaran nasrani atau yang lainnya aja mengajarkan untuk selalu memberi salam kepada setiap manusia tanpa membeda2kan suku,ras,atau agamanya.
    saya muslim&saya setuju dengan mereka.dosa,syirik,atau murtad.saya pikir,saya tidak punya kapasitas untuk men judge hal tsb pada seseorang.karena menurut saya itu adalah hak prerogatif tuhan.
    Ayolah,mari beragama secara cerdas dan penuh kasih sayang.marilah saling mendoakan untuk keselamatan&kesejahteraan kita semua.untuk indonesia dan dunia yang damai.
    Mohon maaf jika ada kalimat yang kurang berkenan.
    Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,shaloom,namaste,om swastyastu,salam sejahtera bagai kita semua. PEACE :)

  7. SAYA PUN DEMIKIAN, SEPENDAPAT :) “animal lovers..”,”chandri”
    Saya suka dengan pernyataan ini: “apakah anda tidak mengakui tuhan yang maha esa???anda tau esa itu artinya apa???”

    :)

    Mohon maaf:
    Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
    Shaloom Alaichiem,
    Namaste,
    Om swastyastu
    Salam sejahtera bagai kita semua.

Tinggalkan Balasan ke hams Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.