Satuan dan Ukuran

Yusi Avianto Pareanom* (Majalah Tempo, 7 Jul 2013)

Banyak cerita menarik dari masa lalu yang dikisahkan para senior kepada pendatang baru di Tempo. Salah satunya kegigihan Syu’bah Asa mencari satuan untuk kata tahi. Anda tidak salah baca, Syu’bah memang sedang mencari kata yang menurut dia paling tepat untuk menera berapa banyak kotoran yang keluar dari pelepasan. Syu’bah, yang mungkin Anda kenal sebagai pemeran D.N. Aidit dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI, begadang semalam suntuk dan belum mendapatkan hasil yang memuaskan juga. Pagi tiba, ia masuk ke kamar mandi. Begitu keluar, sambil menyeringai, ia mengabarkan temuannya: seecret. Mungkin raut mukanya saat itu tak berbeda jauh dengan roman Archimedes setelah menemukan dalilnya yang terkenal.

Saya tak tahu seberapa akurat penceritaan ulang itu. Saya juga belum sepenuhnya sepakat dengan temuan dari kamar mandi itu. Tapi imajinasi dan upayanya bersikap cermat layak dipuji. Satuan tahi belum dikenal dan Syu’bah tak mudah menyerah. Ia tidak sendiri dalam pencarian semacam itu. Sementara Syu’bah berkelana di “dunia bawah”, Danarto sufi, penelur realisme magis Indonesia bergerak di wilayah cahaya untuk menentukan satuan malaikat. Ia akhirnya memilih kata sekuntum. “Sekuntum malaikat”, indah dan lembut sekali.

Kecuali untuk benda yang tak lazim seperti contoh di atas, sesungguhnya bahasa Indonesia memiliki kosakata yang memadai untuk penyebutan satuan, antara lain sebilah, selembar, sebutir, sehelai, seekor, sebatang, dan sepucuk. Maka tidak ada alasan untuk tidak bersikap cermat. Pedang atau pisau, misalnya, lebih tepat diawali dengan kata sebilah ketimbang sebuah.

Yang menarik, ketika ada perhatian yang cukup untuk satuan, tidak demikian untuk ukuran. Dalam khazanah lama, ukuran selalu relatif. Untuk ukuran berat, kita mengenal sepikul, segulung, sepeti, dan sekarung. Untuk ukuran panjang, ada se­hasta dan sekilan. Ukuran-ukuran ini tak pernah sampai dibakukan seperti ukuran kaki dalam khazanah bahasa Inggris yang setara dengan 30,48 sentimeter, misalnya. Ukuran waktu lebih parah lagi, ada seumuran jagung dan sepena­nakan nasi.

Kita baru mengenal detik, menit, dan jam setelah kedatangan orang Barat. Tak jarang, rentang waktu yang relatif malah kita pakai untuk menentukan jarak dari satu titik ke titik lain, seperti sepengisapan pipa dan satu hari dua malam. Untuk yang terakhir, kita bisa menaksir bahwa lamanya waktu tempuh lebih-kurang 36 jam. Tapi berapa kilometer yang bisa ditempuh dalam perjalanan selama itu?

Apakah kita pada dasarnya kurang peduli kepada rincian dan hal ini berlanjut sampai sekarang? Ataukah sebetulnya pada masa lalu sudah ada pembakuan tapi tidak tercatat? Perlu penelitian tersendiri untuk itu.

Yang pasti, ukuran-ukuran yang terbilang longgar batasannya tersebut tak menghalangi munculnya karya cemerlang pada masa lalu, misalnya ratusan candi megah dan kapal berbagai jenis di banyak daerah.

Selain menguasai seni, para pembuatnya insinyur-insinyur hebat itu pastilah sangat paham ukuran yang mereka inginkan. Artinya, orang asli Indonesia tak asing dengan sikap ilmiah. Namun bagaimana mereka melakukan perhitungan jika tak ada ukuran yang baku?

Barangkali cerita berikut ini bisa memberikan sedikit gambaran. Beberapa tahun lalu, saya menulis buku tentang ekspedisi kapal Borobudur yang menceritakan pelayaran dari Indonesia ke Ghana, Afrika. Kapal yang dibuat berdasarkan model di relief candi itu melakukan napak tilas Jalur Kayu Manis yang ribuan tahun lalu dilayari pelaut-pelaut Nusantara, para perintis perdagangan dunia.

Kapal itu dirancang Nick Burningham, arkeolog kelautan dari Australia, dan pembuatannya dikerjakan As’ad Abdullah dari Pagerungan, Madura. Burningham dan As’ad mempunyai pendekatan yang berbeda. Soal panjang papan, misalnya. Burningham cemas kapalnya tak akan simetris karena panjang papan yang As’ad pakai berbeda dengan yang ia tulis di kertas. Akibatnya, mereka sempat berselisih. Yang tidak diketahui Burningham saat itu, dalam khazanah ­Pagerungan ada yang namanya “hitungan ganjil”. Perbedaan panjang itu sebetulnya sudah dihitung oleh As’ad dengan hati-hati sehingga polanya teratur. Alasan di balik “hitungan ganjil” menarik: menghindari kesempurnaan. Menurut As’ad, yang berdarah Bajo, sesuatu yang sempurna tak punya hasrat lagi untuk mencari. Sebuah perahu yang sempurna tak akan butuh lagi mencari ikan, muatan, teman, pelanggan, bahkan tanah baru. “Itu sangat metafisik tapi juga sangat puitis,” ujar Burningham. As’ad tak hanya membangun kapal, tapi juga menafsirkannya. Ukuran kapal akhirnya berubah lebih besar ketimbang rancangan awal. Mutunya? “Kelas satu, luar biasa bagus,” kata Burningham.

Pendekatan As’ad menandakan bahwa ia tak asal-asalan. Hanya, ia tak mencatatnya.

Apakah “hitungan ganjil” yang hidup di kepalanya tapi tak pernah terdokumentasikan ini sejatinya mental dasar orang Indonesia dalam menyikapi pemakaian angka dan peneraan?

Kalau ada sekuntum malaikat yang lewat, saya akan bertanya kepadanya.

*) Penulis, penerbit

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.