Lewah

Uu Suhardi*, Majalah Tempo, 8 Sep 2014

Benarkah di dunia ini tidak ada yang sempurna? Ternyata ada, misalnya kalimat. “Saya pergi” adalah contoh kalimat sempurna. “Saya” sebagai subyek, sementara “pergi” sebagai predikat. Begitu sederhana, tapi justru kesederhanaan itulah yang menjadikannya sempurna.

Dalam teori jurnalistik, selalu dikatakan bahwa berita, agar “sempurna”, harus memenuhi unsur dasar 5W (who, what, when, where, why) dan 1H (how). Tapi penekanannya bisa berbeda-beda. Jika peristiwa yang hendak ditonjolkan, unsur what didahulukan. Bila pelaku, korban, atau saksi yang lebih penting, unsur who yang ditonjolkan. Unsur dalam 5W + 1H yang sering dipakai memang what dan who. Unsur when dan where digunakan sebagai pelengkap. Sedangkan why dan how dipakai sebagai penjelasan.

Begitu pula kalimat. Kalimat sempurna sekurang-kurangnya harus memiliki subyek (who) dan predikat (what). Kalimat “Saya pergi” yang sempurna itu bisa diberi pelengkap (when dan where): “Kemarin saya pergi ke Bogor”. Bisa pula ditambahkan penjelasan (why dan how): “Berniat menemui seseorang, kemarin saya pergi ke Bogor menumpang mobil teman”.

Kalimat sempurna sangat berpotensi menjadi kalimat efektif, yakni kalimat yang dapat menyampaikan informasi atau gagasan penulisnya secara tepat kepada pembaca. Kalimat efektif selalu berupa kalimat yang singkat, padat, jelas, lengkap, dan cermat. Jika syarat itu tak terpenuhi, kalimat akan tergelincir menjadi tidak efektif.

Salah satu penyebab kalimat tidak efektif adalah pemakaian kata mubazir, yaitu kata yang bila dihilangkan tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi. Sifatnya yang berlebihan bahkan menghasilkan kalimat rancu atau kacau.

Di media massa, kerap saya dapati kalimat rancu semacam ini: “Dalam sebuah kemelut di sisi kanan gawang Barcelona, membuahkan tendangan pojok”. Kalimat itu kacau karena kehilangan subyek. Jika “dalam” di awal kalimat dibuang, kerancuan hilang dan kalimat itu menjadi efektif: “Sebuah kemelut di sisi kanan gawang Barcelona membuahkan tendangan pojok”.

Kata “dalam” di dalam kalimat itu merupakan kata depan yang mubazir atau lewah. Kata lewah yang muncul memang banyak berupa kata depan. Juga kata sambung.

Saya ambilkan contohnya: “Karena pengalamannya di parlemen, membuat dia diandalkan dalam urusan lobi dengan partai lain”. Jika “karena” dihapus, kalimat itu menjadi efektif: “Pengalamannya di parlemen membuat dia diandalkan dalam urusan lobi dengan partai lain”.

Harus diakui, kelewahan kata bertebaran di media massa. Ironisnya, di satu sisi, media gemar menggunakan singkatan (terutama akronim), tapi di sisi lain sering memakai kata secara berlebihan. Saya tuliskan tiga saja contohnya: (1) “Mendag berjanji akan melindungi UKM”, (2) “DPP IKAPPI meminta kepada pemerintah untuk melakukan upaya dan antisipasi”, (3) “Kadin meminta kepada pemerintah agar lebih serius dalam menjalankan paket kebijakan tersebut”.

Silakan buang kata-kata yang tercetak miring dalam tiga kalimat yang mengandung singkatan tersebut. Maka akan kita dapatkan kalimat efektif.

Ada lagi kalimat “Dua kubu pendukung saling berhadapan” dan “Masyarakat seolah-olah terbelah menjadi dua kubu yang saling berseberangan“. Imbuhan “ber-an” antara lain berfungsi menyatakan makna saling atau perbuatan timbal balik. Jadi, kata “saling” sama sekali tak dibutuhkan dalam kedua kalimat tersebut.

“Mantan” atau “bekas” juga merupakan kata yang sering dipakai padahal tak diperlukan. Kalimat “Yudhoyono mengaku siap berkomunikasi dengan mantan presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri” dapat dijadikan contoh. Sampai kapan pun, Megawati akan tetap menjadi presiden kelima Indonesia, sehingga kata “mantan” tak dibutuhkan. Kata “bekas” dalam “Pallister, bekas pemain Manchester United tahun 1989-1998, mengunjungi Bandung” juga contoh kata yang lewah karena sampai kapan pun Pallister adalah pemain Manchester United tahun 1989-1998.

Ada kalimat yang, jika dibaca sekilas, se­olah-olah tanpa masalah, seperti “Meski mengukir sukses fantastis, Jepang tak mau berhenti sampai di sini”. Kalau kita perhatikan, ada kejanggalan di situ. Bisakah sesuatu “berhenti sampai di sini”? Tentu tidak. Bentuk yang ringkas dan tanpa masalah adalah “berhenti di sini”.

“Ia mulai berkuasa sejak 1981″ juga seperti tanpa persoalan. Padahal, bila “mulai” yang lewah itu dibuang, tampillah kalimat efektif: “Ia berkuasa sejak 1981”.

Sebagian orang berpendapat, dalam menulis, yang penting adalah pesan yang kita tulis sampai kepada pembaca. Kata lewah pun bukan masalah jika pembaca memahami tulisan kita. Maka seorang teman menulis begini: “Karena saya gila, sehingga menjadikan saya mudah tertawa”. Mungkin kalimat itu dapat dipa­hami, tapi akan jauh lebih mudah dimengerti bila kata-kata lewahnya dibuang: “Saya gila sehingga mudah tertawa”.

Arswendo Atmowiloto, penulis banyak buku, menyatakan tanpa melewa bahwa menulis itu gampang. Saya pun berani mengatakan, bagi penutur aslinya, bahasa Indonesia sebenarnya persoalan gampang, tapi kerap digampang-gampangkan sehingga menjadi masalah yang rumit.

*) Redaktur Bahasa Tempo

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.