Bebas dari Belenggu

Sori Siregar* (Kompas, 20 Agu 2016)

Tahun  1973 penyair Sutardji Calzoum Bachri mendeklarasikan kredonya yang mengejutkan. “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Dalam  kesehari-harian kata cenderung dipergunakan  sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh  untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.”

Penggalan kredo yang saya kutip ini jelas memperlihatkan sikap Sutardji terhadap kata. Baginya kata telah dibelenggu dan menjadi pesuruh. Karena itu,  dalam puisi-puisinya  kata-kata dibiarkannya bebas. Tidak mengherankan jika dalam puisi-puisinya,  Sutardji sering mendobrak aturan main berbahasa yang lazim dipatuhi. Dalam hal ini Sutardji radikal dan berani.

Prinsip Sutardji membebaskan kata dari belenggu pengertian mungkin berpengaruh juga terhadap sejumlah penyair lain. Bedanya, para penyair ini tidak seradikal Sutardji dalam bersikap. Tampaknya mereka  hanya ingin membebaskan diri dari belenggu ejaan. Ejaan dianggap mengganggu karena selalu berubah. Mereka merasa berhak menggunakan apa yang disebut  licentia poetica.  Ejaan bagi mereka bukanlah sesuatu yang harus dipatuhi karena ejaan tersebut  ditetapkan oleh sejumlah orang yang dianggap punya otoritas menentukan dan mencantumkannya dalam kamus. Karena itu, jika dalam puisi Anda masih menemukan ejaan faham sebagai pengganti paham atau nafas sebagai ejaan yang baku, bukan napas, Anda tidak perlu terkejut. Ada penyair yang menggunakan ruh (bukan roh), di depanMu (bukan di depan-Mu ), Kemis (bukan Kamis).

Kita tidak tahu apakah membebaskan jepitan dari belenggu ejaan ini dilakukan penyair secara sadar seperti yang dilakukan Sutardji atau secara tidak sengaja karena malas mengikuti perkembangan bahasa. Saya lebih cenderung mengatakan bahwa ini semata-mata kelalaian atau kekeliruan. Menurut survei Unesco (2012),  hanya 0,0001 persen rakyat Indonesia yang membaca serius. Mungkin teman-teman penyair yang melanggar kaidah ejaan ini lebih suka membaca puisi mereka sendiri dan mengaguminya. Semoga tidak.

Masyarakat pun sebenarnya sering melanggar dengan sengaja atau tidak dengan sengaja ejaan-ejaan yang telah dibakukan. Ini ada kaitannya dengan kebingungan. Ada yang bertanya mengapa objektif  sebagai kata sifat tiba-tiba berubah menjadi objektivitas ketika menjadi kata benda. Mengapa bukan objektifitas? Begitu pula dengan kata produktif, subjektif, efektif, dan kata-kata yang berakhir dengan “-if” lainnya.

Kemalasan membaca kamus karena merasa telah “menguasai” bahasa Indonesia adalah penyakit laten sebagian anggota masyarakat. Saya bukan mengada-ada kalau mengatakan ada orang yang tidak tahu apa itu “kamus”. Alangkah malang orang ini.

Kalaupun orang yang malang  ini belakangan mengetahui adanya kamus dan tesaurus serta ingin membacanya, belum tentu semudah itu  ia memahaminya karena penjelasan makna kata dalam kamus itu tidak mudah  dipahami. Kita ambil contoh kata integritas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV yang dimaksudkan dengan kata itu adalah “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan”. Tidak mudah bagi orang awam memahami penjelasan tersebut, termasuk orang yang tak pernah mengenal kamus itu.

Jika Sutardji berani membebaskah kata dari tugasnya sebagai pesuruh, para penyair lain seperti halnya masyarakat awam mungkin masih malu-malu membebaskan diri mereka dari belenggu ejaan. Karena itu, jika terjadi kesalahan penulisan ejaan, kesalahan tersebut lebih disebabkan oleh ketidaktahuan, bukan karena ingin bebas dari belenggu.

Namun, ada satu hal yang kita tiru dari Sutardji, yaitu mengubah label kelas kata. Larik-larik dalam puisinya, “Solitude”, berbunyi yang paling mawar/yang paling duri/yang paling sayap…(dan seterusnya). Dalam larik-larik tersebut Presiden Penyair ini menggunakan kata benda mawar, duri, dan sayap menjadi adjektiva, sesuatu yang tidak lazim. Ternyata ada pihak yang tidak mau kalah. Lalu terciptalah kata angkat berat. Adjektiva berat kita jadikan nomina dalam frasa tersebut. Kalau Sutardji menjadikan kata benda menjadi kata sifat, pihak yang tidak mau kalah ini menjadikan kata sifat menjadi kata benda. Mungkin maksud pencipta frasa ini adalah membebaskan diri dari belenggu label kelas kata. Mungkin.

* Cerpenis

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.