Wisata Kuliner

Sapardi Djoko Damono* (Majalah Tempo, 26 Sep 2016)

Hidup di Jakarta (dan Depok, Bogor) tidak bisa dipisahkan dari kemacetan, kata orang. Kemacetan jelas tidak membahagiakan dan menyehatkan, tapi bisa saja digeser menjadi sejenis wisata kalau saja kita punya niat mengubahnya, dan caranya mudah saja—antara lain dengan mengamati nama-nama warung sepanjang jalan; semakin macet, biasanya semakin banyak warung. Dan memang di pinggir jalan serupa itulah kita menemukan deretan warung, atau resto, yang bersaing menjerat pengendara motor yang kelelahan dan kelaparan dalam perjalanan pulang. Kalau di kompleks perumahan atau kampung makanan dijajakan dengan teriakan dan bunyi-bunyian, di sepanjang jalan macet yang mahabising oleh knalpot dan klakson upaya memanfaatkan bunyi untuk menjerat pelanggan tentu tidak semestinya dilakukan. Kecuali hanya membikin serak si penjual, juga berpotensi mengganggu pengguna jalan yang diam-diam tentu memimpikan suasana tenang.

Wisata kita tidak harus berujung pada kenikmatan menyantap makanan tapi sekadar pada kenikmatan membaca nama-nama warung. What’s in a name, that which we call a rose by any other name would smell as sweet, kata Shakespeare lewat tokoh Juliet dalam tragedi Romeo and Juliet. Iya, tentu saja: mawar tetap saja wangi meskipun kita namakan mawar, rose, atau ros. Tapi penjual bakso mungkin berpikiran lain, bakso dan bakso tidaklah sama rasanya. Itu yang ditawarkannya: perbedaan rasa. Pengendara sepeda motor tentu tidak dengan serta-merta bisa membedakan rasa bakso yang ditawarkan kalau ia hanya nongkrong di kendaraannya dan hanya membaca nama-nama warung bakso yang mungkin sudah dihafalnya setelah sekian ratus kali dilewatinya dalam setahun.

Ada warung “Bakso Solo”, ada juga “Bakso Wonogiri” di Jakarta. Si pemilik warung mungkin akan menamakan warungnya “Bakso Jakarta” kalau membuka warung di Kartasura atau Pracimantoro. Demikianlah maka di Jakarta ada ratusan (ribuan?) nama warung yang memanfaatkan nama kota: bubur, martabak, sate, pecel, dan sebagainya dibubuhi nama kota untuk meyakinkan pelanggan bahwa rasa masing-masing jenis makanan dari berbagai kota itu berlain-lainan karena berasal dari kota yang berlain-lainan pula. Tentu di Jakarta ada juga yang menamakan warungnya “Bakso Jakarta”, tapi orang Jakarta mana yang tertarik mencicipi baksonya sendiri, bukan? Demikianlah maka bakso, yang konon asal-usulnya dari tanah nun jauh di utara sana, paling banyak “menderita” gara-gara penjualnya harus selalu mencari akal untuk menempelkan macam-macam label di belakang kata “bakso”.

Nama-nama kota seperti Malang, Solo, dan Wonogiri paling sering mengiringi bakso. Nama-nama kota juga suka ditempelkan di bakmi, sate, dan martabak. Di sepanjang Jalan Blora (sekarang bangunannya sudah dibongkar) semua warung dikelola oleh orang berkumis, setidaknya demikianlah label yang ada pada nama pedagangnya. Apakah mereka itu semua berkumis, tidak usahlah kita usut—juga seandainya memang berkumis apakah kumisnya palsu atau asli, tidak juga ada manfaatnya kita usut. Bukankah pertanyaan retorik Shakespeare berbunyi, What’s in a name? Kalau satenya keras, yang memanggang pakai atau tidak pakai kumis ya sama saja, bukan?

Namun sebaiknya kita lupakan saja bagaimana William Shakespeare dan kita membaca nama-nama makanan yang berderet di sepanjang jalan. Kembali ke bakso. Apakah nama kota yang berlain-lainan yang melabeli bakso menjadikannya berbeda rasanya? Ya itu yang hendak ditekankan oleh penjual, meskipun tergantung lidah kita juga beda atau tidak rasanya. Kalau bukan rasanya tapi bentuknya, apakah pelabelan juga bisa membedakan rasanya? Apakah kalau namanya bakso atom akan berbeda dengan bakso nuklir? Apa gerangan atom dan nuklir? Atom adalah partikel terkecil dari unsur kimia, nuklir adalah inti atom. Jadi keduanya kecil sekali dan tidak akan kelihatan oleh mata telanjang. Namun, dalam hal bakso, ukuran yang berkaitan dengan dua label itu menjadi tidak bermakna kalau dideretkan dengan label-label lain, seperti bakso urat, bakso tahu, dan bakso goreng. Bakso nuklir jelas kasatmata, dan mungkin saja lebih besar bentuknya dari bakso atom.

Di akhir tulisan ini, ada baiknya kita tanyakan maksud penamaan sebuah warung di Depok yang menjual “Bebek Rasa Ayam Kampung”. Yang diledek bebek atau ayam, atau kita yang bisa saja berkomentar, “Ya makan ayam kampung saja, jelas rasanya persis ayam kampung!” Jelas yang ini sama sekali bukan urusan pacar Romeo meskipun bisa saja semakin meyakinkan kita akan kebenaran aksioma Ferdinand de Saussure, bahwa penamaan itu arbitrer adanya, sama sekali tidak didasarkan pada akal atau sistem tertentu.

* Guru, Sastrawan

2 tanggapan untuk “Wisata Kuliner

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.