Serapan: Hukum Bahasa atau Praktik Sosial?

Dodi Ambardi* (Majalah Tempo, 19 Des 2016)

Kita akrab dengan sejumlah kata benda seperti normativitas, figuritas, dan historisitas. Kita pun akrab dengan kelompok kata sifat solutif, konsolidatif, dan kolutif.

Kata ini banyak digunakan dalam berbagai pernyataan, judul berita, tajuk buku, atau kepala karangan ilmiah, dan kadang dalam percakapan sehari-hari. Sekadar misal, sebuah media berita daring (dalam jaringan) menuliskan judul berita Jokowi Menang Karena Figuritas; atau sebuah buku ilmiah memakai tajuk Studi Agama: Normativitas atau Historisitas; dan sebuah makalah memampang judul Historisitas dalam Filsafat Confucius.

Contoh lain dari media daring yang berkaitan dengan kata sifat serapan, … Putusan MK Dinilai Tidak Solutif, Kita Potong Sistem Lama yang Kolutif, dan Indeks Saham Bergerak Konsolidatif Hari Ini….

Di permukaan, tak ada yang aneh dengan dua kelompok kata ini, yang semuanya bersumber dari khazanah kata Inggris. Kita pun tahu, komentator media dan wartawan telah berjuang keras untuk menemukan kata benda itu agar bisa menyampaikan secara jernih pikirannya ke publik. Tapi penelusuran tentang seluk-beluk kata asli dan pembentukan turunannya ternyata menyingkap hal menarik.

Dalam tata bahasa Indonesia, salah satu cara proses pembendaan kata serapan Inggris dilakukan dengan mengganti penggalan terakhir ty dengan tas. Commodity lantas diindonesiakan menjadi komoditas, integrity menjadi integritas, activity menjadi aktivitas, dan seterusnya. Namun, kalau prosesnya kita balik, yakni mencari bentuk asli dalam versi Inggris, kata bentukan yang kini populer seperti figuritas, normativitas, dan positivitas ternyata tak memiliki rujukan aslinya di kamus standar Inggris-Inggris. Oxford Dictionary atau kamus populer Merriam-Webster Dictionary tidak memuat entri figurity, normativity, dan historicity. Dalam versi dalam jaringan, pencarian kata itu akan berakhir pada jawaban “tidak ditemukan”, atau “maaf, mungkin ejaan anda salah”, atau “yang anda maksudkan adalah…”.

Mustahil untuk menemukan entri collutive dan solutive di kamus-kamus tersebut. Untuk yang pertama, sesungguhnya penulisan yang benar dalam versi Inggris adalah collusive. Jadi, turunan yang benar dalam versi Indonesia mestinya kolusif, bukan kolutif. Sedangkan untuk yang kedua memang tidak ada versi aslinya.

Jadi, mana yang harus kita jadikan hukum: (a) pengindonesiaan kata serapan yang benar seharusnya mengikuti pola yang selama ini sudah ada seraya mengabaikan ada atau tidak adanya versi asli, atau (b) kita sebaiknya hanya menerima pengidonesiaan kata serapan sebatas pada kata-kata yang bisa ditemukan versi aslinya?

Rujukan otoritatif Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mungkin bisa kita fungsikan sebagai hakim. Kalau sepakat dengan ini, kita harus membuang jauh-jauh penggunaan kata serapan yang tak memiliki akar aslinya. KBBI, setidaknya dalam versi daringnya, tidak memuat kata figuritas, positivitas, dan normativitas. Ia juga tidak memuat entri kolutif, solutif, dan konsolidatif.

Repotnya, kita belum bisa sepenuhnya duduk tenang dalam naungan KBBI. Inkonsistensi muncul dalam pengindonesiaan kata celebrity. Kamus tebal berversi daring itu tidak mendaftar selebritas dalam larik halamannya sebagaimana pola lazim pengindonesiaan kata benda berbahasa Inggris, tapi justru memunculkan entri selebriti. Mungkin, untuk selera personal, kita lebih nyaman dengan menggunakan terjemahan Indonesianya, yakni pesohor. Tapi, kalau urusannya adalah konsistensi pengindonesiaan terhadap kata serapan Inggris (dan Eropa lainnya), sodoran kata pesohor bukanlah jawaban yang memuaskan.

Ada problem inkonsistensi lainnya dalam KBBI versi daring. Kita menemukan entri parsial, komikal, kontekstual, leksikal, dan banyak lagi—yang memiliki padanan dalam versi Inggrisnya. Tapi, dalam versi daring, kita secara pasti tidak akan menemukan dalam KBBI entri praktikal, medikal, dan fokal. Ketiganya adalah kata sifat yang dalam bentuk Inggrisnya tereja practical, medical, dan focal. KBBI daring memuat entri dalam halamannya dengan ejaan yang tertulis praktis, medis, dan fokus—kata yang terakhir ini memiliki fungsi rangkap sebagai kata benda dan kata sifat sekaligus.

Tapi mungkin kita memang tak perlu cemas karena inkonsistensi menjangkiti hampir semua bahasa. Karena itu, percuma belaka kita menegakkan konsistensi secara terus-menerus saat berbahasa. Dalam bahasa Inggris, kita pun menemukan inkonsistensi cara penulisan kata benda sehingga kita susah menentukan kapan kata benda harus diakhiri dengan “y” atau dengan “ness”. Ada polanya memang, tapi sesekali inkonsistensi hadir. Mengapa, misalnya, kata sifat glorious memiliki kata benda glory padahal kata sifat serious memiliki kata benda seriousness?

Dalam bahasa lokal pun, sejumlah inkonsistensi itu juga muncul.

Seorang teman dari Minahasa yang menyelesaikan kuliah di Yogyakarta enggan belajar berbahasa Jawa untuk sekadar memudahkannya bergaul meskipun mayoritas teman kuliah dan teman kosnya berbahasa Jawa. Ketika ditanya, begini alasannya, “Bahasa Jawa itu susah, banyak yang tidak konsisten. Coba lihat kata ‘patang-puluh papat’. Semestinya orang Jawa mengucapkannya patang-puluh patang. Bukankah para pemakai bahasa Indonesia mengucapkan dan menuliskan empat-puluh empat….”

Tampaknya, ada baiknya kita mengejar konsistensi hukum bahasa, tapi kita juga perlu bersiap-siap kalah dalam praktik sosial. Apalagi jika media massa justru mempopulerkan kesalahan-kesalahan bahasa.

* Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.