Konser dan Tahlil

Ahmad Sahidah (Pikiran Rakyat, 18 Jun 2017)

Istighotsah kubro Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (9 April 2017) memantik dukungan luas dari segela penjuru. Di tengah keriuhan kelompok garis keras menyuarakan ide Islam Syariah, isu khilafah, dan aksi Bela Islam, kaum tradisionalis menyerukan kecintaan pada tanah air. Sebagai niat murni, seruan ini bergema bersama video tular (viral) yang menggambarkan ratusan ribu orang menyanyikan lagu “Syubbanul Wathon” dengan tangan bergerak di dada.

Peristiwa bersejarah di Stadion Gelora Sidoarjo mendapat respons dari pemilik akun Facebook Gaki Farid sebagai konser tahlil. Serta-merta, Ansor Sumenep bereaksi. Pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut dituduh menyinggung perasaan warga NU dan diminta untuk melakukan klarifikasi (tabayun) ke kantor Pengurus Cabang NU Sumenep. Penyamaan istighotsah kubro dengan konser tahlil adalah keliru, sebab yang pertama adalah pagelaran musik dan kedua adalah ibadah.

Dua kata ini, konser dan tahlil, mengingatkan saya pada lagu Rhoma Irama, “La ilaha illallah”. Bayangkan jika orang nomor satu Partai Idaman ini membawakan lagu tersebut di atas pentas! Adakah kita bisa menyebutnya sebagai konser tahlil? Mengapa kita alergi dengan lema konser? Secara transliterasi, penulisan istighotsah kubro semestinya adalah istighatsah kubra, karena bunyi fathah sepatutnya ditulis dengan a, bukan o. Memang dalam pengucapan ia terdengar seperti bunyi vokal o, bukan a. Bagaimanapun, kaum santri memandang serius kefasihan dalam melafalkan bahasa Arab.

Dengan andaian bahwa istighatsah kubra sebagai ibadah karena merupakan kegiatan doa bersama, siapa pun tidak akan menyangkalnya. Namun, video yang menyebar adalah kerumunan massa berbaju putih dan menyanyikan nomor “Syubbanul Wathon”. Layaknya lagu mars, nada bersemangat tentu melahirkan perasaan menggelegak khalayak. Para kiai tampak diam semasa lagu ini dinyanyikan. Jelas, mereka lebih menunjukkan dukungan untuk berdoa bagi kejayaan agama, bangsa dan negara. Tulus, bukan akal bulus untuk transaksi politik.

Kejengkelan kaum Nahdliyyin bisa dimaklumi karena konser tidak layak disematkan pada kegiatan suci. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) lema ini diartikan sebagai pertunjukan musik di depan umum; pertunjukan oleh sekelompok pemain musik yang terjadi dari beberapa komposisi perseroangan (hlm. 726). Tanpa mengurangi kesakralan, sebenarnya istighatsah kubra tidak bisa dilihat secara hitam-putih sebagai majlis bermunajat pada Tuhan. Justru kalau mencermati video yang sengaja diviralkan, nyanyian “Syubbanul Wathan”, membayangkan unsur-unsur konser.

Sayangnya, KBBI hanya memuat makna yang terkait pementasan seni, padahal concert bisa berarti harmoni dan bersama. Dalam Cambridge International Dictionary of English (1997: 281), sebagai kata benda, concert merupakan padanan dari lema konser. Namun, dalam bentukan gramatikal, ia bisa berubah menjadi kata sifat dengan penambahan ed, concerted, yang mempunyai makna diusahakan bareng untuk tujuan bersama. Selain itu, sebagai kata keterangan ia bisa bermakna bersama dengan didahului kata depan in, seperti we would like to recite tahlil in concert. Contoh kalimat ini berarti kita suka membaca tahlil bersama-sama, bukan dalam konser.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.