Kata Asing

Kata asing

Samsudin Berlian*, KOMPAS, 27 Sep 2014

SAHABAT Eko curhat. Dia membantah pedih tuduhan keji bahwasanya bahasa Indonesia tidak sanggup berkiprah dalam dunia kontemporer, terutama berkaitan dengan sains dan teknologi, bahkan hampir dalam segala hal termasuk sosiologi, kebudayaan, dan kesenian. Jangankan segala macam istilah aneh di dalam game consoles milik generasi masa depan, atau huruf-angka-tanda terangkai misterius di dalam pesan-pesan elektronik seperti IMHO URSAI 10Q **//, bahkan dalam urusan makan-memakan pun susah menemukan padanan kata kuliner.

Dari zaman sebelum kata pesbuk dan ponsel merajalela, guru-guru pembangga bahasa Indonesia sudah dengan gigih sekaligus gelisah berusaha meyakinkan anak murid bahwa bahasa persatuan mereka bukan hanya bisa bersaing dengan, bahkan sebetulnya lebih kaya daripada, bahasa asing. Buktinya sangat mudah digembar-gemborkan. Dalam bahasa Inggris, kata mereka, orang hanya kenal rice untuk menyebut segala hal berkait beras, dari sawah sampai ketupat. Dalam bahasa Indonesia masih ada pula padi, dedak, gabah, sekam, bekatul, menir, lukut, melukut, lemukut, belukut, temukut, antah, busi, merang, pesak, roman, ketan, pulut, sipulut, nasi, bubur, kupat, lontong, lemang, bertih, lemper, wajik, jenang, jadah, dodol, lepat, klepon, rengginang, dst. Sepenuh kolom ini tidak akan cukup luas apabila segala macam nama dan istilah terkait dari daerah-daerah Nusantara ikut didaftarkan.

Sebaliknya, pembiasa bahasa asing dengan enak mengatakan bahwa sementara kita hanya bisa ngomong soal daging ini atau daging itu yang mahal-mahal itu, orang Inggris berkecap nikmat bukan hanya tentang meat, melainkan juga beef, veal, pork, ham, mutton, poultry, game, venison, lamb, cut, jerky, sausage, bacon, brisket, steak, chop, chuck, chump, rump, salami, sirloin, dll. Lebih daripada itu, kehidupan modern Indonesia tidak bisa dibicarakan dan dituliskan, bahkan tidak bisa dipikirkan, tanpa istilah asing, entah yang menyelusup diam-diam atau yang sudah memiliki visa resmi Badan Bahasa. Lagi pula, kata Indonesia sendiri terbentuk dari gabungan dua kata Yunani: indos dan nesos. Dan kita akui saja dengan pasrah bahwa fondasi bahasa tulis kita, huruf-huruf yang anda baca sekarang ini, pun bernama huruf Latin yang asing itu.

Sebagai bagian dari perseteruan kebanggaan kebangsaan, penolakan menggebu-gebu terhadap kata asing biasanya mewujud sebagai penolakan terhadap ”pengaruh” dan ”dominasi” Barat yang dianggap terlalu berkuasa itu. Penggantinya? Apa saja yang bukan Barat, termasuk kata asal India atau Arab, yang asing juga, tetapi tidak dianggap ancaman, melainkan sekutu. Sipil diganti dengan madani Arab, disk komputer diusulkan menjadi cakram Sanskerta, dekade dijadikan dasawarsa India.

Karena menyangkut kekuasaan, sebagian orang bersikukuh melarang pemakaian kata asing (Barat) tertentu oleh umum melalui birokrasi. Beberapa pemerintah daerah melarang toko dan kantor memakai istilah asing, bahkan memaksakan perubahan nama asal Barat, sementara nama asal India dipuja-puja. Bagi mereka ini, penolakan terhadap kata asing Barat adalah bagian dari perang peradaban.

Mencari dan menemukan padanan kata asing tentulah bukan buruk, bahkan patut dipuji.

Yang agaknya terlupakan adalah bahwa makna dan konsep kata tidak bisa diterjemahkan apabila belum pernah dikenal.

Ketika mouse diterjemahkan menjadi tikus, penerjemahan terjadi total karena kita sudah tahu sebelumnya apa arti tikus. Namun, ketika mouse disebut tetikus, kita hanya mendapatkan bunyi dan tulisan kata baru tanpa makna. Untuk memahami apa itu tetikus, kita harus belajar tahu apa itu mouse komputer, yang maknanya tetap saja ditentukan oleh ”asing”. Kebanggaan yang datang dari tetikus adalah kebanggaan rangkaian huruf dan bunyi tanpa makna.

Kebanggaan sejati datang dari makna dan konsep yang terkandung di dalam kata itu.

Orang Eropa mengambil kata aljabar dari bahasa Arab karena mereka membaca dan belajar dari Al-Kitab al-mukhtasar fi hisab al-jabr wa’l-muqabala karya Abu Abdallah Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi. Besarlah penghormatan kepada matematikus Persia ini sehingga namanya diabadikan sebagai algoritma, yang sampai sekarang masih, dan akan lama lagi, dipelajari murid-murid sekolah di muka bumi. Jepang memperkenalkan karaoke, sushi, dan manga ke seluruh dunia. Kita pun bangga mengekspor sarong dan batik ke dalam bahasa Inggris walaupun mungkin agak malu dengan amok.

Kehebatan atau kebesaran bahasa tidak pernah bisa dan tidak akan bisa ditegakkan dengan kehendak politik, preferensi pakar bahasa, keputusan lembaga bahasa, peraturan pemerintah, atau kampanye nasionalistik bahasa.

Upaya menghambat dan melarang kata asing terkesan picik dan mencerminkan inferiority complex. Inovasi dan kreasi, yakni substansi, menentukan apakah bahasa Indonesia akan punya gengsi nasional dan internasional, dicari-cari dan diinginkan. Apabila cukup banyak pemakai bahasa Indonesia menjadi penyumbang dan pelopor dalam berbagai disiplin keilmuan, sains, teknologi, kebudayaan populer, karya tulis adiluhung, dst, kita akan memiliki kebanggaan yang tidak dipaksakan.

Andaikata putri Sahabat Eko menjadi fisikawati penemu partikel elementer baru dan menamainya indoneson, semua murid sekolah selama berabad-abad mendatang akan menghafal namanya dan belajar tentang negeri dan bahasanya. Semoga.

*) Penulis <3 Semua Kata

Sumber gambar: Pond5

7 tanggapan untuk “Kata Asing

  1. Saya sebetulnya tidak ada masalah jika ada kata-kata serapan asing masuk ke dalam bahasa Indonesia. Namun saya mempermasalahkan jika kata-kata yang hendak masuk itu sudah memiliki padanannya tapi orang Indonesia lebih doyan melafalkan istilah yang sedang berusaha untuk diindonesiakan tersebut.

  2. Agak lucu jika menghambat masuknya kata-kata asing dikatakan sebagai mencerminkan inferiority complex, sementara pendapat lain menganggap sebaliknya, dengan mudah menyerap kata asing ke dalam bahasa Indonesia justru dikatakan sebagai mencerminkan inferiority complex. Menurut saya, inferiority complex secara mudah bisa diartikan sebagai sikap rendah diri. Dengan makna tersebut maka yg lebih cocok mencerminkan inferiority complex adalah yg dengan mudah menyerap kata asing ke dalam bahasa Indonesia. Karena kita orang Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia yg konon katanya kaya kosa kata, mengapa bukannya kita menggali bahasa kita sendiri saja alih-alih menyerap bahasa orang lain? Merasa asing dengan bangun bahasa sendiri justru memperkuat tanda adanya inferiority complex pada diri kita. :)

  3. Saya setuju dengan Bee mengenai inferiority complex, tetapi tidak sepenuhnya.
    Menurut saya ada tiga alasan mengapa bahasa asing (terutama bahasa Inggris) diserap dan dipakai oleh masyarakat:
    1. Inferiority complex, yaitu menganggap memakai kata2 bahasa Inggris dalam percakapan atau tulisan membuat si pemakai merasa lebih bergengsi dan atau lebih kelihatan terdidik.
    2. Kata atau istilah dalam bahasa Inggris dianggap lebih singkat dan lebih mudah diucapkan, misalnya ‘VIP/VVIP’ vs. ‘pribadi/sosok sangat/amat-sangat penting’, ‘check in/out’ vs. ‘lapor masuk/ke luar hotel/pesawat’.
    3. Tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Contohnya kata2 bahasa Inggris/asing yg telah diserap ke dalam bahasa Indonesia.

    1. Memang, penyerapan bahasa asing tak semata karena adanya inferiority complex. Tapi faktor yg dibahas dalam artikel ini adalah yg terkait inferiority complex. Alasan inferiority complex tak seharusnya jadi alasan penyerapan bahasa asing. Dan saya juga tak sepenuhnya anti penyerapan bahasa asing. Jika memang dibutuhkan, silakan serap bahasa asing. Namun secukupnya dan sebutuhnya saja, itu pun sebagai cara terakhir apabila sudah tak mungkin diterjemahkan secara maknawi.

      Tentang 3 alasan yang pak Budi sebut, alasan pertama jelas seharusnya dihindari. Alasan kedua itu sebenarnya juga terkait faktor inferiority complex. Mudah dan singkat itu relatif, tergantung pembiasaan saja. Alasan kedua ini karena kita sering terjebak pada penerjemahan dgn metode sulih kata belaka. Penerjemahan yg terbaik adalah sulih makna, yg terburuk adalah sulih bunyi. Tiap bahasa punya bangun dan karakternya masing-masing. Memaksakan bangun dan karakter bahasa asing terhadap bahasa Indonesia, menurut saya, termasuk pemerkosaan bahasa. Kenapa tak kita terima bahasa kita sebagaimana adanya?

      Contoh penerjemahan yg baik: ‘missile’ jadi ‘rudal’ yg merupakan kependekan dari ‘peluru kendali’, ‘spare part’ jadi ‘suku cadang’, ‘home’ jadi ‘beranda’ dalam konteks laman jejaring, ‘hashtag’ jadi ‘tagar’ yg merupakan kependekan dari ‘tanda pagar’ dalam konteks media sosial, dsb. Penerjemahan yg sangat Indonesia. Contoh yg buruk: ‘login’ jadi ‘daftar masuk’, ‘celebration’ jadi ‘selebrasi’, ‘destination’ jadi ‘destinasi’, dsb. Kesannya seolah-olah bahasa kita tak kenal atau tak punya kata-kata itu. ‘VIP’ kenapa tak kita terjemahkan saja jadi ‘OSP’ sebagai singkatan dari ‘orang sangat penting’. Syukur-syukur kalau bisa mempertahankan singkatan yg sama, seperti ‘ATM’ menjadi ‘anjungan tunai mandiri’. Tapi ya tidak harus memaksakan diri toh?

      Jadi, menurut saya, satu-satunya alasan menyerap bahasa asing hanya alasan yg ketiga, yaitu kita tak memiliki padanan kata yg semakna dengan kata asingnya. Jika demikian ya memang harus kita serap.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.