Main (di) Stadion

Lampung Post, 28 Mar 2012. Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau

“Kena batunya,” suara lirih Atan membuyarkan konsentrasi penumpang lain yang sedang berjuang agar tidak terantuk karena ulah sopir yang harus selalu menggoyang kendaraannya untuk menghindari tebaran lubang di hampir sepanjang jalan. Mereka terhenyak penuh tanya, apa gerangan yang (akan) terjadi.

“Maaf, Bang. Maaf, Kak. Gumam awak tadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan nasib kami di angkot ini,” kata Atan mencoba menenangkan. “Awak hanya geli melihat tulisan pada papan nama di proyek pembangunan stadion tadi,” ujarnya melanjutkan.

Rupanya, yang dimaksudkan Atan adalah ulah tangan jahil yang iseng mengotak-atik tulisan pada papan nama di proyek pembangunan stadion. Semula tulisan itu berbunyi “Main Stadium Riau”, lalu diotak-atik (dengan menyelipkan “di” di antara kata “main” dan “stadium”; serta mengubah “um” menjadi “on”) menjadi “Main di Stadion Riau”.

Pengotak-atikan “Main Stadium Riau” menjadi “Main di Stadion Riau”, setidaknya, memunculkan dua kandungan makna/tafsir. Pertama, jika dikaitkan dengan isu-isu yang berkembang belakangan ini, Main di Stadion Riau dapat menebarkan isu baru: bahwa telah terjadi “permainan” dalam pembangunan stadion itu. (Maaf, tulisan ini tidak akan membahas hal itu lebih lanjut). Kedua, jika dikaitkan dengan masalah kebahasaan, Main di Stadion Riau pun dapat menebarkan isu baru yang alegoris: mungkin sebagai bentuk ketidaktahuan (si tangan usil) terhadap bahasa asing (Inggris); mungkin sebagai sindiran atas kemaharajaan penggunaan kata dan istilah asing yang terjadi belakangan ini, terutama kepada (oleh) Pemprov Riau yang sedang berhajat besar untuk menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu pada 2020 nanti; dan mungkin pula sebagai respons atas pernyataan seorang politikus ternama yang sedang mencoba menghindar dari lilitan kasusnya: “Gantung saya di Monas!”

Atas kemungkinan-kemungkinan itu, dapat diberi penjelasan sebagai berikut.

Sebagai bagian nama rupa bumi, main stadium kurang menguntungkan karena di samping tidak bersesuaian dengan UU Nomor 24/2009, kedua kata itu (main dan stadium) kebetulan sudah dikenal baik oleh masyarakat dengan arti yang lain: main ‘bermain’ dan stadium ‘ambang, babak, bagian, fase, tahap’ (Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, 2007: 397 dan 611).

Penggabungan kedua kata itu dengan Riau (menjadi Main Stadium Riau). Dengan demikian, semakin membingungkan banyak orang. Mereka mungkin bertanya-tanya, apa maksud Main Stadium Riau itu. Oleh karena itu, jangan heran jika ada yang mencoba membetulkannya, seperti yang dilakukan oleh si tangan usil itu, menjadi Main di Stadion Riau.

Entah di sengaja, entah kebetulan, ulah tangan usil itu terjadi ketika sedang marak-maraknya adagium “gantung di Monas” digunjingkan banyak orang. Sekalipun dari segi bentuk, antara “gantung di Monas” dan “main di Stadion Riau” mirip, keduanya mengimplikasikan hal yang berbeda. Gantung di Monas tidak menjanjikan apa-apa (karena kemungkinan keterlaksanannya sangat kecil, terlebih jika dilihat dari segi hukum: Indonesia tidak mengenal hukum gantung). Sementara main di Stadion Riau membuka peluang pada semua orang untuk melakukannya. Dengan demikian, dapat memunculkan keinginan, membakar semangat, serta mengobarkan keheroikan. Artinya, jika dilakukan, gantung (diri) di Monas bisa jadi hanya mendatangkan kecaman (masyarakat) dan laknat (Tuhan), sedangkan main di Stadion Riau dapat mendatangkan pujian.

Terlepas dari hal itu, acungan jempol justru perlu diberikan kepada perusahaan asing yang peduli pada bahasa Indonesia. Di Rumbai (Pekanbaru), misalnya, sebuah perusahaan minyak terbesar di Sumatera sudah mengubah papan namanya, dari mainoffice menjadi kantor pusat. Tidak hanya itu, penamaan blok/bagian di perumahannya pun menggunakan bahasa Indonesia: seperti Kompleks Jati, Kompleks Randu, Kompleks Oliander, dan Kompleks Cemara. Padahal, di perumahan itu tidak sedikit orang asing yang tinggal.

Lalu, mengapa justru orang Indonesia sendiri yang enggan menggunakan kata/istilah bahasa Indonesia dan lebih senang menggunakan kata/istilah asing?

Jawabannya beragam dan sudah sering dibicarakan orang. Yang pasti, apa pun alasannya, sikap tidak setia pada bahasa Indonesia itu justru memperlihatkan “kegagapan diri” dalam menghadapi era globalisasi yang sedang berlangsung saat ini, sehingga rela mengorbankan identitas diri.

Dalam hal ini, John Naisbitt melalui bukunya, Global Paradox, menggambarkan bahwa betapa ketika dunia sedang terobsesi gerakan pengaburan batas-batas negara dan berupaya menjadi “satu”, ketika itu pula tengah terjadi gerakan pembentukan “negara baru”. Terbentuknya Uni Eropa, misalnya, ditengarai Naisbitt sebagai indikator gerakan yang kemudian melahirkan konsep globalisasi itu. Artinya, bukankah dalam setiap pergaulan (baik di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional) identitas diri itu menjadi penting agar tetap dapat dikenali?

Pernyataan Shakespeare (melalui Juliet dalam lakon Romeo and Juliet): “Apalah arti sebuah nama”, pun mungkin perlu dipertimbangkan kembali. Bagi banyak orang (muslim utamanya), nama adalah doa. Nama Amir, Suharto, dan Naratungga, misalnya, termaktub harapan (doa) agar (kelak) penyandangnya menjadi pemimpin, kaya, dan terpilih. Ketiga nama itu, bahkan, juga dapat merujuk pada identitas diri: Amir (Islam), Suharto (Jawa), dan Naratungga (Indonesia).

Begitulah, sungguh pantas disayangkan jika nama Main Stadium Riau tetap dipertahankan karena sama sekali tidak memperlihatkan identitas Melayu, bisa jadi tidak akan menimbulkan kebanggaan masyarakat. Kebanggaan itu penting karena dari rasa bangga itulah akan lahir rasa memiliki yang akan melahirkan pula rasa mencintai. Senyampang belum diresmikan, mudah-mudahan stadion yang konon akan dijadikan tempat pembukaan penyelenggaraan PON XVIII 2012 ini diberi nama khas Melayu (Indonesia). Semoga.

Satu tanggapan untuk “Main (di) Stadion

  1. “Main Stadium” kemungkinan dijuruskan ke arti “Stadion Utama” itu, Pak. Jadi “main” itu sebetulnya Bahasa Inggris yang kemudian pada kata ketiga baru disematkan identitas “Riau”.

    Tentu akan lebih elok pakai Bahasa Indonesia saja. Stadion Utama Riau.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.