Perang Bahasa

Kasijanto Sastrodinomo*, Majalah Tempo, 2 Nov 2015

Ilustrasi bahasa di India berdasarkan jumlah penutur (Crossics)

Walau berasal dari kalangan bazar, Harishchandra tak serta-merta ingin menjadi saudagar semata. Ia memang anggota Naupatti, asosiasi pedagang di Benares, India Utara, pada masa kolonial Inggris. Namun, menurut sejarawan Inggris, C.A. Bayly, dalam Rulers, Townsmen and Bazaars: North Indian Society in the Age of British Expansion (Cambridge, 1983), Harishchandra tak segan-segan menyarankan kepada keluarganya agar menginvestasikan sebagian hartanya dalam kegiatan sastra dan budaya. Lantaran itu, ia disindir sebagai “manusia mahal” oleh para pedagang tulen, yang umumnya melulu berpikir soal laba.

Harishchandra lalu dikenal sebagai penulis novel dan drama modern India berbahasa Hindi. Karyanya banyak berbicara tentang urgensi transformasi umat Hindu dalam arus modernitas seraya tetap “memantang daging sapi, alkohol, dan impuritas yang lain” layaknya pemeluk Hindu yang taat. Ia juga mendirikan Tadiya Samaj, lembaga swadaya yang berkembang sebagai kelompok diskusi politik untuk publik, dan menerbitkan jurnal Harishchandra’s Magazine (1873-1875). Jadilah ia semacam maesenas budaya India kontemporer kala itu, setelah peran serupa didominasi mahajana atau “orang besar” patron sastra klasik keagamaan.

Lebih jauh, aktivitas Harishchandra bersama organisasi lain, semisal Sahitya Samelan (komunitas sastra Hindi) dan Nagri Pracharini Sabha (masyarakat Benares pencinta bahasa Hindi), bisa dilihat sebagai bagian dari gerakan masyarakat untuk mengunggulkan bahasa Hindi. Meski memiliki varian dialek dan aksen yang berbeda-beda, Hindi—yang diyakini pemangkunya tersurat dalam teks klasik Hindu Deva Nagari—adalah bahasa terbesar dan dikenal luas di sekujur wilayah anak benua Asia Selatan itu. Maka Hindi, menurut pendukungnya, sangat layak diangkat sebagai bahasa resmi India.

Persoalannya, di India sangat melimpah “bahasa ibu” milik berbagai etnis yang satu dan lainnya merasa berhak hidup setara. Menurut sensus 1951 (tak lama setelah India bebas dari penjajahan Inggris), terdapat 1.652 bahasa ibu yang dituturkan oleh total 439 juta jiwa penduduk India waktu itu. Ribuan bahasa itu bisa dikelompokkan ke dalam sedikitnya enam keluarga bahasa: Indo-Arya, Dravidia, Sino-Tibetan, Tibeto-Burma, Austro-Asia, dan Austronesia. Pada banyak kasus, dominasi suatu etnolinguistik—selain faktor ras, agama, dan kasta—mengiris-iris geografi India menjadi wilayah administratif yang tersekat.

Melekat sebagai identitas budaya penuturnya, bahasa-bahasa itu tak ayal berperang (lihat Joseph Bram, yang menggunakan istilah “perang bahasa” di India, dalam Language and Society, 1955). Di satu “front”, perang itu bersifat frontal: Hindi ditantang bahasa lain, terutama Urdu milik kaum muslim di Kashmir dan Jammu, India Utara. Sebenarnya, ada bahasa Hindustan, sebuah varian Hindi, yang bisa diterima oleh kedua pihak karena kosakata dalam bahasa itu bisa ditulis baik dalam aksara Sanskerta (sumber tulisan Hindi) maupun Arab-Persia (sumber Urdu). Namun, nehi, para pemuka Hindu rupanya bertekad mencuci bahasanya dari kosakata yang kearab-araban. Ujungnya, Urdu “keluar” dari India, ikut Pakistan—negeri Islam yang memisahkan diri dari India pada 1947.

Di India Selatan, jutaan penutur bahasa Dravidian, seperti Tamil, Telugu, dan Malayalam, merasa tersisih setelah Hindi ditetapkan sebagai bahasa nasional India bersama bahasa Inggris pada abad ke-19. Selain enggan mengadopsi bahasa Hindi, kaum Dravidian merasa bahasa milik mereka tidak terpakai dalam administrasi nasional. Kelompok nasionalis Tamil Dravidia mengancam memisahkan diri sebagai negara merdeka. Telugu berhasil berkibar dalam negara bagian yang memerdekakan diri pada 1953 dengan sebutan Andhra setelah pemimpin gerakan bahasa setempat berpuasa hingga tewas di Madras.

Bagi penguasa Inggris, penetapan Hindi sebagai bahasa resmi—seperti telah disebut—mungkin perkara praktis: perlu satu kesatuan bahasa yang bisa menjadi lingua franca di tanah jajahan. Dalam bingkai modernisasi pendidikan dan birokrasi, pemerintah kolonial lalu memutuskan Inggris dan Hindi sebagai elite bahasa di India. Kaum nasionalis mendukung Hindi sebagai bahasa resmi, tapi memberi catatan terhadap Inggris. Tokoh besar Mahatma Gandhi selalu mengingatkan rakyat India agar tetap menjunjung tinggi budaya sendiri. Situasi itu membuka “front perang” lain yang melibatkan kubu orientalis vis-à-vis anglisis.

Sejatinya, Indonesia menghadapi keragaman budaya yang pelik mirip India, seperti tampak dalam khazanah bahasa tempatan yang sangat rumit. Namun, Indonesia mulus menetapkan bahasa nasional. Hal itu tak lepas dari tumbuhnya kesadaran masyarakat Indonesia sendiri mencari bahasa persatuan—seperti termaktub dalam Sumpah Pemuda 1928.

Bukan mencari bahasa yang “tunggal”, butir ketiga sumpah itu lebih terbaca sebagai pernyataan tekad kebahasaan yang menjunjung tinggi bahasa nasional.

* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.