Relik

Eko Endarmoko* (Kompas, 9 Des 2017)

Kita bacalah dua kalimat ini:

(1)”Ia mengalami rasa sakit melahirkan anak selama tiga hari tiga malam.”

(2)”Lelaki yang terpukul itu menjerit, seolah-olah telah diberi cap dengan besi (seperti hewan ternak yang ditandai), kemudian jatuh berdebum ke bumi.”

Kedua kalimat itu bisa kita temukan dalam novel Ben Okri, The Famished Road: Kisah Seorang Anak yang Terjebak di Alam Roh (penerjemah Salahuddien Gz, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), halaman 282 dan 334.

Gramatikanya tampak beres, biasa saja. Namun, mari coba kita lihat lebih dekat, satu demi satu. Pada kalimat pertama ada klausa ”rasa sakit melahirkan anak”. Bahasa Indonesia kita punya satu kata untuk apa yang dilukiskan oleh klausa itu, royan, yang mengingatkan kita pada novel Ramadhan KH, Royan Revolusi.

Lalu, klausa di kalimat kutipan berikut yang perlu kita catat ini: ”diberi cap dengan besi (seperti hewan ternak yang ditandai)”. Besi di situ maksudnya tentu besi yang panas membara. Juga bahasa Indonesia kita punya satu kata untuk pelukisan yang rada panjang itu: selar, diselar.

Maka, jelas sekali kedua kalimat tadi sebenarnya bisa dirumuskan dengan lebih pendek padat, dapat dibuat lebih efektif:

(1a) ”Ia meroyan selama tiga hari tiga malam.”

(2a) ”Lelaki yang terpukul itu menjerit, seolah-olah telah diselar, kemudian jatuh berdebum ke bumi.”

Kata, konsep, atau istilah adalah satuan bahasa yang dijadikan wakil benda-benda, ide atau pemikiran, perasaan, suatu gejala atau fenomena. Unit bahasa yang umumnya terdiri atas hanya beberapa huruf ini sanggup mengantarkan pengertian yang kompleks sekalipun dari subyek kepada orang lain. Atau, dirumuskan dalam kalimat berbeda, kesemuanya itu memudahkan kita berkomunikasi satu sama lain dan bekerja sama.

Jadi, kita punya setidaknya dua catatan untuk dua kalimat dari terjemahan novel The Famished Road Ben Okri tadi. Pertama, keduanya bertele-tele karena terkesan menjelas-jelaskan sesuatu yang dapat dikatakan cukup dengan hanya satu kata. Yang jauh lebih penting bagi saya, kata royan dan selar dalam bahasa Indonesia rupanya telah menjadi bagian kecil belaka dari satu bundel koleksi atau khazanah bahasa Indonesia yang hingga hari ini masih saja dibangga-banggakan.

Kebanggaan yang bertolak melulu dari jumlah. Seakan-akan tingkat peradaban bangsa bisa dengan gampang diukur dari jumlah khazanah kata yang mereka miliki. Banyak adalah dahsyat, hebat, menakjubkan.

Menyedihkan adalah, ”bagian kecil”—yang pasti masih bisa kita tambahkan—itu tadi tampak bagi kita lebih menyerupai relik di museum bernama kamus bahasa Indonesia. Mereka terpajan di sana semata sebagai buah akal budi dari masa lampau.

* Penyusun ”Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua”

3 tanggapan untuk “Relik

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.