Nasionalisasi Singkatan

KOMPAS, 15 Apr 2011. Salomo Simanungkalit.

Akhirnya semak hati menjumpai dan membaca naskah dengan judul bermuatan singkatan asing seperti CPO, CSR, dan MDGs kiriman penulis artikel untuk diterbitkan di koran. Inilah bukti bahwa dengan satu gerak globalisasi, bahasa Indonesia bertarung dengan bahasa Inggris. Bertarung bukan dalam medan bahasa, melainkan dalam modal, perbankan, perdagangan, komunikasi, komputer, perdapuran, dan lain-lain. Di situ bahasa dipertaruhkan.

Singkatan-singkatan itu masuk di segenap relung perbincangan dengan kecepatan tsunami di Aceh. Para ahli kita terhanyut oleh kemalasan menunaikan semacam nasionalisasi demi kejernihan makna bawaannya ke dalam bahasa sendiri, bahkan untuk ranah keahlian masing-masing.

Harus diakui, percumalah mengindonesiakan ATM dan SMS. Kedua makhluk dari lingkup perbankan dan komunikasi ini telah menyebar dengan laju tak terbendung dari Glodok hingga pelosok, dari rangkaya sampai paria, dari yang ningrat ke yang melarat. Dua-duanya menjadi generik dalam beragam bahasa anak segala bangsa. Semujur WC pendahulunya, ATM dan SMS langsung dilantik sebagai lema dalam kamus ekabahasa Inggris mutakhir. Tak banyak singkatan mendapat kehormatan diperlakukan sebagai kata.

Akan tetapi, apa perlunya mempertahankan CPO, CSR, MDGs, dan seterusnya dalam teks Indonesia? Bertambahkah wibawa secarik tulisan hanya dengan gincu semacam itu?

Hampir semua penulis artikel yang mendaku sebagai doktor pertanian melumuri naskahnya dengan ”CPO” ketika membahas kelapa sawit. Bayangkan, minyak sawit mentah yang tersua di kilang-kilang seantero dunia sebagian besar berpaspor Indonesia, tetapi di tangan sarjana pertanian kita selalu ditulis sebagai crude palm oil—digenapi dengan singkatan CPO—bukan minyak sawit mentah atau MSM. Crude palm oil bukanlah rangkaian kata pembentuk idiom. Tak sulit mengalihkan kata demi kata Inggris itu ke dalam kata demi kata Indonesia. Kamus Inggris-Indonesia John M Echols dan Hassan Shadily memadankan crude oil dengan minyak mentah, palm oil dengan minyak sawit.

Asal tahu saja, CPO tidak serta-merta crude palm oil. The Free Dictionary (FARLEX) mendaftarkan paling tidak 71 singkatan CPO yang dikenal setakat ini: Chief Petty Officer, certified pre-owned, compulsory purchase order, civilian personnel online, Central Police Office, cost per output, dan seterusnya. CPO bukan singkatan sakral yang tak boleh dialihkan ke bahasa lain.

Istilah corporate social responsibility mulai dikenal pada akhir 1960-an ketika perusahaan multinasional bertumbuh di negara-negara maju, tetapi baru menyerbu teks-teks berbahasa Indonesia sebagai ”CSR” sejak 2004. Di harian ini sang pemulanya adalah seorang ekonom pada artikelnya dalam edisi 21 Agustus 2004: ”Bagi bisnis modern, isu tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) adalah bagian amat penting yang tidak boleh diabaikan. Hampir di seluruh laporan tahunan (annual report) perusahaan-perusahaan besar, program CSR selalu terpampang rapi dan mengesankan.”

Sulitkah mengganti CSR dengan TJSP, MDGs dengan SPM, dan seterusnya? Tak usah berharap ekonom dan fisikawan kita dianugerahi Nobel.

Dengan menggarap nasionalisasi istilah untuk bidang masing-masing, ilmuwan kita sebetulnya menimbun harta tak ternilai dalam usaha mengungkapkan gagasan dan konsep pengetahuan ke dalam bahasa persatuan ini.

Sumber gambar: Wikipedia

4 tanggapan untuk “Nasionalisasi Singkatan

  1. Waow..
    Ga nyangka akan sedetail itu..
    O, ya, Mas, untuk bidang komputer gimana?
    Rasanya jauh lebih sulit karena istilah-istilah baru bermunculan dg cepat.

  2. Semangat untuk meng-Indonesiakan beberapa istilah memang patut didukung.
    Namaun bagaimanapun, akan banyak aral melintang. Misalnya, kata apa yang paling pas untuk “mouse” dan “memory”.
    Saya rasa kita masih belum akan nyaman mendengar :”Saya mau membeli komputer pribadi dengan “ingatan” berkapasitas satu GB, sekaligus juga tolong sediakan satu “tikus nirkabel”.
    .

    1. Memang sulit, terlebih para ahli di bidangnya enggan menuturkan padanan kata asing tertentu. Merekalah yang dijadikan tonggak dalam nasionalisasi ini, pembentukan opini yang berujung pada kebiasaan bermula dari sini. Mensosialisasikan “tetikus” sebagai padanan “mouse”, tidak demikian dengan “memori” sebagai pengganti “memory”, perlu kerja sama seluruh pengguna bahasa Indonesia. Saya sendiri tidak jera dalam menggunakan istilah “lampu darurat”, alih-alih “emergency lamp”. Sebisa mungkin saja, jangan sampai istilah asing terlanjur memasyarakat dan dominasinya tak terbendung lagi.

  3. Dalam lingkup reformasi birokrasi SOP (Standard Operating Procedure) diindonesiakan menjadi SOP (Standar Operasional Prosedur), bagaimana ini?

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.