Tidak Terlampau

KOMPAS, 19 Oktober 2012. Rainy MP Hutabarat, Cerpenis.

Sumber gambar: Motherrr

Bahasa adalah alat komunikasi melalui sistem penandaan dan pemaknaan dan, karena itu, hubungan antara realitas dan bahasa bersifat konstruksional atau representatif. Cukup, misalnya, adalah penandaan dan pemaknaan atas suatu jumlah, muatan, ukuran, atau frekuensi.

Sifat hubungan tersebut membuat bahasa tak lepas dari kepentingan tertentu. Dan apa yang disebut kepentingan di sini mencakup politik, kekuasaan, ekonomi, dan juga kelas sosial. Dari aspek strata sosial, misalnya, bahasa Jawa mengenal tingkatan-tingkatan. Kegemaran berbahasa asing seperti bahasa Inggris juga dapat dipakai sebagai indikator kelas sosial.

Contoh kaitan bahasa dan kepentingan yang selalu aktual dan populer di lingkungan pers adalah eufemisme dan hiperbola. Kelaparan disebut malnutrisi, penghilangan paksa dikatakan penembakan misterius, dan banyak korban manusia dalam konflik sosial disebut bergelimpangan darah. Melalui sistem penandaan ini, realitas dikonstruksikan untuk memunculkan pengertian dan imaji tertentu sesuai dengan tujuan pemakainya. Di sini bahasa menjadi alat komunikasi sekaligus menyembunyikan atau memanipulasi realitas.

Kata sifat dalam bahasa Indonesia termasuk sistem penandaan yang lentur terhadap kepentingan tertentu. Seorang wartawan harian ini pernah menulis, ”Arie Smith tidak terlampau suka keramaian.” Seorang teman mengatakan, ”Saya tidak terlalu suka dengan kucing dan anjing.”

Ada banyak kata sifat untuk menerangkan ukuran, kualitas, muatan, atau frekuensi: cukup, sedang, agak, rata-rata, sering- sering, kadang-kadang, dekat, jauh, dan seterusnya. Pertanyaannya, di antara deretan kata sifat yang terukur, di manakah posisi tidak terlampau atau tidak terlalu?

Jika dibedah, kata sifat bentukan ini terdiri dari partikel tidak dan kata sifat terlampau atau terlalu. Uniknya kata lampau dan lalu tak selalu berfungsi sebagai kata sifat sebagaimana halnya tinggi, rendah, dingin, atau panas. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV Pusat Bahasa mengartikan lampau sebagai padanan kata kerja lalu dan lewat, dan kata sifat lebih serta sangat. Tidak dan terlampau berada pada kutub yang berlawanan secara tajam. Tidak menyatakan peniadaan, pengingkaran, atau penolakan, misalnya tidak pernah dan tidak boleh. Dengan imbuhan superlatif ter-, maka terlampau atau terlalu menunjukkan ukuran paling. Jika kata tidak dan terlampau atau terlalu membentuk satu kata sifat, maka ukuran yang menjadi padanannya adalah agak atau sedang-sedang saja.

Meski agak dan tidak terlampau sepadan, segi subyektif pengertiannya berbeda. Karena itu, kalimat ”Arie Smith agak suka keramaian” sebenarnya tak sepadan dengan ”Arie Smith tidak terlampau suka keramaian”. Kata agak memberikan gambaran yang positif terhadap keramaian, sedangkan tidak menyukai justru menggambarkan kesan negatif. Dengan mengatakan, ”Arie Smith tidak terlampau suka keramaian,” maka gambaran yang muncul adalah seorang pelukis yang gemar menyendiri.

Nah, bukankah dalam berbahasa, keterbukaan berkelindan dengan ketersembunyian?

Satu tanggapan untuk “Tidak Terlampau

  1. Subyektif, atau subjektif? Sepertinya salah (ke)tikan, karena belakangan tidak muncul lagi perdebatan seputar “y” atau “j” untuk serapan kata Inggris seperti ini; bandingkan dengan object, yang menjadi objek.

    Bagaimanapun, dari artikel ini saya mengetahui bahwa penggunaan bahasa terkait erat (berkelindan) dengan tujuan penyampainya; ada yang dijadikan penyambung kepentingan pribadi, penanda strata sosial, penyamar realitas, ataupun sarana pencitraan diri.

    Great article, after all. :)

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.