Bahasa Baku: Catatan Ala Kadarnya

Eko Endarmoko*, Majalah Tempo, 4 Apr 2015

Ilustrasi: Fast Company

Dari mana asal kata-kata yang berdiam dalam kamus? Sebagian besar darinya adalah hasil kerja mencari dan menimbang kata dari sejumlah teks terpilih, selain dari khazanah lisan. Tentang lika-liku kerja besar itu kita baca dalam buku Simon Winchester yang memukau, The Professor and the Madman, yang edisi bahasa Indonesianya diberi anak judul “Sebuah Dongeng tentang Pembunuhan, Kegilaan, dan Pembuatan Oxford English Dictionary”. Terjemahan ini diterbitkan Serambi sekitar delapan tahun silam.

Penggarapan kamus yang monumental itu dimulai dengan pidato Richard Chenevix Trench di London Library pada 1857, kira-kira setahun setelah ia dilantik menjadi dekan Westminster. Dalam pidatonya, seperti ingin “mengoreksi” Samuel Johnson dan kecenderungan utama kamus yang terbit sekitar masa itu di tanah Anglo Sakson, Trench berpandangan,

“Kamus hanyalah ‘sebuah inventaris bahasa’ dan sama sekali bukan panduan untuk menggunakan bahasa itu dengan baik. Tugas para penyusunnya bukanlah memilah-milah kata yang akan dimasukkan berdasarkan apakah kata itu bagus atau jelek.”

Kita jumpai pokok pikiran Trench seperti dicatat Winchester begini: “… setiap kamus besar yang baru harus merupakan produk demokrasi, buku yang memperlihatkan unggulnya kebebasan individu, pengertian bahwa seseorang dapat memakai kata-kata secara merdeka, sesuka hati, tanpa ditundukkan oleh aturan-aturan leksikal yang kaku.” Jelas bahwa kamus seperti itu “tidak boleh menjadi produk absolutisme serta otokrasi”. Winchester pun melukiskan betapa proses penyusunan dan buah kerja gila-gilaan beberapa orang genius eksentrik berupa Oxford English Dictionary tak jauh melenceng dari angan-angan Trench.

Semangat seperti itu boleh dibilang berseberangan dengan orientasi para perencana bahasa, yang tak jarang lebih banyak memikirkan soal pemurnian dan pembakuan bahasa. Awam suka memandang ragam baku itu kaku oleh sifat formalnya, kurang nyaman dipakai, bahasa kolot untuk guru bahasa Indonesia. Pembelanya akan bilang, ragam tak baku adalah bahasa pasar yang banal, kasar, mencerminkan watak kurang terdidik, sebab tampak tak kenal aturan.

“Murni” dan “baku” dalam bahasa rupanya punya kecenderungan menjauhi, atau rada alergi terhadap, ragam bahasa lisan (dan bahasa daerah). Gerak menjauhi itu, dalam kasus bahasa Indonesia seperti direpresentasikan oleh kamusnya yang besar, setidaknya dapat kita lihat pada dua tataran: semacam rasa enggan mencatat bentuk bahasa dari laras bahasa lisan dan/atau menuliskannya secara berbeda dari pelafalan dalam kenyataan yang hidup. Pernah ada seorang dosen mencoret dan mengganti secara konsisten semua kata “tak” dan “bisa” dalam makalah tugas mata kuliah yang ia ampu dengan “tidak” dan “dapat”. Bisa juga kita bertanya, mengapa “ciamik”—sebuah kata yang cukup produktif—tak terdaftar. Atau, mengapa kamus yang besar itu memilih bentuk “sundal” bukan “sundel”, mencatat “capai” bukan “capek”. Dan daftar seperti ini dapat anda tambahkan sendiri sebanyak anda maui.

Dorongan, mungkin lebih baik kita sebut pretensi, mencapai bentuk-bentuk baku dalam bahasa di sepanjang sejarahnya hampir niscaya harus berhadapan dengan pengingkaran oleh kalangan awam yang ingin terbebas dari “aturan-aturan leksikal yang kaku”, yang menolak absolutisme dan otokrasi. Penolakan itu sering tak ada hubungannya dengan masalah cukup atau tidak cukupnya pengetahuan mengenai soal-soal linguistik.

Sebab, ketika sedang berbahasa—yaitu cara manusia paling jamak dalam berkomunikasi—kita lihat, orang pertama-tama memakai intuisi dan akal sehat, bukan linguistik, ilmu bahasa.

Dalam kalimat pendek, intuisi mendahului pengetahuan. Hitung saja persentase kata-kata hidup yang dirujukkan ke bentuk lain versi penyusun atau malah tak tercatat dalam kamus bahasa Indonesia yang besar.

Para perencana bahasa, yang antara lain mengemban misi membakukan di lain pihak, kerap bekerja dengan nalar deduktif. Itulah mengapa bahasa baku banyak kali tak bersambung dengan bahasa yang hidup. Pertanyaan yang agak mengusik: baku itu apa ukurannya?

Apakah baku identik dengan benar, dan tak baku dengan sendirinya keliru?

Nikolaos van Dam pernah menulis:

Kamus Besar Bahasa Indonesia … mencerminkan opini dan interpretasi tim penyusunnya tentang bagaimana bahasa Indonesia semestinya menurut tata bahasa yang resmi. Bahasa Indonesia seolah-olah merupakan bahasa yang dibuat berdasarkan keputusan (yang pada tingkatan tertentu bisa dikatakan benar sejak 1928) ketimbang bahasa yang diserap dari kenyataan linguistik sehari-hari (lihat “Kamus Besar yang Agak Terlalu Sempurna“, Tempo, 30 Maret 2009).

Fakta kebahasaan yang kita saksikan sampai hari ini: kedua laras bahasa, baku dan tak baku, hidup berdampingan layaknya sepasang suami-istri, sekalipun terkadang keduanya saling mengingkari, bahkan saling menistakan. Dan dari titik inilah kita bersua dengan fakta tak terbantahkan: bahasa adalah penanda identitas khalayak pemakainya.

* Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.